Jakarta (ANTARA News) - Sebelum era reformasi sulit dibayangkan ada calon kepala daerah yang maju mengikuti pemilihan kepala daerah tanpa dukungan dari partai politik dan mengandalkan dukungan masyarakat secara langsung.

Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum, pemilihan kepala daerah yang diwarnai hadirnya calon independen/perseorangan diawali pada 2007 di Provinsi Aceh. Saat itu pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar memenangi pilkada.

Jejak pasangan itu juga diikuti oleh pasangan Ramli MS dan Fuadri yang memenangi pilkada Kabupaten Aceh Barat 2007 serta pasangan Nurdin Abdul Rahman dan Busmadar Ismail dalam pilkada Kabupaten Bireun, Aceh juga tahun 2007.

Peluang calon perseorangan hadir dalam pemilihan kepala daerah kemudian dibuka melalui ditetapkannya Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua terhadap Undang-undang Nomor 32 tahun 2004.

Para calon independen itu cukup mendapatkan dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan fotocopy kartu tanda penduduk dengan jumlah tertentu.

Dalam UU nomor 12 tahun 2008 tersebut dinyatakan untuk pasangan calon yang akan melaju melalu jalur perseorangan provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 persen dari jumlah penduduk.

Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5 persen. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 sampai dengan 12.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4 persen dan provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3 persen.

Pada 2008, data dari KPU, pasangan Oka Arya Zulkarnain dan Gong Martua Siregar memenangi pilkada Kabupaten Batubara di Sumatera Utara, kemudian di tahun yang sama, pasangan Christian Nehema Dillak dan Zachrias P Manafe di Kabupaten Rote Ndao Nusa Tenggara Timur dan kemudian pasangan Aceng Fikri dan Dicky Chandra di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Di tahun 2010, pasangan Haris Najamudin dan Hamim Pou di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, pasangan Suherman dan Slamet Diyono di Kabupaten Rejang Lebong , Bengkulu serta pasangan Satono dan Erwin Arifin di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.

Sepanjang 2010 tersebut, menurut analisis media, pasangan yang melaju melalui jalur independen atau perseorangan tercatat di 71 pilkada yang tersebar di 17 provinsi dengan 10 diantaranya memenangi pilkada tersebut.

Dalam pelaksanaan pilkada serentak yang pertama kali pada 2015, menurut anggota KPU Ferry Kurnia Rizkiansyah, kepada media massa mengatakan setidaknya tercatat 187 pasangan calon yang menggunakan jalur non partai untuk mengikuti pilkada yang dilangsungkan di 8 Provinsi, 170 Kabupaten dan 26 Kota.



Pilkada DKI Jakarta

Calon perseorangan dalam pemilihan kursi orang nomor satu di ibukota itu baru muncul dan memiliki dukungan yang mencukupi keikutsertaan dalam pilkada pada pilkada 2012. Meski kemudian dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama yang diusung partai politik namun kehadiran calon independen saat itu cukup menarik perhatian.

Saat itu, pilkada DKI Jakarta diikuti oleh enam pasangan calon masing-masing Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli pasangan calon dari Partai Demokrat, Hendardji Supandji dan Ahmad Riza Patria pasangan calon dari jalur perseorangan, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama pasangan calon dari PDIP dan Gerindra, Hidayat Nurwahid dan Didik J Rachbini pasangan calon dari PKS dan PAN, Faisal Basri dan Biem Benyamin pasangan calon dari jalur perseorangan dan Alex Noerdin dan Nono Sampono pasangan calon dari Golkar, PPP, dan PDS.

Menjelang pilkada DKI 2017, jalur perseorangan kembali menarik perhatian ketika Basuki Tjahaja Purnama sejak jauh-jauh hari sebelumnya sudah menyatakan akan mencalonkan diri sebagai gubernur DKI tanpa kendaraan politik dari partai.

Pengamat Politik Universitas Nasional Muhammad Hailuki di Jakarta, mengatakan keputusan petahana untuk maju melalui jalur perseorangan seharusnya tidak diartikan kegagalan proses kaderisasi parpol.

"Jika kita melihat kader muda parpol di kabinet dan parlemen, maka kita akan menemukan sejumlah nama yang memiliki kapasitas seperti Ferry Mursyidan Baldan (Nasdem/Menteri Agraria), Lukman Hakim Saefuddin (PPP/Menteri Agama), Ade Komaruddin (Golkar/Ketua DPR), Dede Yusuf (Demokrat/Ketua Komisi IX), Rieke Dyah Pitaloka (PDIP/Ketua Pansus Pelindo), Budiman Sudjatmiko (PDIP/Ketua Pansus RUU Desa)," katanya.

Luki memaparkan proses kaderisasi di partai politik sudah menunjukkan adanya figur-figur yang menjanjikan untuk menempati posisi politis yang strategis.

"Berdasarkan itu maka tidak bijaksana jika kita menuding parpol tidak mampu melakukan kaderisasi politik. Dengan demikian apabila ada pernyataan yang mengatakan bahwa parpol tidak mempunyai kader yang layak untuk diusung jadi cagub atau cawagub DKI, maka pernyataan tersebut bisa dikatakan tidak berdasar dan sarat kepentingan, yaitu kepentingan untuk melakukan deparpolisasi," tegasnya.

Menurut peneliti Centre for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS) itu, tolak ukur kematangan demokrasi bisa dilihat dari kualitas dan peran partai politik yang semakin baik.

"Apabila parpol mampu melakukan rekrutmen politik secara baik, maka kondisi akan menjadi terbalik, tidak diperlukan lagi jalur independen untuk menjadi kepala daerah di level manapun. Parpol akan lebih terhormat tidak bisa terdikte oleh kepentingan figur kandidat kuat atau permainan dukungan elite massa," paparnya.

Gubernur DKI Jakarta merupakan jabatan yang tak hanya prestesius namun juga memiliki peran penting, apalagi Jakarta merupakan ibukota negara.

Sejak jaman kemerdekaan, kepala daerah Jakarta selalu dipilih orang-orang yang dinilai memiliki kemampuan yang pas sesuai jamannya untuk mengembangkan Jakarta. Nama-nama seperti Sudiro, Henk Ngantung, Ali Sadikin, Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, Sutiyoso hingga Fauzi Bowo dan kemudian Joko Widodo (yang dilanjutkan Ahok) merupakan personal-personal yang dinilai kemampuannya bisa mengembangkan ibukota sesuai tuntutan jaman.

Ali Sadikin merupakan sosok yang dinilai paling berhasil dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dipilih pada 1966 oleh Presiden Soekarno, Bang Ali, demikan nama akrabnya dipanggil masyarakat berhasil mengubah Jakarta dari sebuah "Kampung Besar" menjadi kota metropolitan.

Pada jaman Ali Sadikin Jakarta mulai memiliki terminal angkutan umum di Cililitan dan Lapangan Banteng. Di setiap wilayah Jakarta juga dibangun gelanggang remaja sebagai sarana olahraga dan berkesenian.

Taman Ismail Marzuki (TIM) juga dibangun sebagai wadah budayawan ibukota berkumpul dan berekspresi. Sebelumnya mereka kerap berkumpul di kawasan Senen Jakarta Pusat.

Ketika Bang Ali mengakhiri jabatannya sebagai pimpinan Jakarta pada 1977, Jakarta telah bertransformasi menjadi sebuah kota besar yang modern. Kebun binatang di kawasan Cikini, dipindahkan ke Ragunan dengan luas tanah yang lebih representatif.

Karena dinilai memberikan kontribusi yang besar, maka ada anekdot, Gubernur DKI Jakarta itu Ali Sadikin sementara yang lain hanya penggantinya saja.

Wiyogo Atmodarminto tercatat sebagai gubernur DKI yang melakukan pembenahan transportasi, salah satunya dengan melarang becak masuk ke Jakarta karena dianggap tidak manusiawi. Wiyogo memang terkenal dengan semboyan Jakarta Bersih, Manusiawi dan Berwibawa (BMW).

Sutiyoso yang menjabat selama dua periode dengan empat presiden berbeda, 1996-2006, tercatat sebagai gubernur yang memberikan kontribusi pada perbaikan transportasi melalui kebijakan bus cepat dengan jalur khusus.

Mengadopsi moda transportasi yang ada di ibukota Kolombia Bogota, Sutiyoso pada 2004 meresmikan TransJakarta sebagai moda baru di DKI Jakarta dengan jalur khusus. Semula koridornya membentang dari Blok M menuju Jakarta Kota, kini telah melebar menjadi 12 koridor dengan target pembangunan hingga 15 koridor dalam beberapa tahun mendatang.

Menjadi Gubernur DKI Jakarta juga bukan sekedar memimpin ibukota. Posisi tersebut bila didukung dengan popularitas yang tinggi bisa mengantarkan pemilik jabatan itu menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia.

Meski contoh tersebut baru bisa dilakoni oleh Joko Widodo pada 2014, namun jauh sebelumnya, pada masa Ali Sadikin, juga pernah digadang-gadang untuk menjadi Presiden RI pada masanya, setelah melihat keberhasilannya membenahi Jakarta.

Jabatan Gubernur DKI tak hanya prestesius, namun juga bisa menjadi jalan bagi jabatan politik yang lebih tinggi. Namun lebih daripada itu, bagaimana upaya membangun Jakarta, memberikan kontribusi kemajuan yang nyata dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi warganya seharusnya menjadi hal yang lebih penting untuk dicapai.

Oleh Panca Hari Prabowo
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016