Damaskus (ANTARA News) - Unjuk rasa sejumlah pemuda di wilayah Daraa pada 15 Maret 2011 yang menuntut reformasi dan turunnya pemerintah pimpinan Bassar al-Assad, menjadi awal konflik yang hingga kini berlangsung di  Suriah.

Pemberontakan bersenjata memaksa penduduk mengungsi ke pinggiran kota Damaskus Suriah yang dijaga tentara pemerintah.

Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Dubes LBBP) Republik Indonesia untuk Suriah, Djoko Harjanto, mengatakan pertumpahan darah yang terjadi di Suriah bukan konflik Sunni-Syiah.

"Masyarakat Suriah saling menghormati satu sama lain. Pemeluk Kristen Ortodoks, Alawites, Sunni, Syiah, Druze dan lainnya aman di sana untuk menjalankan ritual keagamaan masing-masing," ujar dia.

Dia mengemukakan mungkin saja ada negara lain yang berkepentingan untuk memperjuangkan Sunni maupun Syiah di Suriah.

Djoko mengemukakan konflik itu adalah kerja dari konspirasi ingin melemahkan Suriah yang mengancam keberadaan Israel.

Bukti keterlibatan Israel dalam konflik tersebut pemberontak yang tertembak dirawat di rumah sakit Israel.

Israel ingin menjadikan Suriah menjadi wilayah negara bagian atau federal. Negara tersebut ingin menciptakan kondisi Suriah yang tidak stabil sehingga memberikan keuntungan yang besar kepada negara Yahudi itu.

"Pada akhirnya, Suriah tidak menuntut lagi dataran tinggi Golan yang masih menjadi sengketa," ujar Djoko.

"Media barat mendengung-dengungkan konflik Syiah-Sunni di Suriah. Presiden Suriah Bashar al-Assad dituduh Syiah sehingga itu menjadi pembenaran untuk menyerang dan menggulingkannya," ujar Djoko.

Padahal, pada acara Maulid Nabi Bashar al-Assad salat bersedekap yang menandakan bahwa itu bukan Syiah.

Sholat tersebut dipimpin oleh Mufti Syekh Adnan al-Fayouni yang sering kali datang ke Indonesia untuk memenuhi undangan.

Djoko mengungkapkan pemerintah Assad solid didukung oleh rakyatnya dan mencintai rakyatnya. Sehingga, ia tidak mungkin membunuh rakyatnya sendiri.

"Kalaupun ada rakyatnya yang meninggal itu konsekuensi perang yang berlangsung antara pemberontak dengan pemerintah," ujar dia.

Dia mengemukakan beberapa kelompok yang memerangi pemerintah Suriah adalah ISIS, Koalisi Jaisy Al-Fatah, Aliansi Front Selatan, dan Front Nusra.

ISIS dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi dengan mempunyai pasukan berjumlah sekitar 70 ribu termasuk 20 ribu pejuang asing dari 80 negara.

Koalisi Jaisy Al-Fatah dipimpin oleh Front Nusra. Kelompok ini merupakan gabungan oposisi yang terdiri dari JN Ahrar Al-Asham, Liwa Syuqur, Jaish al Islam dengan pasukan berjumlah 30 ribu orang.

Aliansi Front Selatan dipimpin oleh Front Nusra. Pasukannya berasal dari FSA front selatan dan Front Nusra.

Front Nusra dipimpin oleh Abu Muhammad al-Julani dengan ideologi Salafi/Wahhabi Jihadis. Kelompok bersenjata ini mempunyai pasukan sebanyak 8.000 sampai dengan 10.000 orang.

Pemerintah Suriah menguasai ibukota Damaskus, Provinsi Homs, pegunungan Qalamun, Provinsi Hama, Provinsi Tartous, Provinsi Lattakia, Aleppo center, Sweida dan wilayah perbatasan barat dan utara kecuali Harem dan Salqin.

ISIS menguasai wilayah utara perbatasan Aleppo dengan Turki (Jarablus,), sebagian besar propinsi Raqqa, wilayah timur Suriah (Al-Sukna, perbatasan dengan Irak, Tanf , Mayadeen, Abu Kamal).

Koalisi Jaisy al-Fatah yang didukung Qatar, Turki dan Arab Saudi (yang didominasi Jabhat Al-Nushra) menguasai sebagian besar provinsi Idlib termasuk Jisr Shogur, Saraqib, Maaraat Numan dan Ariha.

Aliansi Front Selatan kelompok bersenjata termasuk JAN yang didukung Yordania, Qatar, Arab Saudi, Turki menguasai wilayah selatan Suriah (perbatasan Yordania, Naseeb, Bushra Sham, mayoritas markas brigade 52 dan perbatasan dengan Israel, Quneitra).

Duta Besar menegaskan keberadaan perwakilan Republik Indonesia di Suriah tidak berarti memihak kepada Presiden Bashar al-Assad.

"Pemerintah Indonesia menugaskan saya di Suriah untuk melindungi Tenaga Kerja Indonesia. Jika saya tidak bekerjasama dengan pemerintah setempat bagaimana bisa saya melindungi TKI tersebut. Siapapun yang berkuasa maka akan kita dukung," ujar Djoko.

Ketua Mujamma (Yayasan) Syeikh Ahmad Kuftaro, Dr. Muhammad Syarif Sawwaf, mengatakan Suriah sejak dulu tempatnya berbagai aliran agama seperti Kristen, Islam, dan lain-lain.

"Semua sekte dalam Islam dan Kristen ada banyak di Suriah, begitupun sekte yang lainnya ada di sini. Walaupun banyak keanekaragam sekte agama sejak 1400 tahun yang lalu, kerukunan umat beragama tetap terjaga," ujar dia.

Hal tersebut untuk kemaslahatan dan kepentingan rakyat Suriah.

"Daerah Syam menjadi tempat pergumulan oleh banyak pihak yang ingin menghancurkan Islam. Perseteruan yang terjadi menggunakan baju masing-masing untuk kepentingan mereka. Mereka mengatasnamakan agama untuk memecah belah kawasan ini," ujar Sawwaf.

Ia mengatakan sebelum konflik terjadi, banyak media barat yang mengangkat konflik sektarian di Suriah. Padahal tidak ada konflik sekterian di sini.

"Mereka (media barat) membuat hasutan -hasutan atau fitnah dengan membuat propaganda dan memobilisasi perselisihan sektarian itu. Buktinya ada wilayah yang dihuni berbagai aliran sektarian hidup rukun dan harmonis," kata Sawwaf.

Sawwaf mengungkapkan Iran maupun Rusia teman dekat Suriah sebelum konflik ini terjadi.

"Suriah dan Iran punya pandangan sama yaitu anti penjajahan Israel. kedua negara itu dukung negara yang anti penjajahan Israel. Pemerintah Rusia mendukung Suriah bukan karena dia membela salah satu kelompok agama tertentu di sini," ujar dia.

Mufti Damaskus, Syekh Adnan Al-Afyuni mengatakan perang di Suriah bukan timbul karena perang saudara dan revolusi.

Konflik ini terjadi karena merupakan bagian dari rencana Timur Tengah Raya.

Timur Tengah Raya bertujuan untuk memaksakan demokrasi dan pasar bebas selaras dengan kepentingan Israel maupun sekutunya.

"Apa yang anda saksikan perang di Suriah bukan timbul karena perang saudara dan revolusi. Sebelum konflik, Suriah tempat yang aman dan stabil. Apa yang terjadi merupakan rencana besar yaitu Timur Tengah Raya seperti dikatakan oleh Hillary Clinton," ujar dia.

Ia mengatakan menteri agama tidak mengatur isi dakwah yang akan disampaikan oleh ulama.

Ulama mempunyai kebebasan untuk menentukan materi dakwah yang disesuaikan oleh kondisi masyarakat.

"Jadi mereka tidak didikte oleh pemerintah dalam berdakwah, begitupun kurikulum sekolah keagamaan tidak ditentukan oleh pemerintah. Bahkan di Uni Emirat Arab, mereka mengatur isi dakwah yang akan disampaikan pada salat Jumat. Setiap khatib di suriah bebas untuk menyampaikan isi dakwahnya," ujar dia.

Bahkan, lanjutnya, pemerintah Suriah sangat menghormati para ulama karena mereka menyampaikan ajaran Islam secara benar.

"Kalau ada seorang ulama menyampaikan kepentingan politik atau pun kepentingan pribadi maka akan diawasi oleh pemerintah. Jadi sebelum krisis tidak ada khatib yang mengajarkan paham salafi yang diajarkan secara umum di masjid yaitu Islam moderat. Warga suriah tidak mudah menerima hasutan untuk ikut ISIS karena mereka mengetahui agama secara mendalam," kata dia.

Kalau pun ada ulama yang mengajak kekerasan di wilayah yang bukan dikuasai pemerintah, ujar Afyuni, ulama tersebut berasal dari luar negara Suriah.

"Ulama tersebut bukan berasal dari Suriah," ujar dia.

Salah satu pelajar Indonesia, Mahruz, mengatakan mulai tahun 2003 sampai saat ini tidak terjadi konflik sektarian antar masyarakat Suriah.

"Malah yang terjadi di sini adalah keharmonisan antar aliran agama. Antar pemuka beragama malah sering mengundang pemuka agama lain dalam acara keagamaan. Bahkan saat ada tokoh agama yang meninggal pihak gereja membunyikan lonceng sebagai tanda penghormatan," kata dia.

Sementara itu, Warga Negara Suriah Hasan mengatakan tidak ada konflik sektarian di Suriah.

Warga Suriah yang beragama Kristen, Alawite, Islam, dan lain-lain dapat menjalankan ritual keagamaannya masing-masing dengan aman.

"Saya berkeyakinan setengah Alawite dan Sunni. Sebelum krisis mereka yang berkeyakinan setengah tersebut dapat menjalankan ritual keagamaan secara aman dan tidak menimbulkan masalah besar. Namun sesudah krisis, mereka yang berkeyakinan setengah tersebut malah dicurigai oleh kelompok teroris," kata dia.

Sebelum konflik terjadi, lanjutnya, masyarakat Suriah dapat hidup dengan bersama seperti keluarga.

Ia mengungkapkan perang ini berdampak ke seluruh kalangan masyarakat dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial.

"Konflik ini membuat luka mendalam di hati saya karena adik ipar saya yang menjadi tentara tertembak saat perang berlangsung. Krisis ini membuat perekonomian terpuruk," ujar dia.

Oleh Azis Kurmala
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016