Kota Gaza (ANTARA News) - Amjad Ashour, seorang pekerja Palestina dari Jalur Gaza, tak memiliki apa-apa belakangan ini, setelah ia belum lama ini dipecat dari pekerjaannya di satu perusahaan furnitur setempat.

Peristiwa itu memiliki hubungan erat dengan blokade selama sembilan tahun yang diberlakukan Israel atas Jalur Gaza.

Tanpa pekerjaan Ashour (34) tak mampu memberi makan keluarganya --seorang istri dan lima anak sekarang. Bersama dengan Ashour, 34 pekerja lain juga kehilangan mata pencaharian mereka di pabrik furnitur tersebut.

Rakyat Jalur Gaza, yang menderita akibat ekonomi lemah gara-gara blokade Israel, tak bisa memperoleh pekerjaan sementara angka pengangguran telah mencapai puncaknya.

"Bagian administrasi perusahana memberitahu saya dan rekan-rekan saya bahwa kami dipecat sampai ada pemberitahuan lebih lanjut sebab pabrik produk kayu itu berhenti berproduksi setelah Israel terus melarang eksport produknya dan import bahan mentah," kata Ashour.

Ia juga mengatakan keputusan perusahaan tersebut adalah kejutan besar buat dia dan rekan-rekannya, demikian laporan Xinhua, Senin malam. "Sekarang saya tidak bekerja dan kami benar-benar tidak tahu kapan kami akan kembali ke pekerjaan, jika ini terjadi pada suatu hari nanti. Saya tidak optimistis," katanya.

Menurut Zeyad Musthaha, pemilik perusahaan itu, banyak perusahaan industri di Jalur Gaza diberitahu pada November lalu bahwa Israel memutuskan untuk melarang pengiriman kayu ke Jalur Gaza "karena alasan keamanan". "Keputusan tersebut meliputi perusahaan furnitur," katanya.

Mushtaha mengatakan kepada Xinhua blokade Israel adalah bencana buat perusahaannya. "Akhirnya ini mengakibatkan penutupan total pabrik kami," katanya. Ia menambahkan, "Perusahaannya mungkin menghadapi kebangkrutan."

Pabrik furnitur itu lengang dan kosong, dan semua mesinnya benar-benar tak beroperasi. Selama tiga dasawarsa belakangan, perusahaan tersebut tak pernah tutup kecuali pada hari libur.

Israel telah memberlakukan blokade ketat atas Jalur Gaza, setelah Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS) melalui kekerasan merebut kekuasaan atas daerah kantung pantai itu.

Israel memutuskan untuk melarang pengiriman kayu ke Jalur Gaza setelah agresi 50 hari militernya pada 2014, dengan alasan gerilyawan "menggunakan kayu untuk membuat terowongan bawah tanah". Keputusan tersebut mengakibatkan ditutupnya beberapa perusahaan furnitur di Jalur Gaza.

Menurut importir lokal, sekarang hanya ada dua perusahaan furnitur di Jalur Gaza dan mereka harus mematuhi tindakan ketat Israel serta peraturan untuk bertahan hidup.

Importir tersebut mengatakan Jalur Gaza dulu biasa mengimpor 200 meterkubik kayu setiap hari sebelum 2007, dan semuanya digunakan untuk pembangunan.

Mushtaha mengatakan perusahaannya dulu biasa mengimport kayu dari Tiongkok, Yunani, India, Italia dan negara lain.

"Kami sangat prihatin karena tindakan (larangan Israel) ini akan memaksa kami kehilangan reputasi kami dan kepercayaan dari perusahaan ekspoortir di negara itu, yang telah kami bangun selama bertahun-tahun," katanya.

Mushtaha mengatakan jumlah pekerja di industri furnitur di Jalur Gaza telah mencapai 10.000, dua-pertiga dari mereka kini dipecat.

Industri furnitur bukan satu-satunya sektor yang menderita akibat blokade Israel. Usaha di banyak bidang lain juga sangat terpukul.

Para pejabat di Kantor Liaison Palestina dengan Israel mengatakan kepada Xinhua bahwa Israel tak pernah memberi alasan yang khusus bagi keputusan pelarangan itu.

"Alasan keamanan" adalah satu-satunya alasan. Kamar Dagang dan Industri Palestina di Jalur Gaza mengeluarkan satu laporan pada Januari bahwa angka pengangguran di Jalur Gaza telah mencapai 41 persen.

Hatem Oweida, Wakil Menteri Ekonomi Palestina, mengatakan kepada Xinhua bahwa blokade Israel tentu saja telah menghalangi, mengganggu dan merusak ekonomi Palestina.

"Ada lebih dari 200 jenis produk yang dilarang di ekspor dan diimpor. Sebagian besar barang tersebut digunakan di berbagai sektor industri," katanya.

Ia menambahkan, "Tahun lalu, Israel melarang 90 perusahaan yang berbeda di Jalur Gaza untuk mengeksport produk mereka."

(Uu.C003)

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016