Menyatakan terdakwa Muhammad Nazaruddin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang...."
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin divonis 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

"Menyatakan terdakwa Muhammad Nazaruddin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebagaimana diatur dalam dakwaan kesatu primer, kedua primer dan dakwaan ketiga. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana selama 6 tahun dan denda Rp1 miliar dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 1 bulan," kata ketua majelis hakim Ibnu Basuki Wibowo dalam sidang pembacaan vonis di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang menuntut agar Nazaruddin divonis 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Vonis tersebut berdasarkan tiga pasal berlapis yaitu pasal 12 huruf b UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP; pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP; dan pasal 3 ayat (1) huruf a, c dan e UU No 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

"Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi dan uang yang dikorupsi oleh terdakwa cukup banyak. Hal yang meringankan terdakwa bersikap sopan, terdakwa telah dijatuhi pidana dalam kasus korupsi sebelumnya, terdakwa mengakui perbuatan, terdakwa memiliki tanggungan keluarga dan terdakwa merupakan justice collaborator," tambah hakim Ibnu.

Selain mendapat hukuman badan, majelis hakim yang terdiri dari Ibnu Basuki Wibowo, Sinung Hermawan, Didik Purnomo, Ugo dan Sofialdi pun menyetujui untuk merampas harta Nazaruddin yang dinilai masuk dalam pencucian uang senilai sekitar Rp600 miliar kecuali sejumlah harta yang menurut hakim diperoleh Nazar sebelum ia menjadi anggota DPR.

"Majelis hakim sependapat dengan jaksa penutut umum (JPU) mengenai barang bukti yang diperoleh dari hasil fee PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya dirampas untuk negara. Kecuali barang bukti yang dalam amar diputuskan untuk dikembalikan kepada terdakwa karena barang bukti itu diperoleh sebelum menjadi anggota DPR dan merupakan hasil usaha sendiri atau dikembalikan kepada pihak ketiga ketiga sehingga tidak timbul persoalan baru," tambah hakim Ibnu.

Dalam dakwaan pertama, Nazaruddin dinilai terbukti menerima hadiah berupa 19 lembar cek yang jumlah seluruhnya Rp23,119 miliar dari PT Duta Graha Indah (PT DGI) dan Rp17,250 miliar dari PT Nindya Karya.

Penerimaan tersebut karena sudah ada kesepakatan Nazar dengan PT DGI untuk mendapatkan fee sebesar 21-22 persen dari nilai kontrak sehingga Nazaruddin mau untuk memperlancar proyek sejak proses penganggaran dan pelelangan dengan cara memberikan "fee" kepada satuan kerja dan panitia pengadaan sehingga PT DGI dan PT Nindya Karya.

Pada dakwaan kedua, Nazaruddin dinilai terbutki melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp627,86 miliar selama periode 2010-2014 yaitu 19 lembar cek dari PT DGI senilai total Rp23,119 miliar; dari PT Nindya Karya Rp17,250 miliar; PT DKI terkait pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring Palembang berupa 5 lembar cek senilai Rp4,575 miliar; dari PT Waskita Karya sejumlah Rp13,250 miliar; dari PT Adhi Karya sejumlah Rp3,762 miliar; dari Odie dan kawan-kawan sejumlah Rp33,158 miliar; dari Alwin sejumlah Rp14,148 miliar dan dari PT Pandu Persada Konsultan sejumlah Rp1,7 miliar sehingga Permai Grup mendapatkan keuntungan sebesar Rp580,39 miliar.

Hasil keuntungan tersebut diputar dengan membeli saham tersebut antara lain pembelian saham PT Garuda Indonesia (persero) Tbk senilai total 298.036.000 lembar berjumlah Rp163,918 miliar; saham PT Bank Mandiri senilai total 7.651.500 lembar berjumlah Rp40,14 miliar; saham PT Krakatau Steel, saham PT Bank Negara Indonesia, serta sukuk yang ditotal sekitar Rp300 miliar.

Sedangkan dakwaan ketiga, Nazaruddin dinilai melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp283,599 miliar selama periode 2009-2010 dengan cara menggunakan rekening atas nama orang lain dan rekening perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dengan saldo akhir seluruhnya sebesar Rp50,205 miliar; dibayarkan atau dibelanjakan untuk pembelian tanah dan bangunan seluruhnya sebesar Rp33,194 miliar; dan tanah berikut bangunan yang dititipkan dengan cara seolah-olah dijual (dialihkan kepemilikannya) senilai Rp200,265 miliar.

Sejumlah harta Nazaruddin yang dikembalikan adalah kebun kelapa sawit seluas 2.500 hektar di kelurahan Pematang Hulu Riau, rekening PT Panahatan senilai Rp1,008 miliar; polis asuransi AXA Mandiri atas nama Neneng Sri Wahyuni; rumah dan bangunan di Pejaten Barat; apartemen Taman Rasuna; properti di perumahan Ultra Palma X perumahan alam Sutera serta 1 jam tangan Philips.

Atas putusan tersebut, Nazaruddin mengaku menerima.

"Saya ikhlas seikhlas-ikhlasnya, saya menerima putusan apapun dari yang mulia. Saya tidak ada niatan untuk banding dan memprotes putusan," kata Nazaruddin.

Sedangkan jaksa penuntut umum KPK mengatakan pikir-pikir atas putusan tersebut.

"Nanti kita pertimbangkan apakah kita banding atau tidak tapi kita yakin atas tuntutan kita. Mengenai barang bukti yang dikembalikan, ada satgas barang bukti karena harga penyitaan di penyidikan dan harga sekarang berbeda kan properti harganya naik ," kata jaksa penuntut umum KPK Kresno Anto Wibowo.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016