Banjarmasin (ANTARA News) - Sungai Martapura yang membelah Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin, kini tidak sepenuhnya bisa menjadi penopang kebutuhan air warga sekitarnya.

Pencemaran membuat tingkat keasinan air sungai itu meningkat pertengahan tahun lalu, dan awal tahun ini rasanya menjadi asam, membuat Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih di Banjarmasin kesulitan mengolahnya.

Direktur Utama PDAM Bandarmasih Ir Muslih mengatakan tingkat keasaman air Sungai Martapura saat ini di bawah standar baku mutu untuk bisa diolah menjadi air siap minum. PH-nya di bawah 5.

"Yang bisa diolah menjadi air minum itu posisinya harus di atas 6," tuturnya.

Dengan PH yang sangat rendah, Muslih mengatakan, perusahaan air minum harus menggunakan banyak bahan kimia untuk menetralkannya dan kalau sudah netral airnya tidak akan jernih maksimal.

"Berdasarkan warnanya mencapai 225 TCU (True Colour Unit), padahal syarat yang boleh didistribusikan hanya 15 TCU, tapi mengolah air jernih ini lebih sulit, air yang tidak ada turbidity atau kekeruhannya lebih sulit," ucapnya.

Muslih menyebut kondisi itu sebagai hal baru karena biasanya tingkat kekeruhan air hanya sampai 15 TCU saja.


Pemeriksaan

PDAM Bandarmasih akan mengirimkan sampel air Sungai Martapura yang tingkat keasamannya tinggi itu ke Jepang untuk diteliti.

"Sebab air sungai Martapura yang menjadi penopang air baku PDAM akan setiap saat bisa mengalami perubahan kadar baik asin maupun asam yang belum pernah terjadi, saat ini sudah demikian, bagaimana nanti," katanya.

Ia menduga perubahan keasinan dan keasaman air sungai itu berhubungan dengan banyaknya lahan gambut yang terbakar selama musim kemarau dan abunya terbawa air ke sungai saat musim hujan.

Masalah lainnya, menurut dia, adalah mulai gundulnya hutan di bagian hulu sungai dan naiknya air laut hingga ke daerah hulu sungai.

Muslih mengatakan saat ini perusahaan berupaya menyelamatkan sumber air baku yang ada untuk memenuhi sekitar 150.000 rumah tangga yang menjadi pelanggan.

"Rencana kita membangun embung atau reservoir, atau bisa dibilang lumbung air baku di daerah Pematang Panjang, Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar menjadi salah satu solusinya," katanya.

Embung yang biaya pembangunannya hampir Rp1 triliun itu, menurut dia, akan menjadi tempat cadangan air PDAM saat kemampuan sungai menyediakan air minum menurun.

"Sebagaimana tahun kemarin, kemarau panjang melanda daerah ini, di mana krisis air bersih pun terjadi, sebab air Sungai Martapura meningkat keasinannya hingga tidak mampu diolah," ujarnya.

Menurut dia saat itu kadar garam Sungai Martapura di kawasan Intake PDAM Sungai Bilu mencapai 600 miligram per liter, jauh lebih tinggi dari standar kadar garam yang aman untuk pengolahan air bersih yang hanya 250 miligram per liter.

"Saat itu intake yang memiliki tiga mesin penyedot air baku itu harus distop oprasionalnya, yang mengakibatkan pengolahan air bersih mengalami penurunan hingga 30 persen," katanya.

"Kita harap ini tidak terjadi lagi di tahun akan datang, perlu semuanya memikirkan ini, baik pemerintah daerah, provinsi, dan pusat, bagi kesinambungan keberadaan air bersih di daerah ini," demikian Muslih.

Oleh Sukarli
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016