Ketenaran Martin Heidegger di kalangan pembaca buku-buku filsafat tak disangsikan lagi.

Bukunya yang masyhur, "Ada dan Waktu" yang ditulis dalam bahasa Jerman sebagai "Sein und Zeit" atau "Being and Time" dalam versi Inggrisnya, dinilai sebagai hasil pemikiran orisinal dalam jagat sejarah ide-ide filsafat.

Namun, semua penelaahnya, dari masa ke masa, seraya mengagumi orisinalitas yang diusungnya, juga mengakui kompleksitas dan kesulitan untuk memahaminya.

Bahkan filsuf eksistensialis Prancis Jean Paul Sartre yang merespons pikiran-pikiran itu dinilai oleh Heidegger bahwa Sartre tak tepat dalam menafsirkan gagasan-gagasan filosofisnya.

Untuk memperkenalkan ide-ide Heidegger yang kontroversial karena kaitannya dengan penguasa Nazi itu kepada khalayak di Tanah Air, Dr. F. Budi Hardiman, alumnus Hochschule fur Philosophie Munchen Germany, menulis buku bertajuk "Heidegger dan Mistik Kehidupan", yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, edisi Februari 2016, setebal 214 halaman.

Oleh penulisnya, buku yang ditulis di tengah kesibukannya sebagai dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu dimaksudkan sebagai semacam buku pengantar untuk memahami karya monumental Heidegger "Ada dan Waktu".

Bagi pembaca yang awam terhadap risalah filsafat, apa yang disebut dalam konsep "ada" barangkali sudah membuatnya bingung atau tak berselera untuk menyimaknya. Konsep itu dipakai oleh Heidegger untuk mengupas problem mendasar dalam kehidupan dengan mengangkat pertanyaan: mengapa manusia atau segala sesuatu di jagat raya ini ada? Apa makna keberadaan semua itu? Mengapa keberadaan itu terbatasi oleh waktu?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah disediakan oleh agama dan belakangan oleh sains. Pendekatan filsafat, agama dan sains menjadi khasanah kekayaan pengetahuan dan rohani manusia. Masing-masing punya kekuatannya sendiri-sendiri. Jawaban filsafat sangat spekulatif, jawaban agama dilandasi oleh iman dan jawaban sains berpatokan pada bukti-bukti empiris.

Heidegger mengajak pembacanya untuk merenungkan makna keberadaan di dunia ini dengan merenung secara serius. Bagi Heidegger, manusia perlu merenungkan hidupnya yang harus berhadapan dengan persoalan keseharian.

Untuk memudahkan memahami pikiran Heidegger, Budi Hardiman yang juga bergulat dalam filsafat humanisme itu memberikan penjelasan bahwa konsep "ada" merujuk pada semua kenyataan, fenomen berupa perasaan, pikiran, peristiwa dan benda-benda di jagat raya ini. Ilmu untuk menelaah segala yang ada itu dikenal sebagai fenomenologi. Di ranah fenomelogi inilah pikiran-pikiran filsafati Heidegger bertebaran.

Keberadaan manusia tentu merupakan bagian dari "ada", "mengada" dan bereksistensi. Dan di sinilah problem eksistensial yang menjadi lahan renungan Heidegger.

Menurut Heidegger, keberadaan manusia merupakan keterlemparan eksistensial. Artinya, manusia sejak awal dipaksa menerima nasibnya bahwa dia harus pasrah menerima nasib yang tak bisa dikalkulasikan sebelumnya.

Tentu berdasarkan akal dan pengalaman, konsekuensi-konsekuensi nasib di masa depan bisa dikira-kira namun perkiraan itu tak bisa menolong untuk memecahkan masalah takdir eksistensial.

Manusia tetaplah tak kuasa melawan kekurangan yang melekat dalam takdirnya. Dia tak kuasa membebaskan diri dari kecemasan, kegelisahan dan ketaksempurnaan dirinya.

Bagi peletak dasar filsafat eksistensialisme itu, manusia juga tak bisa melawan takdirnya untuk menjalani kehidupan keseharian yang melenyapkan kesadarannya untuk berpikir otentik.

Rutinitas keseharian menelikung manusia hidup dalam kepalsuan. Sebagai contoh, pilihan-pilihan hidup manusia bukan didasarkan atas pertimbangan atau alasan yang bermakna. Tapi alasan banal yang vulgar. Sebagai contoh, orang yang berlomba-lomba mewujudkan mimpi menjadi pesohor bukan karena di sanalah dia bisa memberikan makna dalam hidupnya tapi semata-mata karena alasan ketersohoran itu sendiri, terlepas apakah di dunia itu kelak dia akan terjerembab pada kehidupan hedonistis, penuh kepalsuan, dan destruktif.

Namun, di saat-saat tertentu, setiap orang, menurut guru cendikiawan Hannah Arendt itu, bereksistensi sebagai sosok yang otentik. Hidup yang otentik itu dialami oleh setiap orang ketika dia mengambil keputusan penting dalam hidupnya.

Tak jarang, manusia pun terperangkap dalam ironi, yakni mengalami eksistensi yang otentik ketika sedang memutuskan pilihan penting dalam hidupnya namun pilihan itu melemparkannya ke dalam dunia yang palsu.

Untuk membebaskan diri dari kepalsuan, dari rutinitas keseharian, Heidegger mengajak individu untuk menarik diri dari keramaian, menyendiri dan merenungkan makna hidupnya dengan intens.

Tentu untuk menjadi otentik dalam bereksistensi, menarik diri dari keramaian bukan jalan satu-satunya. Sebab seseorang bisa menjadi otentik dengan melibatkan diri dalam kebersamaan, dalam pilihan sadarnya untuk menyatakan solidaritasnya pada masyarakat.

Itulah sebagian pokok pikiran tentang eksistensi atau keberadaan menurut Heidegger yang belajar di Universitas Freiburg di bawah guru filsafatnya, Edmund Husserl, salah satu penggagas fenomenologi.

Sedangkan konsep tentang waktu, Heidegger menciptakan istilah-istilah yang bahkan untuk orang Jerman sendiripun sulit memahaminya seperti istilah "Innerzeitigkeit", yang tak ada dalam kamus bahasa Jerman.

Uraian Heidegger tentang waktu begitu pelik, namun Budi Hardiman mengupayakan sejumlah parafrasa yang diharapkan dapat ditangkap oleh pembaca umum.

Salah satu uraian itu adalah soal waktu masa depan. Di situ dijelaskan bahwa masa depan adalah kematian yang datang menghampiri. Artinya, manusia akan menghadapi keniscayaan yang menjadi konsekuensi dari keberadaannya.

Uraian itu bermuara pada konklusi bahwa hanya karena manusia bisa mati maka hidup mempunyai makna dan akan ada waktu untuk mengisi hidup. Andaikan manusia tak dapat mati, hidup kehilangan maknanya.

Buku karya F. Budi Hardiman ini tentu hanya sebatas untuk mengantar pembaca yang berminat menyimak pikiran-pikiran Heidegger. Tentu akan lebih afdol jika telaah terhadap pikiran-pikiran fenomenologis itu dilanjutkan dengan membaca langsung karya-karya Heidegger sendiri.

Oleh M. Sunyoto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016