Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah sedang menyiapkan landasan hukum guna menghentikan implementasi Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) di Tanah Air karena skema tersebut dinilai amat merugikan petani kelapa sawit.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir di Jakarta, Kamis, mengatakan, pemerintah bertekad membuat landasan hukum untuk membubarkan IPOP karena meski telah diberi surat peringatan, pengelolanya masih melanjutkan operasi di Indonesia.

Gamal menegaskan bahwa pemerintah hanya membubarkan manajemen IPOP, bukan perusahaan penandatangannya.

"Mereka dilarang beroperasi di Indonesia, kami akan mencari dasar hukumnya. Sekarang sedang didiskusikan dengan instansi terkait soal apakah akan dibuat peraturan baru atau mencari dari aturan yang sudah ada," katanya.

Kementerian Pertanian ingin menerbitkan sejenis surat keputusan menteri supaya bisa segera membubarkan IPOP dan saat ini masih membahasnya dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Gamal mengatakan pemerintah merasa dilangkahi oleh IPOP, yang menggandeng beberapa dinas pertanian daerah tanpa berkoordinasi dengan kementerian.

"Pembinaan perkebunan sawit itu di bawah Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian. Jadi semua kebijakan soal sawit ada di kami," tegas Gamal.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) sebagai sistem sertifikasi industri sawit dan petani sawit dalam mengelola perkebunan sawit secara berkelanjutan, karenanya tidak memerlukan IPOP.

Pemerintah menyatakan sikap menentang implementasi IPOP sejak pertengahan tahun lalu, karena sejak skema tersebut diimplementasikan banyak petani mengeluh hasil produksinya yang tidak lagi diserap perusahaan karena dinilai berasal dari praktik yang tidak berkelanjutan.

IPOP merupakan komitmen para pelaku usaha di sektor kelapa sawit untuk melakukan praktik-praktik yang ramah lingkungan dalam aktivitas produksi, yang mana para anggota dilarang menerapkan penanaman sawit di wilayah dengan simpanan karbon tinggi dan lahan gambut.

Kesepakatan itu lahir dalam diksusi bertajuk Sustainable Development : The Indonesian Way of Doing Business in The New Millenium di ajang UN 2014 Climate Summit yang diinisiasi Kadin Indonesia di New York pada 24 September 2014.

Perusahaan yang menandatangani kesepakatan itu meliputi Golden Agri Resources Ltd, Wilmar International Ltd, Cargill, dan Asian Agri.


Menunggu

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad mengatakan petani menunggu langkah pemerintah untuk membubarkan IPOP karena perusahaan besar yang menandatangani kesepakatan tersebut mengurangi pembelian tandan buah segar kelapa sawit petani.

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani mendukung Kementerian Pertanian mengambil langkah tegas terhadap IPOP.

"Pemerintah harus ambil langkah tegas. Kalau perlu, panggil penandatangan IPOP untuk mencari penyelesaiannya, sehingga tidak semakin besar dan akan merugikan petani kelapa sawit," ujarnya.

Menurutnya, standar dan aturan yang dibuat IPOP jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia.

"Terjadi perbedaan persepsi yang mendasar terkait dengan standar atau kriteria IPOP dengan peraturan yang berlaku di Indonesia," katanya.

Mantan Dirjen Perkebunan itu mencontohkan, IPOP melarang penampungan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dari kebun sawit hasil konversi hutan ataupun dari lahan gambut.

"Tapi tidak mungkin Indonesia mengembangkan sawit tanpa mengkonversi hutan, karena hutan konversi legal untuk ditanami komoditi non hutan termasuk sawit," katanya.

Selain itu, kelapa sawit dari lahan gambut diperbolehkan aturan di Indonesia jika batas ketebalannya tiga meter sementara di IPOP hal itu dilarang.

Sementara itu kriteria dan persyaratan di dalam IPOP terkait nol deforestasi, perlindungan lahan gambut, dan perlindungan wilayah High Carbon Stocks (HCS) dinilai kontraproduktif dengan upaya pemerataan pembangunan ekonomi nasional.

Pewarta: Subagyo
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016