Jakarta (ANTARA News) - Selama enam bulan terakhir, setidaknya terjadi lima kali kerusuhan di lembaga pemasyarakatan (lapas) di sejumlah daerah. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam lapas?

Kerusuhan yang diwarnai kebakaran dan pembakaran terjadi di Lapas Lambaro, Aceh Besar pada 6 November 2015; Lapas Denpasar di Kerobokan, Bali (17 Desember 2015) yang menyebabkan dua orang meninggal dunia; Lapas Curup, Bengkulu (15 April 2016); Lapas Denpasar di Kerobokan, Bali (21 April 2016) dan paling anyar Lapas Banceuy, Bandung (23 April 2016) yang membakar bangunan lapas dan menyebabkan kerugian hingga Rp6 miliar.

Per 25 April 2016 terdapat 187.749 orang warga binaan di seluruh lapas, 40 persen dari jumlah tersebut yaitu 81.360 orang berasal dari kasus narkotika, selanjutnya pencurian (29.552 orang) dan perlindungan anak (17.827 orang).

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengemukakan narkoba andalah bahaya yang paling besar.

"Narkoba tidak hanya bisa diselesaikan dengan salah satu kelompok saja. Pertama petugas harus bersih, menjaga agar narkoba tidak masuk ke lapas, bandar-bandar harus diawasi dengan baik di dalam," ungkap Yasonna.

Namun menurut Yasonna, kemampuan anggaran rehabilitasi pemerintah hanya untuk 5.000 orang sehingga pihaknya pun perlu bekerja sama denggan Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan untuk mencari terobosan membantu para pengguna narkoba tersebut.

Selanjutnya juga dilakukan inspeksi mendadak (sidak) bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri bahkan mengundang TNI.

Yasonna berjanji bahwa Kemenkumham dalam 6 bulan ke depan akan melakukan perbaikan sistematis khususnya untuk mengurangi peredaran narkoba di lapas termasuk dengan peningkatan jenjang pendidikan Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) menjadi Politeknik Pemasyarakatan sehingga bukan hanya memiliki Program DIII tapi juga program DIV.

Di sisi lain, Studi Awal Penerapan Konsep Pemasyarakatan yang dilakukan oleh tim peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI), Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia dan LBH Jakarta pada 2008 menunjukkan, sejumlah kelemahan rekrumen dan manajemen petugas lapas.

Dalam laporan yang berjudul "Menunggu Perubahan Dari Balik Jeruji" tersebut disebutkan bahwa umumnya pegawai yang bekerja di lapas saat melamar pertama kali harapannya adalah menjadi pegawai Kemenkumham.

Tidak terbayang di benak mereka akan ditempatkan di lapas sehingga sejak awal motivasi pelamar memang sudah berbeda ketika ditempatkan menjadi pegawai lapas. Semangat kerja menurun dan sebagian besar tidak bersemangat untuk bekerja sangat mempengaruhi aktivitas organisasi secara keseluruhan. Selain motivasi, masalah kemampuan, keahlian dan pengetahuan harus diperhitungkan juga pada proses rekrutmen pegawai lapas.

Kelemahan ini diakibatkan oleh sistem rekrutmen yang semuanya dipusatkan di Sekretariat Jenderal Kemenekumham sehingga standar yang digunakan adalah standar Kementerian, bukan standar masing-masing Direktorat Jenderal.

Terjadi disparitas antara lulusan AKIP yang punya pengusaan dan pemahaman yang cukup baik dalam mengimplementasikan tujuan pemasyarakatan dengan petugas yang bukan lulusan AKIP.

Hal negatif dari penggunaan lulusan AKIP adalah diabaikannya mereka yang lulusan S1, S2 dan S3 tapi bukan alumni AKIP, akibatnya tenaga potensial tidak berkembang ketika ditempatkan di lapas.

Banyaknya pegawai yang tidak mengikuti pendidikan teknis pemasyarakatan sejak awal bertugas pada akhirnya menghasilkan pegawai yang tidak paham konsep dan tujuan pemasyarakatan sehingga memunculkan persekongkolan antara pegawai dan narapidana.

Tunjangan pegawai lapas secara umum masih dirasakan kurang. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 72 Tahun 2007 tentang Tunjangan Petugas Pemasyarakatan tunjangan pegawai lapas golongan I adalah Rp220 ribu, golongan II adalah Rp240 ribu, golongan III adalah Rp265 ribu dan golongan IV adalah Rp300 ribu.

Tunjangan itu masih ditambah dengan tunjangan penyelenggaraan pemasyarakatan menurut tingkat risiko bahaya keselamatan dan kesehatan pegawai lapas berdasarkan Perpres No 80 tahun 2006 yaitu tingkat IV sebesar Rp200 ribu, tingkat III sebesar Rp350 ribu, tingkat II sebesar Rp450 ribu dan tingkat I Rp600 ribu. Namun jumlah itu tentu masih tidak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi petugas lapas setiap harinya.

Masalah Kelebihan Kapasitas
Berdasarkan data Ditjen PAS per 4 Mei 2016, di 27 kantor wilayah (kanwil) Ditjen PAS terjadi kelebihan kapasitas sehingga hanya 6 kanwil yang masih memenuhi standar. Namun di dalam 6 kanwil tersebut juga ada sejumlah lapas maupun rutan yang kelebihan kapasitas.

Kekerasan di lapas sangat mungkin mengingat jumlah hunian yang melebihi kapasitas. Selain itu karena latar belakang warga binaan yang beragam dan sering terjadi pertengkaran yang melibatkan kelompok dalam jumlah besar. Kekerasan juga terjadi karena perlakukan diskriminatif terhadap warga binaan.

Karena itu dalam menjaga keamanan, petugas keamanan bekerja sama dengan ketua kelompok di lapas. Ketua kelompoklah yang akan "dipegang" untuk mengamankan kelompok yang dipimpinnya.

Sedangkan terkait narkoba, idealnya lapas narkotika berdiri sendiri dengan pola pembinaan berbeda dengan lapas umum. Banyak dampak negatif jika narapidana narkotika becampur dengan narapidana umum karena di lapas umum pendekatan yang dilakukan adalah keamanan dan pembinaan, sedangkan di lapas khusus narkotika, selain pembinaan dan keamanan ada juga perawatan kesehatan dan rehabilitas (khusus pemakai).

Lapas khusus narkotika saat ini masih kurang jumlahnya dibanding dengan jumlah warga binaan. Di seluruh Indonesia lapas khusus narkotika hanya 13 tempat yaitu lapas khusus narkotika Pematang Siantar, Lubuk Linggau, Cipinang Jakarta, Bandar Lampung, Soekarno-Hatta Bandung, Besi Nusa Kambangan, Madiun, Pamekasan, Krobokan-Bali, Maros, Abepura, Cirebon dan Martapura.

Tapi dari 13 lapas khusus tersebut, yang berfungsi secara utuh baru empat tempat yaitu Cipinang, Bandar Lampung, Besi dan Cirebon.

Menurut Direktur Jenderal (Dirjen Pas) I Wayan Dusak penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bahkan memperparah kepadatan lapas.

Penyebabnya, PP tersebut memperketat aturan untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan HAM berat serta kejahatan transnasional yaitu untuk membongkar kejahatannya (justice collaborator) dan telah membayar lunas uang pengganti serta denda sesuai dengan perintah pengadilan.

"Makin banyak magma, makin banyak energi di lapas dan bila energi tidak tersalurkan maka dapat meletus. Saya tidak tahu mana yang benar, tapi sistem pemidanaan kita menjadikan semua hal harus dipenjara padahal kan tidak, misalnya dengan dipernjara restorative justice (penyelesaian masalah pidana di luar pengadilan), pidana sosial atau rehabilitas bagi para pecandu narkoba," ungkap Dusak.

Terkait sejumlah masalah tersebut, perlu ada perubahan mendasar cetak biru mengenai lapas termasuk dengan mempermudah Pembebasan Bersyarat dan cuti menjelang bebas.

"Saya mau secepatnya, satu setengah bulan ini, untuk merevisi PP No 99 Tahun 2012. Konsep ini dibahas bersama Kapolri, Jaksa Agung, BNN termasuk. Habis itu bawa ke presiden (Joko Widodo) direpresentasikan persoalannya seperti apa," ungkap Yasonna.

Lebih lanjut, perlu ada perubahan mendasar mengenai criminal justice system (Sistem Peradilan Pidana) yang tidak hanya bertujuan memenjarakan seorang pelaku pidana.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016