Jakarta (ANTARA News) - Pekan lalu, saya beberapa hari berada di sebuah rumah sakit di Pandeglang, Banten, menemani orang tua yang sedang sakit.

Setiap kali berada di rumah sakit, baik untuk keperluan berobat sendiri maupun besuk, selain mengamati pelayanan sang dokter, tenaga medis, dan fasilitas rumah sakit, saya kerap mengamati perilaku para penunggu pasien, terutama di luar ruangan. Belajar menyelami profesi yang amat mulia itu.

Kali ini saya ingin berbagi cerita tentang sang dokter dan tenaga medis. Betapa sikap seseorang bisa membuat perbedaan.

Teringat pada pengalaman sendiri beberapa tahun lalu, kala mengantar istri berkonsultasi pada seorang dokter spesialis di Bogor. Betapa tak sabarnya sang dokter saat kami mengajukan beberapa pertanyaan perihal subjek yang didiagnosis.

Jawaban ketus dan sekenanya, tanpa disertai tatapan mata sang dokter, seolah meminta kami segera ke luar ruangan. Belakangan, kami beralih dokter dan rumah sakit.

Kami sudah memaafkan sang dokter. Namun, tidak mudah melupakan pengalaman itu. Boleh jadi sang dokter sedang punya agenda lain, apalagi ada antrean pasien lain.

Entah bagaimana pengalaman pasien lain, di tengah kelebihan permintaan dibandingkan penawaran dokter dan tenaga medis kita. Komposisi jumlah dokter dan tenaga medis kita masih jauh dari ideal.

Namun, kejadian sebaliknya juga sering kami alami, merasakan ketulusan sang dokter yang antusias menjawab pertanyaan pasien meski tak selalu disertai senyum yang kerap kali dirasa lebih cepat menyembuhkan pasien ketimbang obat dari resep yang diberikannya. Sikap itu, nyata membuat perbedaan.

Pengalaman lain, pekan lalu saya berjumpa dengan Alex Deni, kawan lama, pakar disiplin eksekusi manajemen yang bercerita tentang ibunya yang sempat dirawat lama di sebuah rumah sakit di Tangerang.

Sang ibu datang ke rumah sakit itu dalam keadaan bugar untuk membesuk temannya. Atas sugesti pasien yang dibesuk agar rajin "check-up" untuk antisipasi bila ada penyakit yang harus segera diobati, lantas ibundanya diperiksa darah di lab rumah sakit itu.

Hasil lab disampaikan sang dokter dengan bahasa "straight to the point" bahwa hasil lab sang ibu buruk. Ada masalah. Sang ibu langsung dirawat karena "merasa sakit" dari semula "merasa sehat". Semula sang ibu datang ke rumah sakit dalam keadaan segar bugar, langsung dirawat hari itu juga.

Tulisan ini tak bermaksud mempersoalkan profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya lantaran keluarga penulis pun ada yang berprofesi dokter dan tenaga medis juga.

Ini tentang kemuliaan profesi dan proses komunikasi para dokter dan tenaga medis. Bukankah tujuan sesungguhnya dari peran dan komunikasi dokter dan tenaga medis adalah menyehatkan dan menyembuhkan pasien?

Dokter dan tenaga medis telah menjadi pemegang otoritas tertinggi di rumah sakit. Kesadaran atas "kekuasaan" dan wibawa profesi ini penting. Bahkan, kesimpulan sang dokter bisa membuat pasien harus dirawat atau sebaliknya sudah bisa pulang untuk berobat jalan atau pasien dinyatakan sembuh.

Kadangkala, bukan hasil lab itu semata yang membuat pasien bisa sembuh atau harus menjalani perawatan.

Beberapa pengalaman di atas menunjukkan betapa penting kesadaran atas misi mulia sang dokter dan tenaga medis yang tercermin dari kualitas komunikasinya. "Feeling on mission".

Idealnya, dokter dan tenaga medis terampil dan mampu menumbuhkan harapan sang pasien untuk sembuh. Mereka bisa menjadi motivator hebat, tanpa harus membungkusnya dengan kalimat-kalimat motivasional.

Motivasi itu sesungguhnya bisa berbentuk sikap dan bagaimana kualitas komunikasinya.

Saya yakin, sikap dan perbuatan itu bukan kita harapkan pada dunia kesehatan semata, melainkan juga pada seluruh profesi. Sikap melayani dengan antusias itu membedakan.

Khusus di dunia kedokteran dan kesehatan, sikap dan perbuatan itu ternyata bisa menyembuhkan, setidaknya menumbuhkan harapan. Bukan sebaliknya.

Bagaimana tanggung jawab organisasi terhadap masalah ini? Dalam manajemen perubahan, dikenal setidaknya ada dua pendekatan untuk mengubahnya.

Pertama, pendekatan "inside-out", memperkuat manusianya. Sering dilakukan melalui reorientasi pelayanan, induksi, pelatihan motivasi, pelayanan prima dan sejenisnya.

Pendekatan pelatihan emosional-spiritual sering efektif membangkitkan motivasi pelayanan. Namun, ternyata sering tidak cukup saat peserta menghadapi realitas lain. Sistem organisasi tidak mendukungnya.

Cara lain yang sering efektif dilakukan melalui pendekatan outside-in, melalui penguatan sistem, prosedur, serta penegakan aturan yang berorientasi pada pelayanan prima.

Pendekatan ini harus dijalankan secara disiplin dan konsisten oleh semua lapis manajemen. Kepemimpinannya efektif, termasuk di antaranya memastikan pelayanan prima secara operasional, sistem penilaian berbasis kinerja, menjalankan sistem umpan balik, hingga dukungan sarana dan prasarana lainnya.

Khusus untuk pelayanan di rumah sakit bisa dimulai dengan sederhana. Setiap pasien bisa memberikan umpan balik terhadap pelayanan sang dokter atau tenaga medis. Ada mekanisme "feedback" atas pelayanan.

Pada saat yang sama, insentif dan sebaliknya disinsentif yang memasukkan feedback para pasien merupakan salah satu unsur penting penilaian kinerja dokter dan tenaga medis.

Ada apresiasi dan konsekwensi atas sikap dan kualitas pelayanan. Pendekatan kedua ini dapat membentuk perilaku baru yang bila dilakukan terus-menerus dapat menghasilkan proses perubahan budaya.

Dalam banyak kisah sukses perubahan organisasional, kedua pendekatan itu sebaiknya dilakukan secara paralel dan dipimpin oleh para "change makers" yang bekerja "hands-on". Bekerja dan turun ke lapangan.

Ujungnya, perubahan perilaku itu dapat mengubah budaya lama yang tercermin dari sikap tidak peduli, menuju budaya baru yang melayani dengan antusias dan bersemangat, bahkan keluar dari suara hati. Panggilan hidup. Aktualisasi diri.

Pasalnya, melayani dengan hati akan terasa berbeda, membahagiakan bagi yang melakukan dan yang menerimanya. Anda punya pengalaman lain?

*) Direktur Utama Perum LKBN ANTARA periode 2007--2012

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf *)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016