Mantan jaksa KPK, Yudi Kristiana duduk santai saat ditemui di kantor barunya di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung, Ragunan, Jakarta Selatan.

Ia tampak memakai seragam korps Adhyaksa berwarna cokelat tua lengkap dengan pangkat dan bet nama "YUDI", sungguh berbeda dengan penampilan sebelumnya di KPK.

Sendirian tanpa aktivitas berarti di ruangan sekitar sekitar 5 x 6 meter tampak bertolak belakang dengan "cubical" kecil penuh berkas di KPK.

"Ya beginilah mbak. Ini hari pertama saya bertugas. Seragam juga baru dipakai hari ini. Kemarin dikasih sepatu tapi kaki saya malah lecet, jadi saya pakai sepatu sendiri. Gelas pun di sini tidak ada, saya minta maaf tidak bisa menyediakan minum," kata Yudi pada Senin (11/1) siang.

Pria kelahiran Karanganyar, Solo 15 Oktober 1971 itu kemudian mengeluarkan buku tulisannya berjudul "Sayonara KPK". Buku yang ditulis kilat sejak ia mengetahui akan dipindah menjadi Kepala Bidang Penyelenggara Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Balitbang Kejagung pada pertengahan Desember 2015.

"Belum beredar di toko buku, mungkin sebulan lagi baru ada," tambah Yudi.

Buku itu memilih sampul merah sesuai dengan warna dominan KPK dan wajahnya di depan. Ia menulis buku sebagai bentuk pemeliharaan tradisi akademis sekaligus menjadi kenangan indah bagi rekan-rekannya di KPK maupun media.



Awal bergabung

Yudi bergabung ke KPK sejak 12 September 2011 bersama-sama dengan 22 orang jaksa yang dikenal dengan angkatan 12 September. Yudi bahkan mendapat jabatan sebagai "lurah" angkatan sehingga dipanggil "Pak Lurah" karena dianggap paling tua.

Dalam buku tersebu,t Yudi menggambarkan bagaimana mereka mencoba untuk menjaga kekompakan dengan modal urunan Rp50 ribu untuk makan bersama di luar kantor.

Tidak ketinggalan juga profil singkat mengenai masing-masing jaksa seangkatan dari sudut pandang Yudi maupun pengalaman kasus-kasus yang mereka tangani, ditambah dengan kesan mereka kepada KPK dan sang Lurah. Hal yang belum pernah terekspose ke media sebelumnya.

Ketika bergabung dengan KPK, Yudi mendapat tiga surat keputusan yaitu sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum, sesuai dengan kewenangan jaksa di Kejaksaan Agung.

Selama empat tahun, tiga bulan, Yudi sudah menyidangkan lebih dari 20 perkara dan tiga penyidikan, beberapa diantarannya juga diikutkan dalam tahap penyelidikan termasuk Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Sejumlah perkara tersebut adalah tindak pidana korupsi pembahasan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menyeret mantan anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh.

Dalam bukunya, Yudi memaparkan bahwa hukum progresif yang menguak kasus dengan beragam sandi sebagai kata ganti uang yaitu "apel malang" sebagai "uang rupiah" dan "apel washington" sebagai bentuk "uang dolar"; "jualan apelnya laris sehingga minta dikirim" sebagai "permintaan uang", "terima kasih atas kirimannya" sebagai "permintaan uang sudah sampai".

Perkara lain yang menyorot perhatian adalah tindak pidana korupsi penerimaan hadiah dari sejumlah proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan ketua umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Yudi sendiri berperan sebagai Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU). Menurut Yudi, KPK mengambil terobosan dengan memaknai bahwa menerima sesuatu dengan terpenuhinya pembiyaan untuk kepentingan Anas dalam pencalonan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres Bandung 2010.

Yudi pun pernah ditunjuk sebagai ketua Tim Penyidik dalam kasus tindak pidana korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang menyeret mantan deputi gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya.

"Penyidikan dengan tersangka BM (Budi Mulya) dari sisi substansi bukan pekerjaan mudah karena mengungkap peyalahgunaan kewenangan yang bersembunyi di balik kebijakan perbankan yang menyebabkan kerugian negara Rp6,7 triliun. Penyidikan sangat rumit karena harus memeriksa tokoh-tokoh penting di republik," ungkap Yudi yang pernah memeriksa salah seorang saksi yang sedang tugas belajar di Australia dalam kasus Century.

Perkara lain yang cukup terkenal adalah suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan yang dilakukan oleh pengacara senior Otto Cornelis Kaligis.

Perkara ini menantang karena Kaligis tidak hanya memperjuangkan haknya melalui prosedur hukum acara, tapi juga menantang atau "men-challenge" setiap tindakan hukum yang dilakukan KPK sehingga perilakunya cenderung merepotkan.

Kasus terakhirnya adalah kasus penerimaan suap mantan sekretaris jenderal DPP Partai Nasdem Patrice Rio Capella sebesar Rp200 juta dari Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya.

"Perkara ini adalah perkara yang paling sederhana, paling cepat penyidikannya, paling cepat penyerahan tahap II, perkara paling cepat penyusunan dakwaannya, perkara paling cepat pelimpahannya ke pengadilan, perkara paling cepat persidangannya, perkara yang terdakwanya mengaku terus-terang sekaligus menyesali perbuatan, dan paling penting perkara terakhir yang ditangani penulis," jelas Yudi.

Selama bertugas di KPK, Yudi mengaku ada sejumlah ancaman yang ia alami. Ancaman psikis misalnya pembuntutan dalam perjalanan pulang, ancaman melalui telepon yang bahkan mencapai 79 nomor tidak dikenal dalam waktu dua minggu saja.

Tidak ketinggalan rumahnya pernah didatangi orang-orang yang berpura-pura menanyakan alamat, mereka berkeliling rumah pada siang maupun malam; anak Yudi pun pernah ditunggui oleh pengendara mobil entah siapa saat pulang sekolah.

Sedangkan hal-hal supranatural yang muncul misalnya suara ledakan di atas rumah padahal tidak ada ledakan apa pun, atau kedatangan serangga pada tengah malam yang menyebabkan bengkak pada kulit dan di saat yang sama rekan satu timnya juga tidak bisa berjalan normal sehingga pergi ke kantor harus menggunakan penopang.

Atas berbagai risiko tersebut, Yudi memilih untuk tetap pulang menengok istri dan dua anaknya di Karanganyar, Solo setiap akhir pekan dan bukan memboyong keluarganya ke ibu kota.



Yang tak terucap

Mengenai mutasi jabatannya, Yudi bahkan mengetahui mengenai kepindahannya tersebut dari pesan salah seorang temannya via whatsapp pada 14 November 2015 karena namanya dimintakan clearance pertanda akan dikeluarkan surat keputusan (SK) baru, padahal ia sama sekali tidak mengira akan ditarik.

Bahkan pada siang dan sore harinya, Yudi pun mendapat ucapan selamat dari teman-temannya. Ucapan selamat berasal dari teman-temannya di Kejaksaan karena Yudi mendapatkan jabatan eselon III yang hanya dapat diperoleh setelah dua kali menjabat sebagai kajari.

Sebaliknya pihak luar kejaksaan malah mempertanyakan mengapa Yudi ditarik dan mencurigai penarikan itu terkait dengan kasus yang sedang ditangani yaitu perkara OC Kaligis dan Rio Capella.

Sebagai pemegang gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang dengan disertasi "Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif: Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi", Yudi mengaku tidak asing dengan dunia akademis.

Ia sudah mengajar di Badiklat Kejaksaan Agung sejak 2008 sebagai widyaiswara luar biasa untuk mengajar Tindak Pidana Pencucian Uang, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Delik-delik Tertentu dakam KUHP dan mata kuliah teknis penanganan perkara di Kejaksaan.

Sebelum menjadi akademisi, Yudi bertugas di Kejari Semarang, Kejari Luwuk, Sulawesi Tengah, Kejati DKI Jakarta, hingga staf intelijen di lingkungan Jaksa Agung Muda Intelijen.

Namun sayang, buku ini tidak mengupas mengenai "kegagalannya" mempertahankan kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999 dengan tersangka mantan Ketua BPK Hadi Poernomo yang kandas di tangan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Haswandi yang memutuskan untuk memenangkan gugatan praperadilan yang diajukan Hadi Poernomo pada 26 Mei 2015 sehingga menyatakan penyelidik KPK tidak sah dan penyidikan KPK terhadap Hadi harus dihentikan.

Yudi menjadi penyidik sekaligus tim biro hukum pada praperadilan tersebut.

Yudi pun tidak mengungkapkan masalah eksaminasi (pemeriksaan) yang dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) dalam perkara Rio Capella yang sudah dilakukan sejak akhir Desember 2015. Eksaminasi itu dilakukan salah satu sebabnya karena menilai tuntutan dua tahun yang diajukan Yudi dan tim terlalu rendah.

Dalam Bab "Kebenaran Punya Waktunya Sendiri", Yudi hanya mengatakan "Ada kalanya penulis harus berhadapan dengan situasi dimana terjadi perbedaan antara apa yang diyakini dengan mendasarkan pada kebenaran hati nurani dan kelilmuan, dengan kebenaran yang dikehendaki forum atau pimpinan yang menjadi dasar kebijakan.

Bila seperti ini, penulis hanya menyerahkan kepada mekanisme birokrasi dimana pimpinan menjadi penanggung jawab atas keputusan yang diambil, namun yang penting penulis sudah menyampaikan kebenaran yang diyakini oleh penulis.

Penulis tidak bisa memaksakan kehendak atas kebenaran yang diyakini untuk menjadi kebijakan kelembagaan, namun penulis yakin kebenaran sesungguhnya mempunyai waktu sendiri."

"Yang penting saya sudah menyerahkan laporan administrasi sebagai pertanggungjawaban. Kesimpulannya saya serahkan ke pimpinan," jawab Yudi diplomatis saat ditanya mengenai eksaminasi tersebut.



Pesan ke KPK

Sejumlah pesan disampaikan Yudi dalam bukunya. Salah satunya ia menyayangkan masih juga dijumpai pemikiran segelintir orang di KPK yang masih mempertahankan karakter birokrasi yang konvensional yaitu penentuan tingkat kompetensi dalam bayang-bayang senioritas.

Hal itu menurut Yudi sebagai gejala patologi birokrasi. Padahal patologi birokrasi berupa senioritas menjadi salah satu sebab lembaga penegak hukum tidak bisa bekerja dengan baik meski ada ketersediaan Sumber Daya Manusia dan sarana-prasarana.

KPK, menurut pria yang pernah mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan KPK 2015-2019 namun terhenti di 48 besar karena tidak mendapat restu Jaksa Agung, harus diisi dengan orang-orang yang mau mengakui dan menghargai kelebihan orang lain.

"KPK harus diisi orang-orang yang independen, punya daya kreativitas tinggi, pemikiran hukumnya dinamis bahkan progresif. Bila KPK hanya diisi oleh orang-orang yang loyal dengan senioritas, maka KPK hanya akan mampu mengungkap korupsi kelas teri dan mengikuti design kekuasaan politik," kata Yudi.

Kedudukan jaksa di KPK menurut Yudi sangat penting karena jaksalah yang bertanggung jawab atas konstruksi hukum yang dibangun sampai ke persidangan, mendapat putusan hakim bahkan hingga eksekusi. Jaksa menurut Yudi sungguh berperan menghasilkan predikat 100 percent conviction rate (surat dakwaan KPK di pengadilan terbukti 100 persen).

"Penegak hukum tidak boleh terbelunggu oleh tali kekang secara absolut tetapi harus melihat keluar, melihat konteks sosial yang sedang berubah dalam membuat keputusan hukum. Kreativitas penegak hukum dalam memaknai hukum tidak berhenti pada mengeja undang-undang tapi menggunakannya secara sadar untuk mencapai tujuan kemanusiaan," tegas Yudi.

Akhirnya Yudi pun harus bekerja di jalur lain pemberantasan korupsi, namun ia tidak lupa tetap menyusun strategi menuju cita-cita yang lebih tinggi.

Seperti yang disampaikan oleh seorang rekan satu angkatannya di KPK sebagai pesan ke Yudi, "Tetap semangat, roda berputar dan jangan lupa membuat gerbong".

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016