Jakarta (ANTARA News) - Politisi PDI Perjuangan (PDIP), Evita Nursanty, meraih gelar Doktor Bidang Ilmu Hubungan Internasional dalam sidang promosi doktor yang digelar di Gedung 2 Lantai 4, Universitas Padjajaran Jalan. Dipati Ukur 35, Bandung, Jawa Barat, Jumat.

Anggota Komisi I DPR RI tersebut mempertahankan disertasi mengenai "Diplomasi Parlemen dengan mengambil contoh kasus terorisme", dengan mendapat nilai predikat "cumlaude".

Tampak hadir Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Wantimpres Sidarto Danusubroto, Pimpinan Komisi I DPR Mahfudz Sidiq, Tantowi Yahya, Komjen Pol Suhardi Alius, Brigjen Wuryanto, Prof Purnomo Yusgiantoro dan pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati.

Dalam disertasinya Evita memfokuskan diri pada peran parlemen dalam penguatan politik luar negeri, dan menjadi bagian penting dari pelaksanaan tugas dan fungsi DPR yakni legislasi, pengawasan dan anggaran.

Selama ini, menurut Evita, peran parleman dalam politik luar negeri tidak terlalu banyak disinggung dengan alasan politik luar negeri merupakan domain dari pemerintah sebagai representasi negara, padahal konstitusi Indonesia mengatur ada peran parlemen dalam membuat  perjanjian dengan negara lain, termasuk pengangkatan para duta besar.

"Karena itu dalam penelitian ini saya mencoba memberikan nomenklatur dengan konsep baru peran DPR dalam politik luar negeri dengan tipe "Track One and Half'," kata Evita dalam keterangan tertulisnya.

Dikatakannya, "One and Half Track" karena DPR juga berperan sebagai bagian dari "state" atau lembaga negara  sebagaimana juga diatur dalam UU MD3, atau "Track One", dan disisi lain, DPR merupakan representasi rakyat atau pembawa suara rakyat yang dipilih melalui pemilu yang dikenal dengan "Track Two".

Evita menyebut, dalam studi hubungan internasional ada berbagai tipe diplomasi yang sudah dikenal, yakni: formal diplomacy, track one diplomacy, track two diplomacy, dan multi-track diplomacy sebagaimana disampaikan  Diamond & McDonald, Ziegler, Magalhaens dan juga Montville.

Selain itu ada juga istilah soft diplomacy, dan hard diplomacy, bahkan terakhir ini muncul istilah smart diplomacy. Semua tipe diplomasi ini dalam rangka pencarian resolusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat internasional.

Untuk menjalankan One and Half Track Diplomacy ini, Evita  menyarankan perlunya dilakukan revisi undang-undang khususnya UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang sesuai semangat konstitusi.

Selain itu perlunya pembenahan atau pengaturan hubungan koordinasi antara Kemlu RI dengan DPR (BKSAP) termasuk dengan kementerian atau lembaga pemerintah lain yang terkait dengan hubungan luar negeri, secara lebih jelas, sehingga terjadi hubungan yang sinergi dan terkoordinasi sebagai institusi “State” yang menjalankan misi kenegaraan yang sama.

"Perlunya pembenahan di internal DPR sehingga pelaksanaan peran dan fungsi diplomasi parlemen dapat dilakukan secara efektif, baik itu koordinasi efektif antara Komisi-komisi DPR dengan BKSAP, efektifitas pemilihan anggota terkait kerjasama bilateral maupun multilateral, hingga publikasi berbagai kegiatan diplomasi parlemen," ujar Evita Nursanty.

Terkait pembahasan isu terorisme di InterParliamentary Union (IPU), Evita menyebut, selama ini parlemen Indonesia sangat aktif memberikan kontribusi dalam pembahasan isu ini apalagi Indonesia menjadi korban aksi terorisme internasional selama ini.

"Peran DPR dalam diplomasi ini juga mendorong DPR mendukung lahirnya perundangan terkait tindak pidana terorisme, pembentukan badan atau institusi baru," katanya.

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016