Jakarta (ANTARA News) - Polemik pengembangan Blok Masela di Laut Arafura, yang berkepanjangan, dinilai merugikan rakyat Maluku karena tidak segera mendapatkan bagi hasil dari megaproyek tersebut.

Kepala Humas SKK Migas Elan Biantoro di Jakarta, Jumat mengatakan, semakin lama persetujuan revisi rencana pengembangan atau plan of development (POD) Blok Masela diambil, maka makin lama pula rakyat Maluku akan menerima bagi hasilnya.

"Jika revisi POD ini makin lama disetujui, maka tahapan selanjutnya mulai design engineering, konstruksi, hingga akhirnya on stream (operasi) pada 2024 juga akan mundur. Semakin gaduh dan berpolemik, semakin lama rakyat Maluku terima hasilnya," ujarnya.

Menurut dia, keputusan investasi final atau final investment decision (FID) Blok Masela pada 2018 sesuai target Presiden Joko Widodo, membutuhkan persetujuan revisi POD pada saat ini.

Bahkan, lanjutnya, semestinya revisi POD Masela yang sudah direkomendasikan Kementerian ESDM dan SKK Migas itu sudah harus disetujui pada Oktober 2015.

"Artinya, sekarang pun sebenarnya sudah terlambat," katanya.

Perubahan kapasitas kilang terapung (floating liquified natural gas/FLNG) menjadi 7,5 juta ton LNG per tahun menyebabkan kontraktor membutuhkan persetujuan revisi POD dari sebelumya 2,5 juta ton per tahun.

Elan menambahkan, sejak kontrak kerja sama ditandatangani pada 1998 hingga saat ini, kontraktor Masela yakni Inpex dan Shell sudah mengeluarkan biaya hingga dua miliar dolar AS.

"Uang itu digunakan untuk eksplorasi seperti survei dan pengeboran hingga revisi POD ini," katanya.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, dalam skema FLNG yang direkomendasikan, pihaknya sudah menyertakan pertimbangan pengoptimalan kandungan lokal demi menumbuhkan "multiplier effect" untuk kepentingan nasional.

Beberapa industri penunjang dari sektor konstruksi, galangan kapal, termasuk sumber daya manusia dikaji untuk mengoptimalkan nilai tambah bagi perekomian Indonesia.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto mengatakan, berlarutnya keputusan pengelolaan Masela tentu akan berdampak negatif pada iklim investasi.

"Indonesia sekarang ini ada di urutan 13 terbawah dari iklim investasi di sektor migas. Itu yang harus mendapat perhatian pemerintah. Jangan sampai situasi sekarang ini semakin membuat Indonesia tidak menarik di mata investor karena adanya ketidakpastian hukum. Padahal kita membutuhkan investasi," katanya.

Sesuai kajian LPEM UI, satu tahun keterlambatan proyek Masela dengan skema terapung (FLNG) akan menimbulkan potensi kerugian bagi perekonomian berupa kehilangan PDB senilai 4,2 miliar dolar AS, pendapatan rumah tangga 0,34 miliar dolar, dan penciptaan lapangan tenaga kerja 22.678 orang.

Sedangkan, manfaat ekonomi dari FLNG dengan perkiraan belanja modal senilai 14,8 miliar dolar AS adalah menumbuhkan perekonomian (PDB) senilai 126,3 miliar dolar AS, menghasilkan penerimaan pemerintah 51,8 miliar dolar, meningkatkan pendapatan rumah tangga 11,4 miliar dolar, dan menyerap 657 ribu tenaga kerja.

Sementara, dari sisi maritim, skema kilang terapung Blok Masela memberikan tambahan pendapatan domestik bruto (PDB) senilai 1,8 miliar dolar AS, pendapatan rumah tangga 563 juta dolar, dan pembukaan lapangan pekerjaan 15.736 orang.

Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan pembangunan kilang di darat lebih menguntungkan baik dari segi efek ganda maupun biaya.

Berdasarkan kajian pihaknya, biaya pembagunan kilang darat sekitar 16 miliar dolar AS.  Di sisi lain, biaya pembangunan kilang apung di laut (offshore) mencapai 22 miliar dolar AS.

(Baca juga: DPP PKS: Blok Masela "onshore" lebih ekonomis)

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016