Bogor (ANTARA News) - Gubernur Jawa Barat (Jabar), Danny Setiawan, menegaskan kembali komitmennya untuk menghijaukan lahan-lahan kritis di wilayah kerjanya melalui program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane. "Saya sudah tegaskan kepada para Bupati, walikota, dan Camat, untuk bertekad menghijaukan lahan-lahan kritis, agar Jakarta tidak lagi menuding Bopunjur sebagai penyebab banjir. Penghijauan dilakukan melalui program gerakan rehabilitasi lahan kritis (GRLK) terutama di hulu DAS Ciliwung dan Cisadane," katanya, dalam peringatan Hari Air se-Dunia ke-15 tahun 2007 tingkat Provinsi Jawa Barat di tepi Situ Gede Cifor, Bogor, Kamis. Diakuinya, Jabar juga melakukan introspeksi, karena masih ada lahan-lahan yang tidak efektif lantaran sering dirambah, misalnya hutan digunduli dan situ diuruk untuk didirikan bangunan tanpa mempertimbangkan faktor ekologi. Selama ini, menurut dia, masyarakat Jakarta sering menuding kawasan hulu, yakni Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur) sebagai penyebab terjadinya banjir di ibukota negara. "Kalau terjadi banjir di Jakarta, maka Jakarta gencar menuding Bogor sebagai penyebab banjir. Padahal, setiap hari penduduk Jakarta minum air bersih dari Bogor, karena PDAM Jakarta sumber airnya dari Bogor dan Sukabumi, tapi tidak pernah mengucapkan terima kasih," katanya. Danny juga mengingatkan masyarakat untuk mengelola air secara bijaksana dan bertanggung jawab, karena merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup di muka bumi, sehingga air dan sumber-sumbernya harus dilestarikan. "Namun, manusia masih sering lalai dalam memelihara sumber daya air, misalnya melakukan penggundulan hutan, mendirikan bangunan di kawasan terlarang, dan mencemari air permukaan. Akibatnya, terjadi bencana kekeringan, banjir, dan longsor," ujarnya. Ia menilai, kelalaian manusia dalam mengelola air dengan cara merusak lingkungan dan mencemari air, baik air permukaan maupun air bawah tanah juga mengakibatkan datangnya bencana secara silih berganti. "Kalau persoalan air dibiarkan terus-menerus seperti ini tanpa ada upaya untuk memperbaikinya, maka akan memberikan dampak negatif yang lebih dahsyat, bagi kelangsungan hidup manusia," katanya. Zaman dahulu di tanah Sunda, katanya, air tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup, tapi sumber air yang disebut "sirah cai" juga disakralkan. "Di balik kesakralan itu, sebenarnya ada kearifan lokal, yakni air, sumber air dan alirannya terpelihara kelestariannya," katanya. Namun, ia mengemukakan, saat ini nilai-nilai kearifan lokal itu semakin luntur seiring dengan perkembangan zaman dan modernisasi, bahkan pembangunan kawasan yang disebut modern sering merusak lingkungan ekologis tanpa mengindahkan kelestarian air. "Kondisi ini menjadi faktor utama penyebab bencana banjir dan longsor di Jawa Barat," katanya. Dalam kesempatan tersebut, ia juga melakukan dialog dengan anggota masyarakat, dan menebar 50.000 bibit ikan nila dan ikan patin di Situ Gede, serta menanam secara simbolis bibit pohon di tengah Situ Gede, selain menyerahkan secara simbolis 1.000 bibit pohon untuk penghijauan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007