Astaga...... di manakah rasa empati itu?"
 Jakarta (ANTARA News) - Seikat bunga warna-warni dari berbagai jenis terbungkus plastik didekap dengan tangan kanan oleh seorang pelajar putri ketika berfoto selfie (swafoto) di depan pos polisi yang poran poranda pasca-ledakan bom dari teror di pusat perbelanjaan di kawasan Jalan MH Thamrin, Minggu (17/1). "Senyum dong," kata rekan di seberangnya.

Pelajar putri itu tidak sendiri. Aksi selfie pasca-teror bom di kawasan MH Thamrin itu juga dilakukan ratusan orang, tua muda, perempuan dan pria, pelajar dan mahasiswa, karyawan dan karyawati, untuk memenuhi hasrat mengabadikan dan mengenang peristiwa yang mendukakan hati karena meminta korban jiwa.

Mereka menabur bunga sebagai pengungkapan dan perwujudan keinginan berbela-rasa atas teror bom Thamrin yang meletus pada Kamis (14/1). Sehari kemudian, seorang pria kedapatan berfoto selfie di luar kedai kopi Starbucks Coffee yang diserang terduga teroris.

Berfoto narsis alias berselfie ria di lokasi insiden yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka mengundang tanya, tidakkah mereka mengetahui bahwa aksi teror bom sesungguhnya merupakan bentuk paling rendah dari survival yakni membunuh. Sesungguhnya apa yang ingin diabadikan dengan berfoto selfie dari drama pembunuhan teror Thamrin?

Berfoto selfie dengan latar dari dampak kehancuran teror bom Thamrin perlu mencermati dan menimbang-nimbang tiga korban tewas dari warga sipil dan 16 orang yang kini masih dirawat di beberapa rumah sakit di wilayah Jakarta.

Korban tewas, selain Rais Karna (37 tahun), karyawan Bank Bangkok, ada pria bernama Rico Hermawan dan seorang warga asing asal Kanada, Amir Quali Tamer. Sementara seorang korban dipindahkan perawatannya ke luar negeri (Singapura) yaitu Yohanes Antonius Maria, seorang warga negara Belanda.

Berfoto selfie sejatinya merupakan pemenuhan kebutuhan akan pengakuan diri, merujuk kepada kredo "Aku yang membangun harga diriku".

Selfie berkembang seiring dengan pemilikan telepon pintar yang berfungsi bukan sebatas alat berkomunikasi melainkan merujuk kepada status sosial seorang. Ini sama dan sebangun dengan keberadaan mobil-mobil mewah di tengah jalan ibukota Jakarta yang dilanda kemacetan lalu lintas.

Berfoto selfie dengan latar belakang teror bom Thamrin yang mengakibatkan korban jiwa dan korban luka-luka merupakan kegagalan menangkap realitas seperti adanya, yakni realitas kematian dari sebuah drama pembunuhan.

Bermobil mewah di jalan-jalan Jakarta yang macet kian parah menunjuk kepada dominasi ego pribadi, atau miskin dalam kesadaran akan kondisi sekitar.

Kebijaksanaan menuntun manusia kepada kebaikan, sebaliknya ego pribadi menghancurkan kebijaksanaan, mengutip pendapat penulis spiritual Kanada kelahiran Jerman, Eckhart Tolle dalam bukunya berjudul "A New Earth".

Hidup yang dikuasai ego pribadi sejatinya hidup dalam angan-angan, tidak merasakan denyut kehidupan seperti adanya, sebagaimana ditulis oleh Hendro Setiawan dalam buku berjudul "Manusia utuh, Sebuah kajian atas pemikiran Abraham Maslow."

Apakah bijak berselfie ria dengan dilatarbelakangi drama kematian akibat teror bom? Kematian, di mata filosof Martin Heidegger, merupakan "kemungkinan yang paling sesungguhnya dari manusia". Manusia ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode).

Manusia dicekam kecemasan ketika dihadapkan kepada kematian. Kecemasan merupakan sesuatu yang sungguh tidak nyaman, tidak mengenakkan bagi setiap manusia tanpa kecuali. Inilah logika kematian dari bencana kemanusiaan.

Massa dan teror bersumber dari kematian, tulis F. Budi Hardiman dalam buku berjudul Memahami Negativitas, diskursus tentang massa, teror, dan trauma. Teror merupakan teknik untuk memperbesar ketakutan akan kematian. Dengan begitu, terorisme sejatinya merupakan politik kematian.

Para teroris bekerja penuh rahasia untuk efek-efek publik, artinya sasaran teror adalah manusia-manusia yang hidup. Korban jiwa dan korban luka merupakan teater kematian yang didalangi teroris. Kredo dari aksi teror yakni membunuh satu orang agar membuat seribu orang ketakutan.

Target teror adalah massa, karena teror menyeragamkan manusia. Tidak ada lagi si A, si B, si C, melainkan semua dilabel sebagai sosok yang harus dihabisi atau diakhiri hidupnya. Segala perbedaan antara aku dan kami menguap di bawah cengkeraman rasa takut yang sama, tulis staf pengajar STF Drijarkara itu.

Teror bom Thamrin adalah oase kematian, oase tanpa harapan. Kredo bom Thamrin adalah membunuh dan melukai korban agar membuat banyak orang ketakutan. Sontak, masyarakat bereaksi dengan melakukan aksi solidaritas mengecam aksi teror, di depan Gedung Cakrawala, Jakarta Pusat, Jumat (15/1).

Aksi bertemakan  #KAMITIDAKTAKUT menyerukan kebersamaan. Aksi solidaritas juga diisi dengan meletakkan bunga di depan lokasi kejadian teror.

Dihadapkan dengan logika kematian dari bencana kemanusiaan, reaksi serupa ditunjukkan ketika dua orang perempuan berpose di depan kamera dengan latar belakang reruntuhan puing pesawat C-130 Hercules yang jatuh di Medan pada Selasa (30/6/2015) lalu. Foto ini banyak beredar di media sosial dan mendapat benyak kecaman dari netizen.

"Astaga...... di manakah rasa empati itu?" tulis akun Hasudungan Rudy Yanto Sitohang di akun Facebook-nya. "Di mana etika dan empati ibu ibu yang berfoto di lokasi musibah ini?" tulis salah satu pengguna Facebook lain dalam komentarnya. "Gimana ceritanya kok bisa2nya selfie di tengah berduka," tulis pemilik akun Dwi di linimasa Facebook, sebagaimana dikutip dari laman Kompas.com.

Aksi berfoto di lokasi bencana atau kecelakaan kemanusiaan mengingatkan masyarakat kepada peristiwa Gunung Merapi meletus pada April 2014 atau gempa bumi di Nepal pada April 2015. Banyak "wisatawan" yang menyambangu lokasi bencana dan berfoto-foto lalu mengunggahnya ke media sosial. Kontan, foto-foto tersebut juga menyebar dan mendapat kecaman deras dari netizen.

Berfoto selfie versus teror bom Thamrin mengundang celetukan netizen, "Astaga...... di manakah rasa empati itu?" "Gimana ceritanya kok bisa2nya selfie di tengah (orang-orang) berduka?"

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016