Jakarta (ANTARA News) - Dalam kurun setahun lebih, komik strip Tahilalats yang berisi cerita absurd nan jenaka telah memiliki 570.000 pengikut di Instagram, tempat komik itu diunggah secara berkala. 
Meski coretan gambarnya sederhana, ide kocak yang disajikan dalam tiap cerita membuahkan ratusan hingga ribuan komentar pembaca. 
 
Nurfadli Mursyid, pria Bugis di balik komik Tahilalats, adalah lulusan teknik sipil yang banting setir menjadi seorang ilustrator demi mengikuti kata hatinya. 
 
Pemuda 22 tahun ini berbagi cerita saat ditemui Antara News di kantornya, di mana ia membuat ilustrasi komik untuk Dagelan, di wilayah Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. 
 
Awal mula bikin komik?
Sering gambar dari kecil, tapi belum tahu itu ternyata namanya komik. Sejak kecil sudah suka membuat cerita gambar per panel tapi belum tahu itu namanya komik. Pas kuliah baru mulai serius dunia perkomikan, akhirnya mulai ngikutin perkembangan komik strip dan terjun sampai sekarang.
 
Waktu kecil bikin komik seperti apa?
Cerita-cerita teman di kelas, kadang cerita fiksi, absurd gitu. Per panel, habis gambar terus kasih lihat ke orang-orang dan mereka ketawa.
 
Mengapa komik strip?
Memang lebih tertarik komik strip karena komik strip lebih simpel, jadi satu cerita bisa langsung sampai tamat, tidak berseri, per seri sudah selesai.
 
Kuliahnya tidak berhubungan dengan komik ya?
Dulu teknik sipil, sambil kuliah masih suka bikin karya komik. Jadi tidak ada hubungan sama sekali kuliah dengan komik.Waktu kuliah kerja gue di media juga, jadi ilustrator sambil kuliah. Ilustrator untuk surat kabar Fajar Pendidikan di Sulawesi. 

Pas lulus kuliah dipanggil ke Dagelan. Dapat link karena sering ngomik, di DM (direct message) sama kantor ini langsung. Langsung resign kerjaan di sana (Sulawesi). Alhamdulillah sampai sekarang belum pernah nyari kerja, pas kuliah di kantor itu juga udah disuruh kerja.
  
Orangtua merestui jadi komikus?
Dari kecil orang tua tidak setuju kalau gue suka bikin gambar terus di buku. "Buat apa sih? Belajar yang baik saja". Tapi tetap gue lakuin, buku pelajaran gue penuh gambar, gue coret-coret. Akhirnya sampai sekarang malah didukung karena sudah dapat penghasilan dari situ.
 
Pernah belajar menggambar atau otodidak?
Nggak pernah belajar, semua otodidak. Belajar dari internet. Karena memang suka gambar juga dari kecil jadi belum pernah belajar teknik, desain, gambar dan ilustrasi.
 
Awal nama Tahilalats?
Gue lihat peluang bisa upload komik strip di internet. Sebenarnya Tahilalats dari nama blog pribadi gue. Buat nulis-nulis, masih ada sampai sekarang. Selain nulis, gue juga upload karya komik strip. Tahun 2014 gue tahu instagram bisa upload komik, mulai serius upload satu-persatu tiap hari. Dari tidak ada yang ikut, mulai banyak follow, komentar, like, konsisten sampai sekarang.
 
Promosi awal bagaimana?
Awal di Instagram promosi di beberapa tempat, upload FB biar lebih luas, upload di kaskus, di situ orang mulai "ini komik apa sih", bikin avatar, orang bisa bikin style mereka sendiri. Orang yang baru lihat ini avatar apa, menelusuri dan tahu itu dari komik. Pernah jadi tren di 2015 avatar banyak yang masang di profile picture. Gaya tahilalats dimodifikasi sendiri, orang bisa custom diri mereka sendiri. 
 
Inspirasi Tahilalats?
Kadang ada yang dipikirin, ada yang nyari di internet, dari ngobrol dengan teman-teman di kantor atau luar, dari sana sih. Lebih banyak dari internet dan mikir sendiri jadi dipikirin ide mau bikin apa, dicatat di notebook atau di handphone terus langsung eksekusi.
 
Berapa lama proses?
Dari ide sampai jadi tiga jam-an lah.
   
Kepopuleran Tahilalats membuahkan tawaran pada Fadli untuk bergabung dalam platform penerbitan komik digital Line Webtoon asal Korea Selatan. Sebagai salah satu dari kontributor komik untuk Webtoon Indonesia, Fadli pun diajak ke Korea untuk bertemu dengan para komikus Webtoon dari negeri Ginseng beberapa bulan lalu. 
 
Bagaimana ceritanya ditawari gabung di Line Webtoon?
Mungkin dia lihat di IG ramai banyak yang baca jadi ditawari isi jadi kontributor, waktu itu masih ada bang Faza (Meonk) dan bang Sweta (Kartika). Akhirnya gue masuk, "komik kaya gini bisa ga?" soalnya gambarnya simpel, ceritanya juga kayak gini. “Bisa kok” katanya di Webtoon luar juga ada yang seperti itu.
 
Kendala membuat Tahilalats?
Mungkin cuma karena susah dapat ide doang. Bertanya-tanya "ini lucu nggak sih?". Kadang lama baru dapat, kadang sebentar. Kalau masalah gambar nggak ada masalah. 

Awal-awal gue lihatin ke teman, tanya pendapat, ini lucu nggak. Kalau lucu diupload. Lama-lama sudah ngebaca pembaca (selera) seperti apa. Sebelum upload gue harus ketawa dulu baca komik gue, seolah-olah gue pembaca. Gue tidak akan upload kalau belum layak diupload.
 
Kenapa tidak ada karakter tetap di Tahilalats?
Soalnya lebih membebaskan ide berkomik. Kalau ada, bisa agak lama karena gue ngejar kecepatan upload, konsistensi upload. Kalau ada konsep pemeran utama, karakter, kadang susah bikin ceritanya. Kalau udah ada karakter nggak boleh keluar dari karakter itu, nanti orang heran kok berubah. Mungkin dia tukang ojek berubah jadi pilot kan nggak bisa.
 
Masih suka sakit hati baca komentar negatif?
Iya, kalau baca komen negatif down gitu. "ini apa sih, komik nggak jelas banget". 
 
Ada rencana menerbitkan komik online ini jadi buku?
  
Pesan untuk pembaca?
Jangan menghubungkan komik dengan hal lain. Misalnya gue pernah bikin komik tentang rokok yang lehernya bolong, orang menghubungkan itu dengan orang yang sudah meninggal pernah ada kasusnya. Padahal nggak. Kita berpikir ini hanya untuk menghibur doang, nggak perlu dianggap serius. 
 
 

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016