... pemerintah kan tidak mungkin menganggarkan sesuatu yang tidak pasti padahal di sisi lain, penegak hukum kita dalam melakukan pemberantasan korupsi kan kekurangan dana."
Jakarta (ANTARA News) - KPK mengusulkan agar adanya mekanisme yang mengatur agar harta rampasan dari tindak pidana korupsi dapat digunakan untukprogram penindakan dan pencegahan korupsi.

"Kalau misalnya dana dari hasil korupsi, entah rampasan aset atau denda bisa digunakan untuk pemberantasan korupsi baik penindakan maupun pencegahan akan bisa lebih efektif. Di satu sisi mungkin negara atau alokasi APBN tidak besar-besar karena pemerintah kan tidak mungkin menganggarkan sesuatu yang tidak pasti padahal di sisi lain, penegak hukum kita dalam melakukan pemberantasan korupsi kan kekurangan dana," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RPD) KPK dengan Komisi III DPR di gedung DPR Jakarta, Selasa.

Namun menurut Alex bukan berarti KPK menganggarkan sejumlah nilai tertentu untuk menjadi rampasan dari penindakan korupsi.

"Kita tidak bisa menargetkan tahun ini menangkap 100 koruptor dengan target denda sekian miliar, yang bisa itu kita ingin mengoptimalkan pemanfaatan dana-dana dari koruptor untuk kita kembalikan lagi ke masyarakat. Misalnya juga untuk pembelajaran anti korupsi dalam rangka pencegahan, lalu juga untuk penindakan," ungkap Alex.

Harta rampasan bisanya diperoleh penegak hukum dari jumlah perbuatan korupsi yang dilakukan oleh para pelaku korupsi, namun harta yang dirampas oleh penegak hukum langsung diserahkan ke kas negara dalam hal ini Kementerian Keuangan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) namun penggunannya diserahkan ke Kementerian Keuangan dan bukan kembali ke penegak hukum tersebut

"Mekanismenya kalau zaman dulu itu ada istilahnya swadana. Tetap kita laporkan penerimaan rampasan dan denda sekian. Penerimaan kita sampaikan ke Kemenkeu untuk dicatat tapi uangnya bisa kita gunakan untuk itu tadi. Selama ini semua langsung masuk ke pemerintah. Hasil rampasan dan denda semua langsung kita setor ke Kementerian Keuangan, masalahnya itu tadi ketika pemerintah kekurangan anggaran, anggaran penegak hukum ikut dipotong," jelas Alexander.

Alex pun mencontohkan bila KPK menyita aset koruptor, aset tersebut dapat dilelang dan selanjutnya hasil lelang dilaporkan ke Kementerian Keuangan. Selanjutnya, KPK juga dapat melibatkan masyarakat. "Masyarakat misalnya bisa mengadukan kasus korupsi, kalau aduannya benar dan terbukti, mereka kita kasih insentif. Itu sudah kita usulkan lewat Peraturan Pemerintah karena PP No 70 sebenarnya telah mengatur peran serta masyarakat. Aturan insentif itu ada, cuma kecil sekali, cuma dua permil. Jadi kalau misalnya aduan masyarakat soal adanya kecurangan proyek dan bisa mengembalikan kerugian negara Rp1 miliar, maka dia harusnya hanya dapat Rp2 juta. Itu pun sampai sekarang KPK saja belum pernah memberikan insentif itu. Itu yang kita harapkan kalau ada insentif untuk masyarakat, dia yang akan mengadukan," ungkap Alexander.

Meski sudah menyamapaikan ke Kemenkeu, namun menurut Alex, KPK belum mendapatkan respon dari Kemenkeu.

"Belum ada tanggapan tapi ini menarik, sama dengan narkoba juga bisa seperti ini. Misalnya dari Akil Mochtar saja, yang saya jadi hakimnya, kita sita dari rekening CV Ratu Samagat saja Rp110 miliar kalau tidak salah. Itu belum dari yang lain-lain. Saya tidak tahu pasti denda dan rampasan totalnya sekarang sudah berapa. Itu Akil, dari Anas, dari Nazaruddin juga ada ratusan miliar," jelas Alexander yang sebelumnya berprofesi sebagai hakim ad hoc pengadilan Tipikor itu.

Selain usulan penggunaan harta rampasan, KPK dan Komisi III juga membicarakan mengenai anggaran KPK tahun 2017 yaitu sebesar Rp766,78 miliar atau berkurang sekitar Rp295 miliar dari anggaran tahun 2016 yang mencapai Rp1,061 triliun.

KPK pun meminta tambahan Rp87,7 miliar untuk meningkatkan penanganan kasus tindak pidana korupsi bersama-sama dengan kepolisian dan Kejaksaan Agung agar dapat menangani 200 kasus secara bersama-sama.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016