Jakarta  (ANTARA News) - Gerhana matahari total (GMT) terakhir kali di Indonesia terjadi pada tahun 1983.

Ahli astronomi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Bambang Hidayat saat mengingat kembali GMT 1983 mengatakan kala itu masyarakat diminta tetap berada di dalam rumah dan melihat proses GMT hanya melalui televisi yang kala itu disiarkan secara langsung oleh TVRI. 

Ia berpendapat larangan pemerintah pada 1983 dari segi positifnya adalahmelindungi rakyat dari kebutaan jika melihat secara langsung saat bulan belum sempurna menutup matahari secara total. 

"Tapi orang-orang desa juga punya wisdom. Zaman dulu orang melihat refleksi gerhana dari air dalam belanga atau kolam, atau melihat dari lubang jarum, orang zaman dulu sudah tahu itu," kata Bambang.

Bambang menunjukkan kliping beberapa berita dari surat kabar yang terbit pada Juni 1983 yang di antaranya dari Suara Karya berjudul "Teropong Gerhana Disita Polri", dari Kompas yang berjudul "Akhirnya Batara Kala Muncul Juga" yang ditulis oleh Abdurrahman Wahid, dan tulisan lain berjudul "Pikiran-pikiran tentang Suatu Gerhana" yang ditulis Y B Mangunwijaya.

Ahli astronomi lulusan Institut Teknologi Bandung ini memperlihatkan kondisi berbeda melalui foto jurnalistik yang diterbitkan tahun 1988 yang menunjukkan masyarakat Bengkulu memenuhi pantai sambil menggunakan kacamata khusus dengan fitler matahari mengamati proses GMT.

Foto lain memperlihatkan seseorang dalam posisi tidur di atas pasir putih dengan santai mengamati proses GMT dengan menggunakan filter matahari.

Profesor yang juga merupakan mantan Kepala Observatorium Bosscha di tahun 1968 hingga 1999 ini juga  menunjukkan klipingan foto dokumentasi persiapan pengamatan GMT 1901 dan 1926 di Bengkulu yang dilakukan peneliti Belanda dan ahli astronomi Amerika Serikat.

Tampak di dalam foto banyak orang pribumi yang dilibatkan dalam persiapan observasi GMT.

"Di masa belum ada Indonesia saja ilmuwan dan pemburu gerhana dunia sudah berdatangan ke Nusantara. Proses pengamatan mereka pun melibatkan orang-orang pribumi, sehingga banyak yang sudah paham soal gerhana tersebut," ujar dia.

Memahami fase GMT
Bambang menjelaskan fase-fase dan sifat GMT yang perlu dipahami masyarakat sebelum pergi melihat fenomena alam langka ini sehingga masyarakat dapat secara aman menyaksikannya tanpa merusak retina mata.

Proses menuju gerhana matahari total dimulai saat kontak pertama piringan luar bulan dengan piringan luar matahari terjadi, saat itu fase gerhana matahari sebagian dimulai dan dinamakan fase K1.

Pada fase K1 ini masyarakat harus menggunakan kacamata dengan filter matahari yang mampu menyaring radiasi inframerah matahari hingga 100.000 kali untuk menyaksikan proses GMT.

Proses GMT dilanjutkan dengan kontak awal piringan luar matahari dengan bagian dalam piringan bulan, saat itu fase gerhana matahari total di mulai dan disebut sebagai fase K2.

Pada fase ini masyarakat masih harus tetap menggunaan kacamata dengan filter matahari.

Pada saat piringan bulan tepat di tengah piringan matahari pada saat itu, menurut Bambang, gerhana matahari total mencapai maksimal dan memasuki fase M.

Pada fase M ini terjadi kegelapan nyaris sempurna dan masyarakat dapat melepaskan kacamata berfilter matahari yang digunakannya untuk menyaksikan keindahan totalitas gerhana matahari total.

"Pada saat itu Baily beads atau manik-manik Baily bisa kita lihat, ini terjadi sangat cepat hanya 10 hingga 15 detik saat cahaya matahari masih dapat melewati permukaan bulan yang tidak rata sebelum akhirnya cahaya benar-benar hilang dan menyisakan sangat sedikit kilau cahaya tampak seperti cincin berlian yang berkilau. Kalau saya menyebutnya cahaya akik, karena mirip batu akik yang menyembul di lingkaran cincin," ujar penerima Habibie Award ini.

"Bailys beads", ia mengatakan dinamai sesuai nama peneliti Francis Baily yang menjadi orang pertama yang menjelaskan tentang gumpalan cahaya yang mirip manik-manik di tepi piringan bulan sesaat menjelang dan sesudah totalitas gerhana matahari total terjadi.

Saat fenomena cincin berlian hilang keindahan lain dari fenomena gerhana matahari total mulai tampak, yakni munculnya korona matahari di mana akan tampak seperti cincin tipis dan cahaya redup mengelilingi bulan saat totalitas terjadi.

Korona bisa dilihat saat gerhana matahari total terjadi. Bentuknya tidak sama (di setiap GMT) karena dibentuk oleh matahari dengan kekuatan cahayanya yang berbeda-beda.

Fase gerhana matahari total selesai saat kontak akhir piringan luar matahari dengan bagian dalam piringan bulan terjadi. Fase ini masuk ke fase K3 dan kegiatan mengobservasi gerhana matahari total yang dilanjutkan harus menggunakan kacamata dengan filter matahari.

Menurut Bambang, pada fase K3 ini di mana bulan tiba-tiba menyingkir dari matahari dan memancarkan sinar yang begitu cemerlang menjadi fase paling berbahaya untuk diamati mata secara langsung. Begitu pula pada fase K4 saat gerhana matahari sebagian selesai, karenanya pengamatan harus menggunakan kacamata dengan filter matahari.

Melihat dengan aman

Kacamata dengan filter matahari menjadi salah satu alat bantu yang aman yang dapat digunakan untuk melihat proses gerhana matahari total.

Kepala Observatorium Bossca Mahasena Putra akan berupaya membuat kacamata dengan filter matahari sebanyak mungkin agar dapat digunakan masyarakat luas.

Filter matahari yang mampu mengurangi radiasi sinar ultraviolet dan inframerah hingga 100.000 kali lipat dan wajib menggunakan tipe Neutral Density 5. 

Menurut Mahasena, filter ini belum diproduksi di Indonesia dan selama ini masih impor.

Karena itu, ia meminta masyarakat untuk teliti dalam membeli kacamata gerhana dengan filter matahari tersebut jangan sampai membeli barang palsu. 

Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin mengingatkan memakai kacamata filter, masyarakat dianjurkan untuk tidak lebih dari dua menit melihat ke arah matahari yang belum sempurna tertutup oleh bulan. 

Pandangan harus dialihkan ke obyek lain beberapa saat sebelum dapat melakukan pengamatan lagi dengan menggunakan kacamata gerhana tersebut.

Cara aman lainnya untuk mengamati GMT dapat dilakukan melalui lobang jarum yang memproyeksikan proses gerhana matahari ke kertas putih yang di tempatkan di dalam kotak. Cara ini menjadi yang paling aman dan murah untuk melakukan pengamatan bagi masyarakat. 

Oleh Virna P Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016