Jakarta (ANTARA News) - Stabilitas di Laut China Selatan (LCS) begitu berpengaruh atas perdamaian kawasan Asia Tenggara dan Timur khususnya, dan Asia-Pasifik yang merupakan "tuan rumah" dari setidaknya empat kekuatan besar yakni Amerika Serikat, China, Jepang, dan India.

Interaksi antara mereka di Asia-Pasifik sejauh ini diatur, kalau tidak dikendalikan oleh ASEAN, kata pengamat masalah hubungan internasional Bantarto Bandoro dalam artikelnya berjudul "Arsitektur Keamanan Asia-Pasifik: Prospek dan Pilihan untuk Indonesia" di salah satu Jurnal Diplomasi (2012).

Setidaknya ada kekuatan utama dunia selain empat negara tersebut. Kekuatan lainnya ialah Rusia, Korea Selatan, ASEAN, Australia dan Brazil.

Masing-masing negara besar yang memiliki pengaruh di kawasan memiliki persoalan mereka sendiri baik secara internal maupun eksternal akibat perubahan-perubahan dalam negeri dan lingkungan strategis mereka.

Pulau Spratly khususnya di LCS kini tampak berada dalam situasi tak menentu dan jalan menuju kawasan yang stabil masih panjang dan berliku-liku akibat distribusi kekuatan yang semakin tidak jelas perkembangannya. China mengklaim seluruh wilayah yang kaya minyak itu sebagai bagian dari kedaulatannya. Begitu juga Brunei Darussalam, Malaysia, Taiwan, Filipina dan Vietnam mengklaim pulau-pulau di kawasan tersebut.

Di luar Taiwan, empat negara tersebut merupakan anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Tak ada nama Indonesia di deretan nama negara-negara yang mengklaim wilayah di Pulau Spratly.

"Indonesia bukan merupakan bagian dari perselisihan, tapi kita ada kepentingan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di sana. Kami menyerukan semua pihak untuk menahan diri dari tindakan berpotensi dapat merusak perdamaian dan stabilitas kawasan," kata Presiden Joko Widodo di Washington, Amerika Serikat, di sela lawatannya tahun lalu.

Perselisihan teritorial maritim di LCS memiliki potensi untuk berkembang menjadi konflik antarnegara yang mengklaim. Tumpang tindih klaim tersebut menimbulkan ketegangan.

Ketika China memulai konstruksi pulau-pulau buatan, negara itu membantah mempunyai maksud-maksud agresif. Dikatakannya konstruksi di LCS/Laut Timur ialah untuk membuat langkah-langkah defensif dan mendirikan fasilitas-fasilitas sipil di pulau-pulau yang menjadi wilayahnya, dan hal itu akan menguntungkan masyarakat internasional.

Namun Tran Cong Truc, seorang mantan pejabat Vietnam, mengatakan aksi paling akhir China merupakan "eskalasi militer baru" yang berseberangan dengan apa yang negara itu katakan. Menurut dia, Beijing "menantang tidak hanya negara-negara yang mengklaim tetapi juga pihak-pihak luar seperti AS, yang menggunakan kebebasan navigasi dekat pulau-pulau buatan China di kawasan itu".

Truc mengatakan langkah itu serius dan berbahaya, yang akan diikuti oleh aksi-aksi lain oleh China untuk melakukan okupasi total LCS. Ia juga mengatakan apa yang telah dilakukan China bisa memicu perlombaan senjata di Asia, dan mencurigai bahwa pemerintah China sedang menyiapkan untuk memberlakukan zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) di atas kawasan itu.

Konflik berskala besar mungkin terjadi kalau tak ada solusi efektif untuk menghentikan China.

Hanya sehari setelah para pemimpin ASEAN berkumpul dalam suatu pertemuan tingkat tinggi dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama di California, Pentagon menemukan China telah mengerahkan peluru-peluru kendali permukaan-ke-udara HQ-9 di Pulau Phu Lam, di Kepulauan Hoang Sa yang diklaim milik Vietnam.

Siapa pun yang mencemaskan situasi di Laut Timur (istilah Vietnam untuk kawasan LCS) akan teringat dengan apa yang Presiden China Presiden Xi Jinping akhir tahun lalu katakan kepada Presiden Obama dalam jumpa pers pada 25 September 2015 dalam kunjungannya ke AS bahwa China "tak bermaksud untuk melakukan militerisasi".

Sengketa China-Vietnam

Kepulauan Paracel jadi sengketa antara China dan Vietnam selama lebih dari 20 tahun.

Tercatat dalam sejarah pada 14 Maret 1988, China mengerahkan pasukan untuk menduduki sejumlah pulau karang seperti Collins (Co Lin), Landsdowne (Len Dao), Johnson South dan beberapa pulau lainnya.

Pertempuran antara angkatan laut Vietnam dan China tak terelakkan dan berlangsung 30 hari setelah insiden pendudukan oleh China. Dalam versi Vietnam, kapal- kapalnya diserang kapal-kapal perang China. Vietnam menenggelamkan tiga kapal, 64 prajuritnya gugur, 11 orang luka-luka, sembilan orang ditahan dan dibawa ke Gungdong, China.

Untuk mengenang peristiwa berdarah itu, di Pagoda Phuoc Long Ward Svaypao, kota Battambang, Provinsi Battambang, Kamboja telah menyelenggarakan upacara dan doa bersama bagi para nelayan Vietnam, dan martir yang secara heroik berkorban demi melindungi kedaulatan dan pulau-pulau itu pada 12 Maret. Biksu Thich Minh Thang dari pagoda Binh An Xuan Quang di distrik Kandieng, Provinsi Pursat, Kamboja memimpin upacara tersebut.

Di sini, sebelum doa bersama, seorang pejabat dari Konsulat Jenderal Vietnam di Battambang, memberikan kata sambutan, menyinggung arti pentingnya upacara itu, mengenang kembali jasa-jasa para nelayan Vietnam yang gugur di laut demi membela kedaulatan negerinya. Anak-anak Vietnam di Kamboja selalu mendoakan tanah air mereka yang kedaulatan nasionalnya sedang terancam.

Indonesia dan Vietnam yang merupakan dua negara anggota ASEAN dapat menjadi contoh pelajaran berharga bagi negara-negara lain khususnya yang berada di Asia-Pasifik bahwa kedua negara ini memerlukan waktu selama 30 tahun untuk menyelesaikan perbatasan wilayah lautnya dan sebagai bukti turut mempromosikan perdamaian dan keamanan regional.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016