Jakarta (ANTARA News) - Perwakilan 9 dari 10 fraksi di Komisi III DPR yang mengurus Hukum, HAM dan Keamanan mencecar lima orang pimpinan KPK dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP).

"Untuk kasus Sumber Waras, KPK mengatakan tidak terlalu memerlukan audit BPK, saya tidak percaya itu. Menurut berita, audit BPK bukan satu-satunya padahal selama ini KPK mengandalkan BPK dan BPKP, tolong disampaikan dalam raker sejauh mana hasil lidik terhadap kasus ini?," kata anggota Komisi III dari fraksi PDI-Perjuangan Junimart Girsang di gedung DPR Jakarta, Selasa.

Hari ini Komisi III bertemu dengan lima orang pimpinan KPK Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Laode M Syarif, Saut Situmorang dan Alexander Marwata untuk membahas anggaran KPK dan sejumlah perkembangan kasus yang diusut KPK termasuk penyelidikan pembelian lahan RS Sumber Waras seluas 3,64 hektar.

"Apakah KPK dan BPK sudah melakukan pertemuan dengan BPK terkait ini? Di mana kesulitan penyidik untuk menemukan dua alat bukti itu? KPK terkesan pasang badan untuk Sumber Waras," kata anggota Komisi III dari fraksi PKS Nasir Djamil.

Bahkan anggota dari fraksi PPP Arsul Sani membeberkan mengenai hasil kajian panitia kerja Sumber Waras dalam RDP tersebut.

"Terkait dengan kajian pengadaan tanah dalam kasus Sumber Waras kami melihat kajian yang seharusnya menurut peraturan perundangan tadi harusnya dibuat sebelum peraturan daerah (perda) APBD disetujui, tapi dari penjelasan dan keterangan yang kami dapatkan, kajianya dibuat setelah perda APBD disetujui," kata Arsul.

"Kesimpulan kedua adalah Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) tahun 2014 baru ditandatangani anggota DPRD dan pelaksana tugas (plt) Gubernur DKI Jakarta setelah raperda pada 13 Agustus 2014 padahal tanda tangan tertanggal 14 Juli 2014," tambah Asrul.

Butir ketiga adalah Surat Keputusan pembentukan tim pembelian tanah memang ditetapkan pada 8 Agustus 2014 tapi Asrul menjelaskan keterangan yang masuk ke panja SK itu baru ditandatangi pada 30 Desember 2014.

"Ini menyisakan pertanyaan apakah dokumen tersebut hanya untuk formalitas," ungkap Asrul.

Kesimpulan keempat adalah terkait keharusan adanya konsultasi publik yang dalam surat disebut tertanggal 8 Desember 2014 ternyata baru ada konsultasi publik pada 15 Desember 2014.

"Kesimpulan kelima adalah SK Penetapan Lokasi oleh gubernur Jakarta ditetapkan pada 19 Desember 2014 atau 2 hari setelah penerbitan akta pelepasan hak pada 17 Desember 2014 sehingga kami di komisi III sementara ini melihat bahwa dari enam tahapan yaitu pengadaan tanah untuk pembangunan, perencanaan, pengaggaran, penyusunan tim pembelian tanah, penentuan lokasi, penentuan harga dan peneyrahan hasil pengadan tanah belum sesuai dengan dengan UU No 2/2012. Maka tentu dalam konteks pengawasan kami ingin menanyakannya," ungkap Arsul.

Sedangkan Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Demokrat Benny K Harman pun mempersoalkan LHP BPK yang ia klaim diminta sendiri oleh KPK kepada BPK.

"Saya pimpinan rombongan ke BPK saat itu, saya tanya ulang ke pimpinan BPK siapa yang minta? Dan dijawab KPK yang minta, apakah suratnya ada? Kami diserahkan suratnya tertanggal 6 Agustus 2015! Saya tanya apakah ada pelanggaran hukum di situ? Disampaikan BPK saat itu pelanggaran hukum sangat sempurna, tidak hanya lisan tapi juga tulisan lengkap dengan aturan yang dilanggar kecuali BPK pembohong," ungkap Benny.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa KPK akan menjelaskan status Sumber Waras pada Rabu (15/6).

"Masing-masing pihak boleh berpendapat, sepanjang semua dilandasi fakta-fakta, mungkin beliau berpendapat seperti itu karena itu fakta yang diterima KPK besok pendapatnya seperti apa, alat bukti yang didapatnya seperti apa besok baru kita sampaikan," kata Alexander.

Ia pun mengaku ada pelanggaran prosedur atau administratif dalam pembelian lahan tersebut tapi bukan pelanggara pidana.

"Kan ada pelanggaran prosedur, pelanggaran administratif itu kan ada, tapi penyalahgunaan kewenangan harus diuji dulu, di UU 30/2014 kan seperti itu diuji oleh PTUN. Kalau dari awal ada niat jahat, dia memperkaya diri sendiri orang lain itu baru korupsi, tapi kita kaji semuanya," tambah Alexander.

Sebelumnya, kesimpulan sementara KPK terhadap pembelian lahan RS Sumber Waras seluas 3,64 hektar itu berbeda dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan DKI Jakarta 2014, yang menyatakan pembelian tanah itu berindikasi merugikan keuangan daerah hingga Rp191,3 miliar karena harga pembelian pemprov DKI terlalu mahal.

BPK mengacu pada harga pembelian PT Ciputra Karya Utama (CKU) kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) tahun 2013 sebesar Rp564,3 miliar. CKU kemudian membatalkan pembelian lahan itu karena peruntukan tanah tidak bisa diubah untuk kepentingan komersial.

Dalam LHP, antara lain BPK merekomendasikan agar pemprov menagih tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) selama 10 tahun sejak 1994-2014 senilai lebih dari Rp3 miliar.

Selain itu, BPK juga merekomendasikan Basuki agar memberikan sanksi kepada Tim Pembelian Tanah yang dinilai tidak cermat dan tidak teliti memeriksa lokasi tanah berdasarkan Zona Nilai Tanah.

Sampai saat ini laporan korupsi RS Sumber Waras masih dalam tahap penyelidikan dengan memanggil lebih dari 33 orang untuk dilakukan permintaan keterangan.

Ahok menilai bahwa pemprov DKI Jakarta membeli lahan di Jalan Kyai Tapa 1 Grogol Jakarta Barat itu karena Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada 2014 adalah sebesar Rp20,7 juta per meter persegi, sehingga pemprov DKI Jakarta diuntungkan karena pemilik lahan menjual dengan harga NJOP sehingga total harganya Rp755,6 miliar sedangkan pada harga pasar, nilainya lebih tinggi.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016