Jakarta (ANTARA News) – Meme (dibaca mim) bukan sekdar iseng, tetapi juga menjadi ajang mengajak masyarakat melek masalah sosial yang sedang dan pernah terjadi, kata penulis muda Ibrahim Aziz Sutansyah.

Lewat bukunya “Diary Dagelan 2015”, penulis yang akrab disapa Baim dan 8 rekan lainnya menangkap peristiwa-peristiwa sosial sepanjang 2015 lewat meme-meme kreasi para netizen kreatif, mulai dari fenomena penyanyi Tulus, banjir di Jakarta, begal, dubsmash, papa mama modus, hingga Star Wars dan Tahun  Baru.

“Soal meme dan tren di 2015 kemarin, khususnya yang beredar di Dagelan juga, kita ambil setiap bulan mana sih yang menjadi tren yang paling berpengaruh dan booming. Kita angkat dan sampaikan pada pembaca kalau meme itu enggak sekedar hiburan semata. Di situ kita bisa tahu isu dan melihat efek sosial yang bisa kita ambil dari meme tersebut,” tutur Baim kepada ANTARA News di Jakarta, belum lama ini.

“Misalkan soal banjir. Mengapa sih ada meme banjir, di setiap Februari pasti dijadikan lelucon. Makanya kita angkat. Masalah banjir sampai sekarang enggak selesai-selesai. Dari pada dijadikan beban pikiran, lebih baik kita buat hal lucu dan halus, tetapi seenggaknya jadi reminder (pengingat), masalah itu tetap ada,” kata dia.

Mengumpulkan meme dan menemukan pembuatnya bukan perkara mudah, tetapi Baim dan tim benar-benar mencari sumber pertama meme secara manual.

“Kendala tracking, mencari sumber awal meme, simpang siur kan. Mau pakai jasa perusahaan tertentu tetapi mahal. Akhirnya, kami manual saja. Based on hastag. Sementara hastag itu orang bisa bebas pakai,” kata dia.

Pria berkacamata itu mengatakan, tak hanya meme, tim penyusun juga menyisipkan berbagai macam permainan semisal tebak-tebakan, mencari jalur dan bahkan komik pendek dalam buku. Dengan begitu, pembaca akan terus melahap halaman demi halaman buku ini, sampai selesai.

"Diary Dagelan" menyasar pembaca usia 18 tahun hingga 22 tahun yang disebut Baim cenderung bisa memahami meme yang hadir.

“Target pembaca dari usia 18-22 tahun. Soalnya umur-umur segitu bisa lah dia membaca intisari meme. Kalau di bawah itu hanya menganggap sebagai hiburan,” kata lulusan salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta itu.  

Saat ini Baim harap-harap cemas. Alasannya, selain karena buku ini karya pertamanya, uga karena inilah kali untuk pertama kalinya berbagai meme diubah laksana kaleidoskop.

“Harap-harap cemas bisa enggak ya diterima masyarakat. Ini baru semacam kaleidoskop, bentuknya fun. Soalnya selama ini kaleidoskop serius-serius, berita-berita berat,” kata dia sembari membetulkan letak kacamatanya.

Dia berjanji, bila tahun depan buku seri berikutnya rilis, akan ada berbagai kejutan lain darinya untuk pembaca.

Full color


Buku setebal 192 halaman itu menggunakan sampul berwarna kuning menyala. Setiap halaman buku tak luput dari warna-warna terang layaknya buku bacaan anak-anak. Menarik sih.

“Buku ini dirancang full color karena dagelan itu penuh warna,” kata Baim.

Sayang, buku yang menyisipkan semacam “cermin” pada sampulnya itu tak dilengkapi daftar isi sehingga pembaca akan kesulitan memilih halaman-halaman atau meme tertentu yang menariknya.

Bagi pembaca yang belum akrab dengan "Diary Dagelan" dan karakter-karakternya, tak perlu khawatir karena halaman-halaman awal buku ini menyedikan semacam prolog yang bisa membantu memahami isi dan karakter-karakter dalam buku.

Kalimat-kalimat yang sederhana dan cenderung penuh canda niscaya tak akan membuat kening pembaca berkerut karena bingung membaca pesannya.

Tak hanya meme populer, Diary Dagelan juga menyuguhkan berbagai permainan dan hiburan lain yang interaktif. Pembaca akan diajak bermain-main dengan smartphone-nya karena buku ini terhubung dengan dunia maya.



Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016