Tapi untuk bilasan akhir cucian dan mandi, pakai air jerigen, kalau tidak nanti bajunya kuning-kuning, apalagi baju putih.
Jakarta (ANTARA News) - Buka keran, air bersih mengucur. Hal lazim yang terasa mewah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang tidak punya akses air bersih. 

Dalam tiga tahun mendatang, pemerintah punya target menyediakan akses air bersih dan sanitasi untuk 100 persen masyarakat Indonesia. 

Air tanah berkualitas hanya ada di sebagian tempat, sementara air sungai kian tercemar. Menurut data dari Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya, hanya empat persen sungai di Jakarta yang dijadikan air baku untuk kebutuhan air bersih rakyat ibu kota karena airnya sudah tercemar limbah. 

Air bersih perpipaan jadi solusi.

Namun, belum semua masyarakat terlayani karena terkendala kondisi alam atau status tanah. 

Penyedia air bersih yang disalurkan lewat pipa hanya bisa menjangkau tanah-tanah legal, padahal masih ada MBR yang menetap di atas tanah yang statusnya belum jelas. 

Hingga akhir 2015, cakupan pelayanan PAM Jaya di Jakarta baru mencapai 60 persen dari luas wilayah. 

Meter induk

Salah satu solusi yang ditawarkan untuk memperluas akses air bersih perpipaan adalah melalui meter induk (master meter) atau layanan sambungan komunal. Ini adalah sistem perpipaan menggunakan yang menyalurkan air dari pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) menuju rumah penduduk.

PDAM bertanggung jawab untuk mengalirkan air hingga meter induk yang berada di tanah legal, kemudian masyarakat menyalurkannya ke rumah masing-masing.

Alternatif ini bermanfaat bagi kedua pihak, PDAM bisa melayani masyarakat di daerah yang terkendala aturan administrasi dan standar teknis. Masyarakat akhirnya bisa mendapat akses air bersih secara praktis serta menghemat waktu, uang serta tenaga untuk membeli air dari sumber lain. 

Pemasukan PDAM juga bertambah dari pengelola meter induk yang tergabung dalam Kelompok Swayada Masyarakat (KSM). Mereka akan mengumpulkan tagihan air dari tiap pelanggan untuk disetor secara kolektif ke PDAM. KSM pula yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan meter induk di tempatnya.

Operator air bersih Indonesia dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) lewat program IUWASH (Indonesia, Urban Water, Sanitation and Hygiene) bekerja sama untuk membuat meter induk di beberapa kawasan, seperti Pulo Gebang, Cilincing, Rawa Buaya, dan Tanah Merah di Jakarta.  

Dana pembangunan meter induk bervariasi, ada yang ditanggung sepenuhnya oleh USAID IUWASH, ada pula kelompok masyarakat yang merogoh koceknya sendiri. 

Proyek USAID IUWASH yang berjalan selama lima tahun seiring target Millennium Development Goals (MDGs) menyediakan dana 40,7 juta dolar AS untuk memberi akses air bersih dan sanitasi layak bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia dan pihak swasta juga turut andil dengan menggelontorkan 33,6 juta dolar AS. Hingga September 2015, USAID IUWASH telah mengalokasikan dana sebesar 32,5 juta dolar AS untuk memberikan akses air bersih dan sanitasi kepada 2,2 juta orang. 

Jakarta Utara

Warga Rawa Sengon, Plumpang, Jakarta Utara tidak bisa mengandalkan air tanah untuk kebutuhan esensial sehari-hari seperti minum, mencuci dan memasak. 

“Saya dulu beli air jerigen untuk membilas cucian dan mandi karena air tanahnya asin,” kata Sardinah (42), pemilik warung yang telah tinggal sembilan tahun di Rawa Sengon. 

Kualitas air sumur tidak layak untuk mandi, sampai-sampai sulit membuat sabun berbusa dengan air tersebut.

Ketika master meter belum menjangkau rumahnya, Sardinah biasa membeli dua gerobak yang masing-masing berisi sepuluh jerigen (satu jerigen = 20 liter). Dalam sebulan, dia bisa mengeluarkan uang untuk air sebesar Rp300.000.

Ketika dipilih menjadi salah satu dari 150 Kepala Keluarga pelanggan master meter di Rawa Sengon,  keluarga Sardinah yang beranggotakan enam orang  itu dapat menghemat biaya hingga setengahnya.

Muhammad Noor (40) adalah ketua dari Kelompok Swadaya Masyarakat yang mengelola para pelanggan master meter di Rawa Sengon.  Menurut Noor, program ini ditargetkan memenuhi kebutuhan setidaknya 250 keluarga, namun pihaknya baru bisa melayani 150 keluarga.  

“Peminat tahap kedua sudah banyak yang antre,” ujar dia.

Noor menjelaskan pihak pengelola air minum enggan menjangkau daerahnya karena status tanah yang bermasalah. Di kawasan yang disebutnya mulai ramai dihuni sejak 2000-an, semua fasilitas publik dibangun dari sumbangan masyarakat. 

“Bikin got sampai jalan semua swadaya masyarakat,” tutur dia, menambahkan setidaknya kini secara administrasi para warga diberi hak untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga.

Sementara itu, pembangunan master meter lain sedang berlangsung di Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara yang jaraknya hanya beberapa menit berkendara dari Rawa Sengon. Tanah digali hingga menjadi bak berukuran 3 x 5 meter dengan kedalaman 2,45 meter untuk menampung air yang akan dialirkan kepada warga. 

Juniharto (39), Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat di sana, banyak mengambil pelajaran dari pembangunan meter induk di Rawa Sengon. 

Dia harus pandai memilah siapa yang diprioritaskan menjadi pelanggan tahap pertama untuk air perpipaan yang hanya bisa melayani 250 KK. 

“Kecemburuan sosial tentu ada, tapi kami diskusikan solusinya.”

Dia memprioritaskan warga yang telah menetap dalam jangka waktu lama dan punya rumah sendiri.

Pembangunan yang memakan biaya Rp900 juta ditargetkan selesai dalam sepuluh pekan.  Lebih murah dari master meter di Rawa Sengon yang mencapai Rp1,2 miliar. 

Biaya meter induk di Rawa Badak Selatan lebih murah karena pipa yang dibutuhkan lebih pendek. Rumah-rumah yang terhubung dengan perpipaan air saling berhimpitan di antara gang yang hanya cukup dilalui dua orang. 

Berliana (49) menanti rampungnya perpipaan air sehingga dia bisa mudah memasak, mencuci dan minum  dari keran di rumahnya.  Perempuan asal Medan yang telah menetap di Jakarta selama sewindu ini biasa membeli sepikul (dua jerigen) air per hari. 

Ibu dari empat anak itu kerap menghemat pemakaian air jerigen hanya untuk kebutuhan yang berdampak pada kesehatan, seperti minum, masak dan mencuci sayur-mayur. Ia masih mengandalkan air sumur untuk mencuci baju dan mandi . 

"Tapi untuk bilasan akhir cucian dan mandi, pakai air jerigen, kalau tidak nanti bajunya kuning-kuning, apalagi baju putih," ungkapnya, menambahkan keluarganya sempat mengalami gatal-gatal sebelum beradaptasi dengan air tanah di sana.

Kendala

Di Cilincing, warga yang telah membangun meter induk dengan biaya sendiri kalah pamor dengan pemasok air yang bersumber dari rumah susun tak jauh dari sana. Ikang Rasidi, ketua KSM Cilincing, mengemukakan awalnya mereka semua membeli air yang disalurkan PAM Jaya ke rumah susun. 

Rasidi dan tetangga-tetangganya menumpang tanah milik Pelindo sehingga PAM tidak bisa menyalurkan air ke sana. Tidak ada cara lain selain membeli dari rumah susun.

“Pernah diputus sama orang PAM, lalu kami demo kalau tidak disambung lagi,” ujar Rasidi, menambahkan pihaknya sudah pernah meminta bantuan air bersih kepada walikota namun belum ada hasil.

Dibuatlah meter induk, dengan catatan pasokan air secara ilegal dari rumah susun untuk masyarakat di daerahnya ditutup sehingga semua orang berlangganan. Sebab, pengelola harus memenuhi kuota minimal yang dipatok oleh PT Aetra Air Jakarta, operator air bersih mitra PAM Jaya.

“Perjanjian minimal sebulan bayar 500 kubik, kalau pemakaian kurang, kami harus nombok,” kata pria yang dulu bekerja sebagai buruh pelabuhan Tanjung Priok.

Pelanggan meter induk dikenakan biaya Rp14.000 per meter kubik. Awalnya mereka optimistis setoran minimal akan terpenuhi bila seluruh warga berlangganan. Sayangnya, target 150 kepala keluarga tidak tercapai akibat sumber ilegal yang masih dibiarkan beroperasi. Mereka berpaling karena harga air di sana hanya seperempat dari tarif meter induk. Kini hanya ada 30 rumah yang berlangganan meter.

“Balik modal belum bisa,” keluhnya. Meter induk di Cilincing dibangun dari dana masyarakat sebesar Rp75 juta.

Dia tidak bisa melarang para warga yang beralih. Ketimbang dibenci tetangga-tetangganya, lebih baik bungkam. Lagipula, seharusnya akar permasalahan yang diperbaiki.

“Kami ingin AETRA menindaklanjuti oknum yang menjual air secara ilegal,” kata Rasidi, menambahkan pihak yang terkait belum merespon surat keluhan yang telah diajukan.

Dihubungi terpisah, Corporate Secretary PT Aetra Air Jakarta Pratama Adi mengatakan pihaknya akan menyelidiki keluhan tersebut. Oknum nakal yang menyalurkan air secara ilegal akan ditindak bila memang terbukti.

“Dalam perda juga disebutkan bahwa pelanggan tidak boleh menjual kembali air,” imbuh dia.

Selain itu, Pratama menyatakan kantor pelayanan AETRA di wilayah Utara siap menyambut KSM dengan tangan terbuka untuk mendiskusikan permasalahannya.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016