Tanjung Pandan, Belitung (ANTARA News) - Suatu sore di Kota Tanjung Pandan, Belitung, seorang pria Tionghoa sibuk menakar bubuk kopi di ujung kedai.

Dari wajah yang serius, sebatang rokok kretek terselip di bibirnya, kacamatanya melorot mengamati kopi dalam saringan kain di hadapannya, yang kemudian disiram air panas.

Pada dinding kedainya, tergantung puluhan pigura berisi para pesohor negeri, meyakinkan para calon pembeli bahwa kopi yang dibuat di kedai itu tak ada duanya se-Belitung.

Dia adalah Akeong (61). Generasi ketiga pemilik warung Kopi Ake. Warung kopi tertua di Tanjung Pandan.

Pada 1922, kakek Akeong bernama Abok berjualan kopi menggunakan gerobak di bawah tugu jam.

Para pejabat Belanda penguasa Belitung kemudian membangun kawasan "Kafe Senang" yakni tempat mereka sering nongkrong dan bersenang-senang.

Gerobak Abok pun ditarik masuk oleh Belanda, masuk ke kawasan Kafe Senang untuk melayani para pejabat Belanda.

Setiap hari, sejak pukul 06.00 pagi, Akeong yang merupakan putera Akiong yang juga berprofesi penjual kopi, berjualan kopi di kedai tempat berjualan kopi sang kakek.

Hampir semua peralatan meracik kopi yang digunakannya sekarang adalah peralatan sama yang digunakan Abok 94 tahun silam.

"Saya tak berani mengganti ketel milik kakek saya ini. Takut rasanya beda. Sampai sekarang ketel tembaga kakek saya tinggal dua, punya ayah saya ada satu," kisah Akiong di kedai kopi miliknya itu, Senin (7/3).

Selain ketel tembaga merah, Akiong juga masih menggunakan wadah air porselen "The Brownlow" dari Inggris warisan kakeknya yang diyakini bisa menjaga air tetap dingin meski di luar sana membara.

Ada juga alas meja plat besi yang masih dipakainya.

Akiong yang sudah pandai meracik kopi bubuk sejak usia belasan itu mengungkapkan rahasia kenikmatan kopinya, yakni ketel warisan sang kakek.

"Saya tak pernah mencuci ketel-ketel ini. Ya begitu saja dari dulu. Pakai saja terus begitu, diisi terus dengan air, enggak pernah dicuci. Kalau direparasi sih pernah, lalu kalau bocor-bocor saya tambal pakai timah," kata Akiong.

Kesetiaan Akiong menjaga warisan leluhurnya itu menarik wisatawan yang datang ke Belitung. Akiong pun dengan senang hati meladeni setiap pertanyaan para pengunjung yang penasaran dengan peralatan tuanya itu.

"Pembuatan kopinya masih sangat otentik. Rasanya jauh lebih enak dibanding kopi di gerai-gerai waralaba di Jakarta, mungkin ini efek ketel yang dipakai kali ya," kata Yulia (26), dari Jakarta.

Sementara itu, pelanggan lain yang asli Tanjung Pandan, Lili Yuniarti (27), menyebut kedai Ake adalah tempat yang cocok untuk bersantai dan ngobrol-ngobrol.

"Dari dulu, warga sini kalau nongkrong ya di sini, karena kita tak ada tempat hiburan lain seperti mal atau bioskop. Kami cuma punya ini. Biasanya, kita kalau sudah nongkrong di sini, kita suka lupa waktu. Para pemuda baru pulang kalau dipanggil orang tuanya," kata Lili, lalu tertawa.

Kedai kopi Ake rupanya baru saja dipugar.

Sekitar 2012, pemerintah Belitung membangun kembali kawasan Kafe Senang dan mempercantiknya. Sejak saat itu, Akiong berhenti menggunakan arang untuk merebus air kopinya.

"Kalau pakai arang, abu kemana-mana, makanya sekarang saya pakai kompor gas saja, enggak ada yang protes. Pelanggan tetap suka," katanya.

Selain tak lagi mempertahankan tungku arang, Akiong kini juga tak lagi menggiling bijih kopi Lampung dan Palembang yang jadi bahan utama di kedainya.

"Tak ada lagi tenaga, biarlah kawan saja yang menggilingnya, saya ambil di kawan," katanya.

Kopi Ake vs kopi modern

Rahasia kenikmatan kopi Ake, menurut Akiong, adalah beberapa teknik penyeduhan yang diwarisinya dari sang kakek.

"Yang penting airnya harus panas benar, jadi sari kopi yang keluar bener-bener nikmat. Air penyeduhnya kalau bisa ya lebih dati 100 derajat," katanya.

Pada teknik pembuatan kopi modern, kopi justru dilarang diseduh dengan air bersuhu tinggi.

Beberapa waktu sebelumnya, pakar kopi Adi Taroepratjeka mengatakan pada ANTARA News bahwa kepercayaan kalau penyeduhan kopi dengan temperatur tinggi air bisa menambah kenikmatan kopi adalah mitos belaka.

Menurut Adi, suhu air hanya akan berpengaruh pada derajat kepahitan kopi.

"Semakin panas airnya maka semakin pahit. Tapi sebenarnya buat apa beli kopi mahal-mahal tapi kalau cuma rasa pahit yang keluar? Seni minum kopi itu melibatkan semua indera, mata, hidung, mulut," kata Adi.

Dia menyambung, "bahkan kalau di Italia, orang minum espresso itu cuma sekali tenggak karena mengharapkan rasa setelahnya. Di mana setelah minum itu nafas kita jadi wangi kopi."

Bukan hanya itu, Akiong juga setia melestarikan tata cara penyimpanan bubuk kopi dalam kaleng yang dulu dipraktikkan kakeknya.

"Bubuk kopi saya simpan di sini. Tak ada ketentuan berapa lama harus disimpan. Pokoknya sekali beli, langsung saya masukkan sini," ujarnya sambil menunjukkan kaleng serupa kaleng kerupuk itu.

Berbeda dengan Akiong, peracik kopi kekinian Adi Taroepratjka mengatakan kopi paling enak jika dinikmati sesaat setelah biji kopi digiling karena aroma dan sensasinya masih akan terasa segar. Jika terlalu lama disimpan, aroma kopi akan hilang.

Kopi Akiong juga hadir dengan susu kental manis merek Omela. Sementara, menurut Adi, kopi akan terasa lebih nikmat jika dinikmati tanpa gula, susu, krim atau bahan campuran lain. Alasannya, agar aroma kopi ternikmati maksimal.

Apa pun itu, Kedai Kopi Ake tak pernah sepi peminat.

Hampir semua pelanggan menyebut kopi Ake sedap.

Selain didampingi dengan roti isi kacang hijau, kopi Ake juga biasa disesap sambil makan telur setengah matang yang diberi kecap asin dan lada putih.



Oleh Ida Nurcahyani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016