Jakarta (ANTARA News) - Bahan bakar utama Efek Rumah Kaca dalam berkarya adalah kegelisahan, demikiant  diakui sang vokalis Cholil Mahmud dalam sebuah kesempatan wawancara dadakan pada malam 17 Agustus 2015 silam di Museum Satria Mandala, Jakarta, saat mereka mengisi sebuah acara di sana.

Namun, bila biasanya kegelisahan begitu dekat dan identik dengan atmosfer suram, cahaya yang menembus dari kaca jendela ke dalam ruang yang gelap, hal itu tidak berlaku untuk ERK yang baru saja rampung meluncurkan rangkuman kegelisahan terbaru mereka dalam album ketiga "Sinestesia" yang perdana meluncur lewat layanan musik digital iTunes pada dini hari 18 Desember 2015 kemarin.

Lewat Sinestesia, ERK menerjemahkan kegelisahan mereka terhadap berbagai tema dan topik lewat warna-warni yang disematkan sebagai judul enam nomor dalam album tersebut, secara berurutan "Merah", "Biru", "Jingga", "Hijau", "Putih" dan "Kuning".

Warna-warni tersebut, selaiknya judul albumnya, berkaitan erat dengan sang pembetot bass, Adrian Faisal Yunan. Sinestesia merupakan kondisi kelainan indrawi yang membuat seseorang justru mengaktifkan fungsi indrawi lainnya saat salah satu indranya menerima sensor, dalam kasus Adrian ia menerima bebunyian atau musik dalam bentuk warna.

Enam nomor dalam "Sinestesia", dijuduli sesuai dengan apa yang "dilihat" Adrian kala mendengarkan setiapnya. Setiap nomor dalam album ini terdiri dari gabungan dua atau lebih fragmen, sehingga durasi tiap nomornya paling berkisar dari 7 menit 46 detik hingga 13 menit 28 detik.

Sejak nomor pertama, diiringi tabuhan sang drummer Akbar Bagus Sudibyo, ERK langsung menghentak dengan Merah yang merupakan gabungan dari fragmen "Ilmu Politik", "Lara Di Mana Mana" dan "Ada Ada Saja". Nomor ini segera menegaskan posisi ERK yang kerap disebut sebagai pegiat musik potret zaman. Ketiga fragmen di dalam "Merah" memiliki garis besar tema yang sama, politik. 

Dalam "Ilmu Politik", ERK menampar masyarakat Indonesia yang cenderung bersikap antipati terhadap dunia politik, membiarkan bandit menjadi panglima, mengangkat sampah menjadi pemuka dan badut menjadi kepala lantaran kita selalu merasa terlalu necis dan klinis untuk bergelut dengan dunia politik. Namun, sisa-sisa optimisme dan semangat keberlawanan masih mereka teriakan dengan menebar mantra bahwa si Aku siap menjadi pengganjal atas kondisi nyaman yang dinikmati para bandit, sampah dan badut tersebut.

Optimisme itu juga kembali muncul dalam "Lara Di Mana Mana", yang secara umum menarasikan komposisi yang sama dengan "Ilmu Politik" namun Cholil mengajak masyarakat untuk meraih "elan" atau semangat perjuangan atas hidup dan mengepalkan tangan melawan keadaan politik yang tengah terjadi.

Optimisme itu kemudian berbalik menjadi sebuah narasi satir kala "Merah" memasuki fragmen "Ada Ada Saja", saat ERK menguliti berbagai jenis karakter yang mereka temukan di antara masyarakat Indonesia dalam menyikapi kondisi politik kekinian dan mereka mengakhirinya dengan menekankan bahwa mukjizat hanya ada di zaman nabi sehingga apapun yang tengah terjadi saat ini dengan segala tetek bengek persoalan yang menyertainya harus dihadapi dan dikelahi demi meraih tujuan kebaikan bersama.

Dengan narasi tentang kacau balau kondisi sosial politik Indonesia dalam "Merah" tentu pantas apabila Adrian "melihat" warna merah kala mendengar nomor tersebut. Sebab merah boleh berdekatan dengan kemarahan atau justru membakar semangat menuju perbaikan.

Memasuki nomor kedua, "Biru", merupakan gabungan dua fragmen "Pasar Bisa Diciptakan" dan "Cipta Bisa Dipasarkan" yang menjadi nomor pertama yang dilepas ke publik sebagai intipan atas "Sinestesia" jauh pada Juli 2015 lalu, sekira lima bulan sebelum versi penuh "Sinestesia" diluncurkan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Cholil sendiri, "Pasar Bisa Diciptakan" dan "Cipta Bisa Dipasarkan", merupakan suara kegelisahan mereka atas industri musik pada khususnya atau industri kerja kreatif pada umumnya.

Frasa pasar bisa diciptakan seolah diteriakkan kepada cara kerja industri musik konvensional yang cenderung mengutamakan komersialisme berpijak pada musiman apa yang tengah berlangsung di pasar, sementara ERK hanya ingin mencipta apa yang mereka cintai dan menyajikan sesuatu yang bergizi dan bukannya malnutrisi.

Di saat bersamaan, pengulangan frasa itu juga tak ubahnya sebagai sebuah mantra dan sugesti kepada alam pikiran bahwa setelah mereka menembus rimba belantara dan membangun kota serta peradaban dengan tangan sendiri, mereka yakin bisa menciptakan pasar yang mereka idam-idamkan itu.

Lantas narasi mereka berlanjut dalam "Cipta Bisa Dipasarkan", yang memperlihatkan bahwa dari semua perjuangan yang telah mereka lewati dengan komposisi kegelisahan, kegilaan fantasi, rasa kecewa, imajinasi tentang rasa takut, amarah dan angan-angan yang tak lain adalah sebuah siksa akan pelan-pelan membentuk secercah cahaya bak sebuah keberhasilan yang mereka konsepsikan.

Boleh jadi, Adrian, semacam menyampaikan dan mendengar petuah-petuah nan menenangkan namun sekaligus bersemangat bak birunya air lautan yang terlihat tenang meski sebetulnya berkekuatan besar kala mendengar nomor "Biru".

Nomor ketiga "Jingga" dibangun atas tiga fragmen yakni "Hilang", "Nyala Tak Terperi" dan "Cahaya, Ayo Berdansa".

"Jingga" dibuka dengan fragmen "Hilang" yang mengisahkan tentang kegigihan perjuangan orang-orang yang terus menagih kejelasan tentang nasib keluarga mereka yang menjadi korban penghilangan manusia pada senjakala rezim Orde Baru dan melakukan aksi damai berdiam di seberang Istana Negara setiap Kamis sore atau dikenal sebagai Kamisan.

Sebagai informasi, "Hilang" sebelumnya pada 2010 silam pernah masuk dalam album kompilasi PEACE gagasan Amnesty International.

Lantas "Jingga" dilanjutkan dengan fragmen "Nyala Tak Terperi", sebuah lagu yang seolah menjadi monolog dari Adrian tentang kondisinya yang mengalami kebutaan, ditengarai karena Diabetes yang diidapnya. Kondisi penglihatan Adrian kian memburuk setelah sebelah matanya yang bisa melihat, mata kiri, justru semakin buram. 

Akan tetapi, dalam kondisi itu hilangnya fungsi indrawi matanya justru menghidupkan fungsi indrawi lainnya yang "melihat" begitu banyak cahaya yang tak terperikan. Dari cahaya yang tak terperikan itulah lahir album "Sinestesia" dan "penglihatan" atas musik-musik yang ada di dalamnya.

Fragmen terakhir dalam "Jingga", "Cahaya, Ayo Berdansa" merupakan sebuah lagu instrumental yang menonjolkan nada-nada yang dihasilkan oleh tuts-tuts piano yang dibelai oleh Muhammad Asranur, keyboardist Pandai Besi dan Max Havelaar. Denting-denting piano yang menutup "Jingga", menahbiskan nomor ini sebagai nomor yang paling sendu dalam "Sinestesia".

Bagi saya, mendengarkan "Jingga" sembari memejamkan mata akan menghadirkan sebuah semburat cahaya jingga yang melatari para pelaku aksi Kamisan setiap Kamis sore. Sebuah semangat yang dilahirkan dari kesenduan dan kesedihan akibat kehilangan sesuatu yang berharga.

Fragmen "Keracunan Omong Kosong" dan "Cara Pengolahan Sampah", membentuk nomor keempat dalam "Sinestesia", "Hijau".

Dalam "Keracunan Omong Kosong", secara umum tertangkap lontaran kritik terhadap dua hal, media sosial dan pers. ERK mengkritik maraknya sosok-sosok yang seolah menjadi nabi lewat jejaring media-media sosial, sosok segala tahu namun di saat bersamaan kerap mempromosikan tutur miskin pemikiran, hasutan, kemunafikan, hujatan dan kebencian yang tidak lain diakibatkan keracunan omong kosong.

Omong kosong itu boleh jadi disebabkan banjirnya informasi yang direproduksi media-media massa, yang kemudian direproduksi lagi oleh sosok-sosok serba tahu di media sosial, dan begitu seterusnya bak lingkaran setan yang sulit diakhiri.

Fragmen "Cara Pengolahan Sampah", seolah pedang yang memiliki dua mata pisau. Satu mata pisau menguliti tentang berbagai omong kosong yang tak lain adalah sampah adalah konsekuensi dari demokrasi yang katanya sudah dianut oleh negara kita. Sementara mata pisau yang lain dengan tajam mengukir di ingatan kita bagaimana cara mengelola sampah dengan baik, efektif dan produktif.

Adrian mungkin "melihat" warna hijau kala mendengarkan narasi cara pengolahan sampah dan cerita tentang sosok-sosok selebritas media sosial yang sebetulnya masih sangat hijau baik itu dari segi ilmu maupun kemampuan berkomunikasi.

Nomor "Putih", terdiri dari "Tiada" dan "Ada", merupakan nomor kedua yang sempat dibagikan sebelum tanggal rilis album lengkap "Sinestesia" dan dalam rilisnya ERK menyatakan nomor ini sebagai sebuah lagu tentang keluarga dengan ide "Tiada" datang dari seorang rekan mereka, Adi Amir Zainun, yang harus pergi meninggalkan mereka lebih dulu, sementara "Ada" merupakan ungkapan kebahagiaan dan harapan mereka atas kelahiran Angan Senja (putra Cholil) dan Rintik Rindu (putri Adrian).

Dalam "Tiada", ERK mengajak kita masuk ke dunia astral saat sesosok ruh mengalami perpisahan dengan tubuhnya, menyaksikan jasadnya terbaring tanpa daya di sebuah ambulans sementara suara sirine bak lagu pengiring di ruang tunggu menanti jadwal janji bertemu Tuhan. Lantas sang ruh juga menyempatkan untuk berkunjung ke rumahnya, menghidu aroma masakan kegemarannya yang disajikan sebagai suguhan untuk orang-orang yang bertahlil mendoakan keselamatannya, sementara ia masih mendengar terkadang ada suara tangis dari orang-orang yang masih dilanda kesedihan karena berpisah dengan dirinya.

Lewat "Tiada", ERK juga mengingatkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, sebab ia merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap yang bernyawa.

Tirai kesedihan itu kemudian berganti menjadi curahan kebahagiaan dan harapan dalam fragmen "Ada", sebuah lagu yang penuh sambutan atas generasi-generasi penerus trah mereka sebagai manusia yang mengarungi dunia, sembari menyisipkan pesan bertabur harap agar mereka bisa tetap mempertahankan kejujuran dalam keadaan apapun, lapar maupun kenyang, gelap maupun terang.

Saya tak bisa membayangkan apa yang membuat Adrian "melihat" warna putih saat mendengar nomor ini, kecuali pikiran saya melayang pada kain kafan yang identik dengan warna putih dan kelahiran manusia baru alias bayi yang dianggat masih putih bersih tanpa membawa dosa.

Nomor penutup dalam "Sinestesia" adalah "Kuning", yang dibangun atas "Keberagamaan" dan "Keberagaman". Meski judulnya "Keberagamaan", jangan membayangkan fragmen ini laiknya lagu-lagu religius yang biasa diputar di televisi kala memasuki Bulan Ramadhan.

"Keberagamaan" menceritakan bagaimana seseorang mengalami fenomena spiritual dalam hubungan transendental, namun kemudian ia justru melarang adanya bentuk pengalaman spiritual yang berbeda dari yang ia rasakan sebagai sebuah kebenaran. Karena itu pula, semua yang ia lakukan mendadak menjadi percuma, karena pada akhirnya ia seolah-olah memonopoli surga sebagai tempatnya sendiri, ruang hampa yang tak didiami sesiapapun lainnya karena yang lain berbeda dengan dirinya.

Lantas di fragmen "Keberagaman", ERK mengatakan bahwa pada akhirnya semua agama memiliki pertautan satu sama lain mengusung nilai-nilai kebaikan universal tentang pola hubungan antarmanusia yang penuh kasih. Fragmen ini juga kemudian menggambarkan suasana penghakiman di Hari Akhir, sebuah narasi yang sangat mantap untuk menutup rangkaian panjang "Sinestesia".

Di akhir "Kuning", ERK menyisipkan lagu tradisional yang biasa dinyanyikan Suku Dayak Kenyah, "Leleng Leleng", mengisahkan tentang seorang gadis yatim piatu yang ditinggalkan seorang pemuda dan ia terus berputar-putar dalam keadaan sedih hingga menitikkan air mata, yang juga kerap dijadikan musik pengiring Tari Leleng.

Saya tak melihat korelasi antara "Leleng Leleng" dengan "Kuning", juga tak bisa menerka-nerka bagaimana menerjemahkan nomor ini sebagai sesuatu yang berwarna kuning.

Selain dari segi musikalitas yang lebih banyak memperlihatkan eksplorasi Cholil, Adrian dan Akbar dalam memainkan alat-alat mereka, secara keseluruhan dalam "Sinestesia" ERK tetap mengusung karakter yang memang melekat kuat sebagai citra mereka.

Misalnya dalam hal penulisan lirik, ERK tetap konsisten untuk menggali kekayaan kosakata Bahasa Indonesia dan menempelkan satu dua di antaranya yang dirasa cocok untuk menambah khasanah tutur mereka dalam menarasikan pesan-pesan yang ingin disampaikan.

Apabila anda termasuk seseorang yang cukup beruntung untuk membeli cakram album Sinestesia, anda akan menemukan beberapa kata yang tidak biasa mampir di telinga anda, terlebih untuk diperoleh dari serangkaian lirik lagu.

Kata "kelembaman" dan "elan" misalnya, kata yang disisipkan dalam bagian reffrain fragmen Lara Di Mana Mana. Saya pribadi harus mengakses laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk memperoleh penjelasan arti dari kedua kata tersebut, kata yang bahkan jarang saya baca apalagi dengar dalam sebuah lagu.


Pasar Sukses Diciptakan

Pasar bisa diciptakan merupakan kredo yang diusung ERK sejak lama. Saya lupa persisnya, tapi Akbar, Cholil dan Adrian pernah mengenakan kaos yang masing-masing berbunyi Pasar, Bisa dan Diciptakan kala menerima sebuah penghargaan musik sekitar tahun 2010 silam.

Lebih dari tujuh tahun lamanya jeda antara "Sinestesia" dengan album kedua, "Kamar Gelap", justru sukses membuktikan kredo itu menjadi kenyataan. Sebab dalam rentang waktu tersebut, ERK betul-betul sukses menciptakan pasarnya sendiri.

Saya melewatkan kesempatan menyaksikan penampilan ERK dalam perayaan ulang tahun kedua Hard Rock Cafe Jakarta pada malam 21 Desember 2015 lalu, padahal dalam acara tersebut trio itu menjual 100 keping cakram pertama "Sinestesia". Saya menjadi satu dari sekian banyak orang yang mengeluh dan menyesal tidak bisa menjadi salah satu pemilik satu dari 100 keping cakram pertama itu.

Pasar itu terus bergolak dan menagih cakram yang kemudian didistribusikan oleh distributor musik mandiri, Demajors, kerap habis di laman tempat pemesanan daring.

Pasar itu juga lah yang dengan rakus menghabiskan ratusan lembar tiket untuk Konser Sinestesia yang akan digelar pada Rabu 13 Januari 2016 di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, hanya dalam waktu sepekan sejak pemesanan tiket dibuka. Ya, pasar itu sukses diciptakan oleh Cholil, Akbar dan Adrian.

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016