Perairan Raja Ampat sedang teduh pada pertengahan April. Ombak dan arusnya jinak saat Kapal Motor Pin Yuwen yang membawa 14 jurnalis dari negara-negara ASEAN mengarunginya.

Beberapa pewarta, yang sedang mengikuti Journalist Visit Program dari Kementerian Luar Negeri, memberanikan diri duduk di haluan kapal selama perjalanan, menikmati pemandangan gugusan pulau karang dan beningnya perairan di kepulauan yang berada di ujung kepala burung Pulau Papua itu.

"Saya kira Raja Ampat hanyalah tempat yang hanya memiliki pantai-pantai yang indah, ternyata berwisata ke sini penuh dengan petualangan," kata Idayu Suparto, jurnalis dari Singapura.

Untuk mencapai kepulauan Wayag, Idayu dan peserta yang lain harus menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam menggunakan kapal feri untuk menyeberang dari Sorong menuju Waisai di Pulau Waigeo.

Dari ibu kota Kabupaten Raja Ampat itu, mereka masih harus naik kapal kurang lebih empat jam untuk sampai ke Wayag.

Dan sesampainya di Wayag, mereka harus memanjat bukit karang terjal selama kurang lebih 30 menit untuk mencapai puncak agar dapat melihat panorama gugusan Pulau Wayag yang mulai tersohor itu.

Langit biru, pulau-pulau karang, ikan marlin bersirip merah, ikan terbang yang berselancar di permukaan air, dan bahkan sekelompok lumba-lumba menemani perjalanan mereka menuju Wayag.

Dari bukit karang di pulau itu, mereka bisa memandangi seluruh Raja Ampat.

"Dari atas, saya melihat surga. Ini merupakan pemandangan terindah yang pernah saya lihat," kata Sopheak Khuon, jurnalis asal Kamboja.


Upaya Konservasi

Permata Raja Ampat bukan semata Wayag yang ikonik dan fotogenik, yang menghiasi kalender-kalender dan halaman depan kampanye pariwisata Indonesia,namun juga masyarakatnya yang berupaya menjadi garda terdepan penjaga kelestarian surga bahari di Indonesia Timur itu.

Beberapa tahun lalu, penangkapan ikan secara berlebihan dan penggunaan bom ikan pernah menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan ekosistem laut di Raja Ampat.

Perusakan dan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya laut Raja Ampat telah mengundang kepedulian para pemerhati lingkungan dunia seperti Shawn Heinrich untuk datang ke sana.

"Ketika saya melihat para nelayan mencabik sirip ikan hiu dan melemparkan kembali tubuhnya ke laut hidup-hidup, itu adalah suatu penghinaan bagi tempat yang sangat istimewa ini," kata Shawn Heinrich yang ditemui beberapa waktu lalu di Jakarta.

Sutradara film dokumenter peraih penghargaan Emmy itu bercerita bahwa dia sedang mencari tempat terakhir di bumi yang masih asri dan utuh hingga dia tiba di Raja Ampat pada 2006.

Dia pun kemudian jatuh cinta dengan alam dan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi itu dan sadar bahwa tempat istimewa tersebut berada di bawah ancaman serius dan harus dilindungi.

Dengan menggandeng lembaga nirlaba Conservation International (CI), USAID dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Heinrich kemudian mendokumentasikan upaya-upaya konservasi yang dilakukan untuk menjaga Raja Ampat dari kerusakan lewat filmnya yang berjudul Guardians of Raja Ampat.

Kisah sukses masyarakat Raja Ampat yang menjadi inspirasi film itu antara lain berkenaan dengan penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL), yang meliputi wilayah 3,6 juta hektare pada 2006 serta wilayah suaka bagi hiu dan manta pada 2010.

Masyarakat sekarang dilarang untuk memburu ikan hiu, pari, dugong dan penyu di kawasan Raja Ampat.

Para nelayan juga tidak boleh memancing di wilayah yang ditetapkan sebagai bank ikan, yang merupakan tempat ikan berkembang biak.

"Supaya ikan bertambah banyak karena dia suplai ikan-ikan besar dan kecil. Mereka keluar dari situ," kata Nomensen Mambraku, nelayan setempat, soal bank ikan.

Saat para jurnalis mengunjungi kepulauan itu, tidak ada kapal-kapal nelayan besar yang terlihat berlalu lalang di perairan Raja Ampat.

"Memancing dengan menggunakan pukat dilarang, ya sudah masyarakat hanya boleh mengambil ikan dengan alat pancing sederhana di atas sampan," kata Thias Taborak, petugas Dinas Perikanan setempat.


Kearifan Sasi.

Masyarakat adat di Raja Ampat juga menerapkan suatu aturan tak tertulis yang melarang penangkapan hewan laut pada waktu tertentu.

Tradisi turun temurun yang disebut Sasi itu diwariskan leluhur mereka untuk menjaga keseimbangan kehidupan hewan laut dari eksploitasi yang berlebihan.

"Bisa tiga bulan, enam bulan bahkan hingga satu tahun. Setelah itu, nelayan boleh memancing lagi," kata Tahir, warga Pulau Misool, tentang tradisi Sasi Laut yang sejatinya memberi waktu kepada biota laut untuk berkembang biak.

Selain Sasi Laut, ada juga tradisi Sasi Darat, yang ketika diberlakukan masyarakat tidak boleh menebang pohon atau mengambil buah dari hutan untuk dikonsumsi.

"Masyarakat boleh ambil kayu di hutan, tapi untuk dipakai sendiri, tidak boleh menjual kayunya ke luar Raja Ampat," kata Tahir.

Kearifan itu membuat hutan di pulau-pulau Raja Ampat sampai sekarang tetap hijau dan rimbun, menjadi suaka bagi berbagai macam burung termasuk cendrawasih, murai batu, bangau, dan elang.
   

Kekayaan Bahari
 
Kabupaten Raja Ampat, yang luasnya kurang lebih 46.000 kilometer persegi, sekitar 87 persen dari wilayahnya adalah laut.

Conservation International yang sejak 2004 bekerja di sana mendapati bahwa perairan Raja Ampat menjadi rumah bagi sekitar 75 persen spesies karang dunia.

Karang-karang itu menyediakan makanan, mata pencaharian, dan tempat berlindung dari badai tropis kepada sekitar 65.000 penduduk yang bermukim di 121 kampung di 37 pulaunya.

Selain menjadi rumah bagi sedikitnya 1.427 jenis ikan karang, perairan Raja Ampat juga menjadi tempat hidup ratusan jenis moluska, puluhan spesies hiu, paus dan lumba-lumba, penyu dan pari manta.

Ada dua jenis spesies hiu endemik yang hanya bisa di jumpai di Raja Ampat. Warga setempat menyebutnya Wabbegong dan Kalabia, atau hiu berjalan. Disebut hiu berjalan karena dia menggunakan siripnya untuk berjalan di atas pasir atau karang.

Selain itu, Raja Ampat punya banyak tempat penyelaman. Tidak sedikit penyelam mencanegara yang menyebut perairan Raja Ampat sebagai surga penyelaman di dunia.
    
Di Raja Ampat tengah saja sedikitnya ada 20an tempat penyelaman yang menunggu untuk dijelajahi, belum lagi yang ada di sebelah utara dan selatan di Pulau Misool.

"Ketika menyelam, kemudian lihat ke atas yang terlihat bukan permukaan air tetapi ribuan ikan. Gerombolan ikan barakuda, tenggiri, atau tongkol memutar seperti topan badai," kata Thias tentang Blue Magic, yang disebut sebagai salah satu tempat penyelaman terbaik di Raja Ampat.

Selain itu masih banyak keindahan yang menunggu untuk ditemukan di Raja Ampat, yang memiliki setidaknya 1.846 pulau. 

Jika setiap satu hari digunakan untuk mengunjungi satu pulau, maka dibutuhkan setidaknya lima tahun untuk menjelajahi semua pulau di Raja Ampat.

"Banyak kekayaan yang dimiliki oleh Raja Ampat. Tapi seperti Bapak Bupati bilang, baiknya dibuka sedikit demi sedikit," kata Asisten III Sekretaris Daerah Kabupaten Raja Ampat Semuel Belseran.

Pada 9 Mei nanti, masyarakat Raja Ampat akan merayakan hari jadi kabupaten di Pantai Waisai Torang Cinta. Mereka akan berpesta, merayakan kehidupan dan mensyukuri anugerah Sang Pencipta di bumi Papua.



Oleh Aditya E.S. Wicaksono
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016