Berbagai jajak pendapat, hasil kaukus dan primary sebelum "Super Tuesday" hampir selalu memenangkan bakal calon presiden Partai Demokrat Hillary Clinton dan bakal calon presiden Partai Republik Donald Trump.

Sejak kaukus Iowa 1 Februari lalu, keduanya berada paling depan dalam pacuan menjadi calon presiden AS dan diperkirakan akan memimpin "Super Tuesday" 1 Maret ini.

"Super Tuesday" baik Republik maupun Demokrat berlangsung di Alabama, Arkansas, Colorado (kaukus), Georgia, Massachusetts, Minnesota (kaukus), Oklahoma, Tennessee, Texas, Vermont, dan Virginia. Pada Republik ditambah kausus Alaska dan Wyoming, sedangkan satu kaukus Demokrat berlangsung di Samoa Amerika.

Pada "Selasa Super" ini, Trump dan empat pesaingnya --bekas dokter syaraf Ben Carson, Gubernur Ohio John Kasich, Senator Marco Rubio, dan Senator Ted Cruz-- akan memperebutkan 661 suara delegasi, sedangkan Hillary akan bersaing dengan Bernie Sanders memperebutkan 1.017 delegasi.

Untuk menjadi calon presiden, Trump memerlukan minimal 1.237 delegasi dari total 2.472 delegasi, sedangan Hillary butuh minimal 2.382 dari total 4.763 delegasi.

Sebelum "Super Tuesday", Trump memimpin Republik dengan 82 delegasi, sedangkan Hillary melampaui Sanders dengan 112 delegasi.

"Super Tuesday" bukan pemasti seorang bakal calon presiden menjadi calon presiden. Sebaliknya, ini bisa menjadi indikator untuk memenangkan primary dan kaukus berikutnya di puluhan negara bagian lainnya, mulai 5 Maret sampai terakhir 14 Juni di daerah khusus ibu kota Washington D.C.

Trump dijegal

Tetapi, Trump dan Hillary diperkirakan saling berhadapan pada Pemilu 8 November. Pertanyaannya, siapakah yang paling berpeluang menggantikan Barack Obama sebagai Presiden AS?

Setelah delapan bulan proses jajak pendapat, dua kaukus (Iowa dan Nevada) dan dua primary (New Hampshire dan South Carolina), sepertiga pemilih Republik antusiastis menyambut Trump.

Namun begitu Trump semakin populer, semakin besar pula kekhawatiran Republik, terutama kelompok kemapanan yang mengkhawatirkan garis politik dan kebijakan Trump bakal mengguncang status quo dan merongrong arah serta ideologi partai.

"New Republic" edisi 29 Februari 2016 menyebut Trump tengah menghadapi penentangan keras kubu konservatif di Republik yang sedang menghadapi krisis eksistensi.

Bahkan, Roger Stone, pengarang "The Clintons' War on Women" dan "Jeb! and the Bush Crime Family", menuding kelompok kemapanan ini tengah berkomplot menjegal Trump dengan tak peduli Republik nanti kalah dari Demokrat.

"Trump mengancam semua kenyamanan para pemimpin kemapanan Partai Republik. Dia adalah ancaman untuk kelas pelobi. Dia ancaman untuk kelas konsultan. Dia ancaman untuk kaum globalis," kata Stone seperti dikutip WorldNetDaily.

Stone melanjutkan, "para pemimpin kemapanan Republik akan memilih menderita di bawah Hillary karena kebijakan Hillary tidak berbeda dari Marco Rubio, ketimbang dengan orang luar partai yang menjadi presiden seperti Trump, yang tidak terikat kepada siapa pun."

Konspirasi untuk menjatuhkan Trump semakin kentara ketika Rubio dan Cruz kini lebih terang-terangan menyerang Trump.  "Kita tidak mencalonkan orang yang akan kalah," serang Rubio dalam kampanye di Purcellville, Virginia.

Stone berspekulasi GOP pada akhirnya akan memasang lagi Mitt Romney yang dikalahkan Barack Obama pada Pemilu 2012, jika Trump sukses melampaui Rubio dan Cruz dalam "Super Tuesday".

Republik akan menggunakan kekuatan "superdelegate" guna menyabotase Trump di puluhan negara bagian lain setelah "Super Tuesday".

Berbeda dari "delegate" yang adalah anggota partai yang memiliki hak suara memilih bakal calon presiden, "superdelegate" adalah delegasi yang terdiri dari para pejabat terpilih (gubernur, anggota DPR, senator) dan pejabat partai (para ketua partai dan para anggota Komite Nasional) pada masing-masing negara bagian.

Insentif untuk Hillary

Trump mungkin lolos menjadi calon presiden dari Republik, tetapi dia akan dirongrong dari dalam Republik sendiri, karena garis politiknya yang diametral dengan Republik.

Dia dianggap sentris (berorientasi ke dalam negeri), ketimbang globalis yang menjadi karakter umum Republik. Dia juga dianggap liberalis seperti Demokrat, padahal Republik selalu konservatif.

Keraguan Republik terhadap Trump ini menguntungkan Hillary yang sejak awal sudah digadang-gadangkan sebagai calon utama Demokrat, kendati Sanders berusaha menyainginya.

Hillary kemungkinan besar mendapat dukungan besar pemilih perempuan, warga hispanik yang kadung disakiti Trump oleh pengasosiasiannya dengan kriminalisme, kelas menengah liberal Amerika, kaum minoritas, bahkan elite globalis dalam Partai Republik sendiri.

Cuma, insentif Hillary itu tak akan mudah diperoleh karena Trump telah menarik perhatian kelas menengah kulit putih Amerika yang antikemapanan. Selama ini pun Trump sukses mengelola suara kelas masyarakat yang cenderung ingin mendobrak kemapanan.

Analisis "Vanity Fair" pada 28 Januari tahun ini menyebutkan, banyak kelas menengah pekerja Amerika yang dirugikan oleh para pedagang dan imigran ilegal. Kelas pekerja Amerika ini merasa ditinggalkan baik oleh Demokrat maupun oleh Republik.

Bagi mereka, Demokrat memang berada di kiri selama kampanye namun bersisian dengan Republik dalam soal perjanjian dagang, sebaliknya Republik yang semasa kampanye begitu kritis terhadap kebijakan imigrasi, malah berdampingan dengan Demokrat dalam reformasi imigrasi yang mendorong banjir imigran ilegal ke AS.

Antikemapanan

Trump memahami fakta besar dalam struktur pemilih ini, sampai berani menyebut baik Republik maupun Demokrat tak lagi berguna untuk Amerika. Dia kemudian berjanji untuk mengambil pendekatan yang lebih nasionalistis dalam soal imigrasi dan perdagangan.

Sejauh ini, pendekatannya itu sukses besar meraih simpati pemilih, kendati ditempuh dengan retorika menakutkan seperti melarang muslim masuk ke AS, membangun tembok besar di perbatasan AS-Meksiko guna mengusir imigran ilegal, sampai mengkritisi formula kesepakatan dagang multinasional, termasuk Kemitraan Trans Pasifik (TPP).

Trump kerap mengeluarkan retorika-retorika kontroversial yang rasis dan anti-internasional, hanya demi menarik mayoritas pemilih AS yang merasa diabaikan Republik dan Demokrat. Pemilih yang terganggu status quo kemapanan baik di Republik maupun Demokrat yang ternyata sama-sama hanya berusaha melanggengkan status quo.

Bruce Abramson dari London Center for Policy Research menyatakan para elite politisi, akademisi, pengusaha dan media AS akan berusaha keras memahami alasan mengapa rakyat Amerika kehilangan kepercayaan kepada para pemimpin dan lembaga-lembaganya, termasuk partai politik.

"Kebanyakan dari mereka sepakat dengan Presiden Obama, 'Rakyat Amerika tak mempercayai pemimpinnya karena pemimpin-pemimpin kita kurang berusaha menjelaskan keagungan Amerika dalam pemahaman biasa kebanyakan rakyat Amerika," kata Abramson.

Nah, Trump dengan lihai menangkap kecenderungan rakyat itu.

Dia juga tahu pasti Hillary akan dengan mudah dikalahkan karena Hillary juga bagian dari kemapanan. Trump sangat mungkin akan menyerang Hillary dengan tema-tema yang juga dipakainya untuk menyisihkan Jeb Bush dan para pesaingnya di Republik yang masih bertahan seperti Rubio dan Cruz.

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan Trump akan menang. Demikian pula Hillary Clinton.

Tetapi hasil "Super Tuesday" nanti akan membantu memastikan siapa yang menghela Demokrat dan Republik pada Pemilu 8 November kelak, sekaligus bisa menjadi indikator siapa yang nanti menjadi penguasa Gedung Putih.

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016