Iya dibahas (soal SVLK), itu diangkat oleh pihak Uni Eropa, dan bagaimana kita bisa memastikan bahwa ekspor kayu dan produk kayu berkelanjutan itu benar-benar sertifikasi yang kredibel, dan bahwa kayu itu bukan dari sumber yang ilegal,"
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyatakan, salah satu poin yang dibicarakan pada perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) terkait dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

"Iya dibahas (soal SVLK), itu diangkat oleh pihak Uni Eropa, dan bagaimana kita bisa memastikan bahwa ekspor kayu dan produk kayu berkelanjutan itu benar-benar sertifikasi yang kredibel, dan bahwa kayu itu bukan dari sumber yang ilegal," kata Thomas, saat ditemui di Jakarta, Jumat.

Thomas mengatakan, pihaknya telah melakukan perundingan IUE-CEPA lebih lanjut dengan pihak Uni Eropa dalam kunjungan kerja bersama dengan Menteri Perindustrian Saleh Husin ke Brussel, pada 4-5 April 2016 lalu dan juga melakukan pertemuan dengan Komisioner Perdagangan Komisi Eropa Cecilia M.

Saat ini, Kementerian Perdagangan tidak lagi mewajibkan penyertaan Dokumen V-Legal untuk ekspor produk industri kehutanan, namun harus disertai dokumen yang dapat membuktikan bahwa bahan baku dari produk tersebut berasal dari penyedia bahan baku yang memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).

Ekspor produk industri kehutanan yang termasuk dalam kelompok B tanpa dilengkapi dengan Dokumen V-Legal, akan tetapi harus disertai dengan dokumen yang membuktikan bahwa bahan bakunya berasal dari penyedia yang memiliki S-LK. Produk industri kehutanan kelompok B tersebut terdiri dari 15 Nomor Pos Tarif (HS).

Thomas menambahkan, beberapa poin yang dibicarakan dalam perundingan tersebut, selain masalah penerapan SVLK, antara lain adalah terkait dengan tarif, cakupan tarif, standard higienis produk ekspor Indonesia ke Uni Eropa, hingga mencakup perlindungan investasi.

"Berbagai hal yang dibicarakan, seperti tarif sampai perlindungan investasi dan investor. Namun itu masih dalam tahap diskusi, belum tahap penyelesaian," kata Thomas.

Menurut Thomas, dalam perundingan tersebut sudah ada mengalami kemajuan yang cukup baik, namun, hasil-hasil dari pertemuan tersebut masih akan dibawa ke tingkat Rapat Koordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk dilakukan pembicaraan lebih mendalam.

"Kita masih harus mendiskusikan lagi, saya harus bawa ke Rakor Menko untuk dibicarakan dengan semua kementerian terkait," ujar Thomas yang kerap disapa Tom tersebut.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) pada lima tahun terakhir yakni 2011-2015 menunjukkan total nilai perdagangan Indonesia-Uni Eropa turun sekitar 5,4 persen per tahun.

Hal itu berdampak pada penurunan surplus neraca perdagangan bagi Indonesia sebesar 14,5 persen per tahun pada periode waktu yang sama. Sementara itu, pada 2015, nilai surplus neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa hanya mencapai 3,5 miliar dolar AS atau turun 16,7 persen dibandingkan nilai tahun sebelumnya yang mencapai 4,2 miliar dolar AS

Terlebih, ekspor Indonesia ke Uni Eropa masih didominasi produk primer pertanian seperti minyak kelapa sawit, karet alam, dan kopra. Sebaliknya produk impor Indonesia dari Uni Eropa didominasi produk-produk industri seperti permesinan, peralatan telekomunikasi, suku cadang pesawat terbang, dan obat-obatan.

Dari sisi penanaman modal asing, nilai realisasi investasi Uni Eropa di Indonesia juga cenderung menurun. Pada 2014, nilai investasi Uni Eropa di Indonesia mencapai 3,8 miliar dolar AS, dan turun menjadi 2,3 miliar dolar AS pada 2015. Investasi Uni Eropa hanya menempati peringkat ke-4 terbesar bagi Indonesia.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016