Diperkirakan 10.000 pengunjung dari dalam dan luar negeri akan menyaksikan gerhana matahari total (GMT) di Sulawesi Tengah pada 9 Maret.

Hingga 1 Maret 2016, sudah tercatat sekitar 5.000 orang pengunjung dari berbagai negara di dunia yang mengonfirmasikan kehadirannya. Mereka adalah pencinta gerhana yang menamakan diri "eclipse hunter", ilmuwan, fotografer dan wisatawan.

Akibatnya, kamar-kamar hotel mulai yang berbintang sampai kelas melati sudah terpesan penuh untuk empat hari yakni 7 sampai 10 Maret.

"Kami terpaksa mencari-cari rumah penduduk yang bisa dimanfaatkan untuk tempat menginap para tamu dari sejumlah kementerian dan lembaga negara yang akan datang, karena tidak ada lagi kamar hotel yang kosong," ujar Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sulawesi Tengah Sitti Norma Mardjanu.

Provinsi berpenduduk sekitar 2,7 juta jiwa ini tampaknya memang lebih beruntung dibanding 11 provinsi lainnya yang akan dilintasi GMT, karena memiliki titik pantau terbanyak yang tersebar pada lima kabupaten yakni Sigi, Parigi Moutong, Poso, Tojo Unauna dan Banggai serta Kota Palu.

Berbagai festival telah disiapkan untuk para pengunjung GMT yang diharapkan membikin mereka betah berlama-lama di kota ini serta memikat hati mereka untuk kembali lagi berkunjung pada kesempatan berikutnya.

"Festival seperti ini penting karena sebagian besar pengunjung asing nanti adalah mereka yang baru pertama kalinya datang ke Indonesia," tutur Zulfikar Usman, Direktur Hasan Bahasuan Institute (HBI) yang akan menggelar festival seni-budaya di Desa Ngatabaru, Kabupaten Sigi, yang akan menjadi lokasi pengamatan GMT dengan pengunjung asing terbesar di provinsi ini.

HBI akan menyajikan seni budaya dari berbagai daerah di Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah seperti tari kolosal Raego dari Kabupaten Sigi, yang melibatkan 40 orang penari ditambah 10-an orang pemain musik.

Raego dance akan didampingi dengan penampilan tari-tarian dari Tanah Toraja dan Bone, Sulawesi Selatan serta berbagai kelompok etnis seperti Batak dan Jawa.

Festival yang akan berlangsung 7-11 Maret ini juga akan menampilkan seni budaya dari luar negeri seperti Korea Selatan yang akan memainkan Fire Dance dan tim dari Australia akan menampilkan Australian Dance.

Untuk menyaksikan festival seni dan budaya ini, HBI yang menjadi mitra Interstellar PTe.LTd, "event organizer" dunia yang berpusat di Singapura, menjual tiket secara daring atau "online" ke seluruh dunia dengan harga rata-rata 200 dolar AS/lembar, dan sudah terjual sekitar 4.000-an tiket.

Pengunjung yang tidak mendapat kesempatan menyaksikan GMT dan berbagai festival seni dan budaya HBI di Ngatabaru, dapat menyaksikan secara gratis acara-acara yang sama di tiga lokasi berbeda yakni Desa Pakuli dan Matantimali, Kabuaten Sigi, serta di Anjungan Nusantara Pantai Talise, Teluk Palu.

Di Desa Pakuli, pemerintah Kabupaten Sigi sedang membangun sebuah perkampungan adat dan monumen GMT yang akan menjadi pusat pertunjukan seni dan budaya daerah serta pameran kuliner dan potensi ekonomi dan wisata daerah.

Sedangkan di Matantimal, ada festival budaya tradisional yang akan berlangsung selama tiga hari, sementara di Teluk Palu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menyiapkan berbagai acara hiburan yang tidak hanya terkait seni tradisional, tetapi juga permainan, lomba, pameran kuliner dan potensi ekonomi dan kepariwisataan daerah.

Tabuh "padengko"
Lain daerah lain pula atraksinya. Di Kabupaten Poso, ratusan warga akan menabuh "padengko", sebuah alat bunyi-bunyian tradisional yang terbuat dari bambu saat menyambut datang gerhana matahari total (GMT).

Penabuhan alat-alat musik dan bunyi-bunyian tradisional itu akan digelar dalam rangkaian Festival Kawaninya (kawaninya dalam bahasa Poso berati kegelapan/gerhana) yang akan berlangsung dua hari mulai, 8-9 Maret.

Ratusan padengko telah disiapkan dan massa telah mengikuti latihan selama beberapa kali. Pemukulan padengko itu akan dimeriahkan lagi dengan penabuhan gendang dan gong secara bersamaan.

Semua acara ini akan digelar di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, yang ditetapkan lembaga penelitian astronomi Boscha ITB Bandung sebagai titik pemantauan GMT.

"Ratusan warga asing sudah menyatakan akan hadir di Kalora. Bahkan 100 rumah penduduk yang kami siapkan untuk tempat mereka menginap tidak mencukupi. Kami masih terus mencari tempat menginap tambahan," Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Poso Putra Botilangi.

Festival Kawaninya akan diawali dengan Tari Motaro, yang merupakan tarian massal menyambut tamu-tamu agung, kemudian dilanjutkan dengan penampilan musik, tari dan budaya tradisional Poso, termasuk tarian persahabatan yang sangat populer di Poso yakni dero.

Pemkab Poso juga memamerkan potensi wisata dan aneka seni dan budaya tradisional daerah, kuliner serta produk-produk ekonomi kreatif masyarakat Poso.

Sementara tim Boscha ITB akan menggelar workshop dan seminar astronomi, pameran astronomi, serta permainan anak-anak untuk menumbuhkan rasa cinta kepada ilmu astronomi.

"Pada Selasa (8/3) malam, tim Boscha ITB akan menggelar malam pesta bintang untuk menghibur pengunjung dengan melakukan live streaming pemantauan bintang-bintang di ruang angkasa melalui teleskop dan peralatan modern yang akan dibawa dari Bandung," ujarnya.

Di Kabupaten Parigi Moutong lain lagi. Mereka akan menyambut GMT dengan ritual agama sebab Kota Parigi akan menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat provinsi Sulteng yang akan dihadiri 1.500-an orang dari berbagai kabupaten kota.

"Karena itu, akan ada shalat gerhana, dimana Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) Prof DR Thomas Djamaluddin akan menjadi khatib," kata Bupati Parigi Moutong Samsurizal Tombolotutu.

Sehari sebelum peristiwa GMT, katanya, masyarakat beragama Hindu akan menggelar upacara melasti dan pawai ogoh-ogoh terkait Hari Raya Nyepi pada 9 Maret 2016, sehingga suasana keagamaan akan mewarnai Kota Parigi dan sekitarnya saat menyambut GMT.

Oleh Rolex Malaha
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016