Jangan harap dapat masuk ke dalam rekonsiliasi jika masih ada dendam masa lalu,"
Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Lemhannas Agus Widjojo mengatakan rekonsiliasi pelaku dan korban tragedi 1965 dapat direalisasi jika semua yang terlibat dapat berdamai dengan diri sendiri.

"Jangan harap dapat masuk ke dalam rekonsiliasi jika masih ada dendam masa lalu," kata Agus yang juga Panitia Pengarah Simposium Nasional Tragedi 1965 di Jakarta, Selasa.

Dia juga mengajak agar semua orang meninggalkan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan negara, dan mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi pada sebelum dan pasca 1965.

"Mari kita ungkapkan kebenaran sebagai ingatan kolektif, kita satukan kebenaran itu yang tadinya banyak dapat menjadi satu," kata dia.

Agus mengakui bahwa dalam menggelar simposium tersebut mendapat pro dan kontra, sampai-sampai dia dituduh PKI. Tragedi 1965 ini haru dilihat secara komprehensif dari dua sisi.

"PKI adalah partai yang frontal dan arogan, baik dalam pemberontakan 1928 terhadap Belanda, pemberontakan 1948 di Madiun, hingga pemaksaan kebijakan seperti angkatan kelima atau tanah milik rakyat, maka di satu sisi lain pun ada arogansi yang juga diperlihatkan pemerintah saat itu," kata dia.

Dia mengatakan saat itu ada arogansi dari sebuah lembaga tapi sebaliknya ada arogansi dari pemerintah. Dan saat itu Indonesia belum demokrasi sehingga belum punya instrumen untuk mengatasi perbedaan politik seperti itu.

Agus menjadi salah satu korban tragedi tersebut. Ayahnya, Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomiharjo menjadi salah satu dari tujuh jenderal TNI yang terbunuh saat itu dan dinobatkan sebagai pahlawan revolusi.

Namun dia mengatakan telah berdamai dengan masa lalu.

"Ayah saya dibunuh di Lubang Buaya oleh entah siapa. Tapi itu politik. Dalam hati kecil saya memang sulit bisa memaafkan tapi saya mengikhlaskan kalau itu sudah terjadi. Saya ingin tahu siapa yang membunuh. Tapi apakah saya harus berkutat di masa lalu? Generasi kita terus berjalan. Saya ingin meletakkan kepentingan pribadi saya untuk bangsa ini," kata dia.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016