Surabaya (ANTARA News) - Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya menyita 609 ton buah impor yang tersimpan di 34 kontainer tanpa jaminan kesehatan asal Tiongkok.

"Penyitaan dilakukan setelah pemeriksaan dokumen dan fisik tak ada kesesuaian," ujar Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di sela peninjauan lokasi penyitaan buah impor di Terminal Peti Kemas Surabaya, Jumat.

Buah-buah impor yang terdiri atas jeruk, pir dan apel tersebut dinilai berpotensi membawa lalat buah jenis Bactrocera tsuneonis, atau Japanese Orange Fly atau Cytrus Fruit Fly ke wilayah Indonesia.

"Petani akan merugi bila telur dan larva lalat buah yang terbawa di dalam jeruk ilegal ini menjangkiti tanaman jeruk dalam negeri," kata Menteri Pertanian serta menambahkan masuknya organisme pengganggu itu berpotensi menimbulkan kerugian sampai Rp2,2 triliun pada petani.

Dalam perkara ini, Badan Karantina melakukan upaya hukum karena menduga telah terjadi pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.

"Sudah ada laporan bahwa sudah masuk ranah penyidikan. Yang pasti kasus ini harus ditindak tegas," kata Andi Amran Sulaiman.

Pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana itu terancam pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp150 juta.

Pelanggar juga bisa dijerat menggunakan Pasal 31 pada undang-undang yang sama dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp50 juta.

Anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar, yang ikut melakukan peninjauan, mengatakan importasi buah dan sayur berisiko membawa organisme pengganggu karenanya dia mengimbau masyarakat membiasakan mengonsumsi buah lokal.

"Inilah risiko buah dari luar negeri masuk Indonesia. Saya yakin ini hanya sebagian kecil, sehingga diharapkan bisa lebih waspada," katanya.

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu juga menekankan perlunya revisi undang-undang tentang karantina, khususnya pasal yang mengatur seleksi masuk serta aturan penindakan hukum.

Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016