Jakarta (ANTARA News) - Aksi teror di sekitar pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, Kamis (14/1), membuka mata dan kesadaran warga bangsa ini bahwa ancaman teror itu begitu dekat, begitu nyata.

Aksi teror yang menelan korban nyawa tujuh orang, lima di antaranya nyawa pelaku sendiri, itu justru terjadi di pusat pemerintahan, bahkan berjarak kurang dari 3 kilometer dari Istana Negara.

Diakui atau tidak, ada warga bangsa ini yang menganggap ancaman teror di negara ini tidaklah semenakutkan seperti yang diberitakan media massa.

Seorang anggota DPD RI, sebagaimana diberitakan media online pada Maret 2015, bahkan menganggap "lebay", "paranoid", respons pemerintah ketika menyikapi pesan singkat (SMS) ancaman yang diduga dari kelompok bersenjata ISIS yang dikirim ke Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti.

Bahkan, senator ini menilai gerakan ISIS yang ada di Indonesia sekadar pengalihan isu dari realitas di Tanah Air yang disebutnya karut marut.

Salah satu media online, beberapa waktu setelah peristiwa teror di Paris, Prancis, juga memberitakan pernyataan seorang pengamat yang menyebut Indonesia aman dari teror sejenis itu. Beberapa pejabat negara pun memberikan pernyataan yang kurang lebih sama.

Padahal, petinggi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah menyinyalir bahwa teror Paris, 13 November 2015, merupakan pola baru dari aksi teror kelompok ISIS, yang bukan tidak mungkin bakal terjadi pula di Indonesia.

Direktur Deradikalisasi BNPT Prof Dr Irfan Idris MA mengatakan ISIS mengubah pola teror dari yang sebelumnya serangan banyak dilakukan di wilayah yang pendukung ISIS-nya banyak seperti Suriah dan Irak, sekarang mereka menghantam wilayah yang pendukung ISIS-nya sedikit, tapi memiliki dampak yang sangat luar biasa.

"Kalau strategi itu terus mereka mainkan, pasti akan terjadi banyak teror dan ledakan bom di banyak negara yang ada simpatisan ektremis tersebut, termasuk Indonesia," katanya pada pertengahan Novemver 2015.

Mantan Wakil Sekjen PBNU Adnan Anwar pun mengingatkan bahwa berdasar data yang berhasil diretas "Anonymous", gerakan peretas dunia yang muncul setelah teror Paris, Indonesia pun disebut sebagai salah satu sasaran aksi teror ISIS.

Pascateror Paris, penyebar propaganda paham kekerasan masih leluasa melakukan aksinya di dunia maya. Bahkan, seorang jurnalis Kantor Berita Antara mengaku masih bisa mengakses satu situs yang memberikan tutorial cara membuat bom dan mempersiapan aksi teror, beberapa saat setelah aksi teror di Jalan MH Thamrin, meski kemudian situs itu akhirnya diblokir.



Ancaman Belum Berakhir

Sepekan sebelum peristiwa teror di Jakarta, tepatnya tanggal 6 Januari 2016, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Saud Usman Nasution menyatakan ancaman terorisme belum akan berakhir bila tujuan dari kelompok radikal untuk membentuk Daulah/Khilafah Islamiyah belum terwujud.

"Masyarakat sendiri, termasuk para ulama, bersifat apatis. Hal itu tentunya akan menyuburkan dan memberi ruang bagi berkembangnya aksi radikalisme dan terorisme," katanya saat melantik Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir sebagai Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT menggantikan Mayjen TNI Agus Surya Bakti.

BNPT sendiri terus melaksanakan berbagai program yang dianggap bisa mencegah munculnya aksi teror, terutama berusaha mengimbangi propaganda kelompok radikal yang dikhawatirkan menarik simpati masyarakat, terutama kelompok anak muda dan mereka yang pemahamanan agamanya kurang.

Institusi ini juga menyusun prosedur operasi standar (Standard Operating Procedure -SOP) dalam menghadapi ancaman terorisme terhadap objek vital, objek wisata, dalan lain-lain termasuk untuk pengawasan kawasan perbatasan.

"Indonesia pernah merasakan dampak langsung terorisme akibat lemahnya sistem pengawasan di wilayah ini. Pergerakan organisasi teroris transnasional di beberapa tahun silam, seperti yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah, bertumpu pada wilayah perbatasan ini," kata Saud.

Sejumlah nama gembong teroris, seperti Azahari dan Noordin M Top terbukti menggerakkan kelompoknya melewati perbatasan Filipina-Malasyia-Indonesia. Pergerakan kelompok teroris di wilayah ini tidak terbatas hanya pada penyelundupan para pelaku teroris saja, melainkan juga penyelundupan senjata yang digunakan untuk kegiatan terorisme.

Teori masuknya para pelaku terorisme ke Indonesia lewat dan memanfaatkan lemahnya sistem pengawasan perbatasan bukan sekadar isapan jempol. Sejumlah mantan anggota jaringan terorisme pun telah membenarkan teori ini. Mereka mengaku menggunakan jalur perbatasan yang lemah untuk menyelundup masuk ke Indonesia, demikian seperti yang pernah disampaikan para mantan teroris seperti Nasir Abbas, Abdurrahman Ayyub, Ali Fauzi, Umar Patek, dan sebagainya.

BNPT pun meminta WNI yang baru datang dari Timur Tengah, terutama Suriah diwaspadai. Bahkan, BNPT pun mencurigai kemungkinan adanya simpatisan ISIS yang pulang kampung dengan menyamar sebagai TKI ilegal yang dipulangkan ke Indonesia.

Partanyaannya, jika ancaman teror itu masih menghantui Indonesia dan sangat disadari oleh aparat berwenang, mengapa aksi teror di Sarinah tetap terjadi? Apakah tak ada antisipasi? Sangat wajar kalau kemudian banyak kalangan menilai aparat kecolongan.

Meski demikian, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menolak tudingan itu. Menurut dia, informasi akan adanya serangan teror sudah didapatkan, namun memang tidak dipublikasikan. Namun ia mengakui serangan terjadi karena kendornya pengamanan.

Peran Masyarakat
Banyak kalangan merasa lega ketika pascateror bom Jakarta muncul gerakan masyarakat menolak terorisme, seperti di media sosial menggunakan tagar #kamitidaktakut, gerakan "Kami orang Islam tapi kami menentang terorisme" di Solo, serta penolakan pemakaman jasad pelaku teror bom oleh warga kampungnya.

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menilai ketidaktakutan masyarakat terhadap aksi teror merupakan modal dasar kuat untuk mendukung pemberantasan terorisme terhadap kelompok-radikal tertentu.

"Tantangannya, jajaran pemerintahan bisa mengubah ketidaktakutan itu menjadi sebuah dukungan nyata terhadap kegiatan pencegahan maupun penindakan terorisme di Indonesia," kata dia.

Guru besar sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta Prof Dr Bambang Pranowo MA menilai sikap masyarakat itu adalah bukti kekuatan Islam moderat di Indonesia dalam membendung paham kekerasan dan aksi terorisme.

"Itu adalah refleksi bahwa mayoritas masyarakat dan umat memang tidak setuju dengan berbagai hal yang berkaitan dengan terorisme. Mereka bahkan berani melawan tindakan itu," katanya.

Artinya, tambah Bambang, masyarakat sudah semakin sadar untuk selalu mengedepankan Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Sikap masyarakat itu positif bagi pencegahan terorisme ke depan.

"Itu bukti bahwa kesadaran masyarakat itu sudah ada bahkan sangat tinggi. Tinggal bagaimana kita menjadikan dukungan itu menjadi gerakan nyata yang besar. Kalau itu bisa diwujudkan, praktis ruang gerak terorisme di Indonesia akan makin sempit," katanya.

Menurut dia, sikap masyarakat itu tidak boleh dilewatkan begitu saja oleh pemerintah, yang notabene selama ini senantiasa meminta peran masyarakat untuk membantu mencegah dan memerangi terorisme, juga penyebaran paham kekerasan.

"Ini adalah momentum untuk menggunakan kekuatan masyarakat untuk mencegah aksi kekerasan dan terorisme di Indonesia," kata Bambang yang juga Rektor Universitas Mathla'ul Anwar Banten ini.

Ia pun meminta pemerintah melalui BNPT dan lembaga-lembaga lainnya untuk meningkatkan kegiatan sosialiasi pencegahan terorisme melalui dialog, workshop, serta program damai di dunia maya.

"Sekarang bagaimana semua lembaga yang terkait bersama masyarakat semakin masif dalam melakukan antisipasi bahaya terorisme ini dengan menyebarkan kesadaran bahwa terorisme itu adalah sesuatu yang salah," katanya. 

Oleh Sigit Pinardi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016