Jakarta (ANTARA News) - Mengenal lebih jauh seseorang, bisa dengan berjumpa, berbicara, bekerja bersama dan berinteraksi dalam waktu yang cukup lama atau mengetahuinya dari orang terdekatnya. Itulah yang terjadi dengan saya untuk mengetahui apa dan siapa Komjen Pol Panji Atmasudirja. Saya mengenal Kang Panji, begitu saya memanggilnya, berkat istrinya, Mbak Dewi, teman akrab sejak tahun 1973, ketika sama-sama meniti karir jurnalistik di LKBN ANTARA.

Saya sempat berjumpa dengan Kang Panji hanya beberapa kali saja dalam jangka waktu puluhan tahun. Kesibukan masing-masing membuat kami berdua jarang bisa bertemu. Karena itu, saya lebih mengenal dia dari istrinya. (Memangnya ada orang terdekat, di samping pasangan suami-isteri masing-masing?).

Dari beberapa perjumpaan itu, saya mendapat kesan Kang Panji gagah, tampan, pandai, humoris, suka melawak, sabar, baik hati dan penyayang istri. Pasti gagah, kalau tidak, bagaimana mungkin ia bisa menjadi anggota polisi, berpangkat terakhir komisaris jenderal lagi? Jelas ganteng, karena Mbak Dewi, menurut banyak orang, cantik dan perempuan cantik paling pas bersuami pria ganteng. Yang selalu saya ingat dari Kang Panji adalah gaya sisiran rambutnya: klimis, halus. Sekilas ia tidak tampak seorang anggota polisi (ABRI waktu itu), yang biasanya tampil dengan potongan rambut cepak.

Pandai, jelas dong. Bagaimana mungkin ia menduduki jabatan Wakapolri, kalau tidak pandai? Ia punya dua gelar akademis, yakni Drs dan SH. Lagi pula, istrinya juga pandai, sehingga klop, "nyambung", dan serasi dalam penampilan bersama di depan umum.

Bahwa ia humoris atau suka melucu, itu saya saksikan sendiri dan nikmati dalam suatu perjumpaan lebih lima tahun lalu.

Alkisah, sebagai teman baik, Mbak Dewi ingin membuat saya tidak larut dalam kesedihan setelah ditinggal wafat istri saya, Dik Maringi Peni, 19 September, 2004. Mbak Dewi dan almarhumah bersahabat erat. Mbak Dewi usul agar saya menikah lagi setelah beberapa tahun saya menduda. Ia ajukan beberapa calon untuk menjadi istri saya, penerus Dik Peni. Beberapa kali saya menolak usulnya dengan alasan saya masih belum bisa melupakan almarhumah.

Lama-lama saya merasa tidak enak setelah berulang kali menolak usulannya. Maka, saya penuhi undangan Mbak Dewi dan suaminya untuk dipertemukan dengan calon istri di sebuah restoran di Bogor. Tidak tanggung-tanggung waktu itu diundang dua orang perempuan sekaligus untuk makan bersama. Keduanya adalah teman dekat mereka. Aduh, saya bingung harus memilih salah satu. Habis keduanya cantik dan tampak baik, sih.

Ketika kemudian saya ungkapkan kebingungan saya untuk memilih salah satu, tiba-tiba Kang Panji "nyelethuk", "Ambil dua-duanya, sekaligus Mas Parni!" Betul, lucu kan, Kang Panji? Saya tidak sempat melihat reaksi Mbak Dewi saat itu.

Kang Panji adalah seorang penyabar, baik hati dan penyayang istri. Buktinya? Ia membiarkan dan mendukung istrinya aktif menulis dan terjun dalam berbagai kegiatan sosial-budaya. Mbak Dewi, berhenti menjadi wartawati setelah menjadi istri polisi, karena harus mengikuti penugasan suami. Mereka menikah di Bogor pada 5 Januari 1974.


Monumen Cinta

Sekalipun tidak lagi menyandang profesi sebagai wartawati, Mbak Dewi tetap aktif menulis. Sejumlah buku dengan berbagai macam topik telah dihasilkannya. Ia peduli masalah sosial, budaya dan perkotaan, termasuk disabilitas dan penyandang stroke. Di bidang budaya, ia sering tampil bersama Mak Ageung, seniwati besar dan serba bisa asal Bogor sebagai pemrakarsa dan sponsor sekaligus. Mereka sering tampil di acara RRI Bogor.

Jika Kang Panji bukan penyabar dan penyayang istri, mana mungkin istrinya dapat berkiprah seperti itu? Tapi, ia cerdas telah menjadi penyayang istri. Alasannya, mendapat istri yang cantik, pandai dan peduli seperti Mbak Dewi itu suatu pahala besar. Sabar adalah salah satu bentuk rasa sayang.

Hubungan keluarga saya dengan Keluarga Kang Panji sangat dekat. Ketiga anak saya memanggil masing-masing dengan Om Panji dan Tante Dewi. Kami beberapa kali memenuhi undangan di rumah mereka di Taman Malabar, Bogor. Di situ saya sering berjumpa dengan sejumlah petinggi Polri, di antaranya mantan Kapolri Jendral Bimantoro.

Polisi adalah mitra kerja dekat saya sebagai wartawan. Apalagi, saya pernah menjadi Penasehat ahli bidang komunikasi Kapolri Jendral Pol Rusman Hadi (sama Hadi, tapi bukan saudara) sampai beberapa Kapolri berikutnya. Juga, saya berkesempatan mengajar di Sespimpol Lembang, Bandung. Khusus dengan Pak Bimantoro, kami berdua sama-sama diberhentikan oleh Presiden Gus Dur sebelum masa bakti selesai. Saya diganti oleh teman saya, Mas Moh Sobari, sebagai Pemimpin Umum/Redaksi LKBN ANTARA.

Untuk menunjukkan saya telah memenuhi saran Mbak Dewi, setelah menikahi Jeng Rita Kusumawardhani, janda ditinggal wafat suami, tahun 2012, saya perkenalkan dia dengan keluarga Kang Panji. Terselip tujuan khusus: Kang Panji tidak melucu lagi (menyuruh saya untuk ambil dua istri sekaligus).

Ketika Mbak Illa Kartila, wartawati teman dekat Mbak Dewi di LKBN ANTARA, menelepon saya setengah menangis, mengabarkan Kang Panji wafat, saya menyahut setengah berteriak, "Kang Panji?" Dari seorang pelayat di TMP Dredet, Bogor, saya mendapat info bahwa sehari sebelumnya almarhum masih main band dan menyanyi dengan riang gembira.

Saya senang sekali ketika Mbak Illa minta saya (dan beberapa teman) untuk menulis kenangan tentang almarhum yang akan diterbitkan dalam "booklet" oleh istrinya. Saya melakukan hal serupa untuk mengenang Dik Peni dengan menulis sebuah buku berjudul "Memaknai Kehilangan Orang Tercinta; Maringi Peni, Sebuah Nama Sarat Makna". Saya luncurkan buku itu tepat setahun wafatnya.

Langkah Mbak Dewi ini sesuai harapan saya agar sebaiknya mengenang orang tercinta dengan menulis buku tentangnya sebagai monumen cinta.

Bahkan, tulisan ini saya buat di Bumi Maringi Peni (BMP), Pujon, Malang, sebuah lahan seluas sekitar tiga hektare yang saya namakan untuk mengabadikan nama dan mengabdikan cinta saya kepada almarhumah.

Di BMP ada tanaman apel, aneka sayuran, pesantren Fathussalam, SMK cyber-technology dan radio komunitas Suara Peni. Seluruhnya saya niatkan sebagai kegiatan sosial untuk kemanusiaan.

Kang Panji lahir di Cianjur, 28 Agustus, 1946 dan wafat 23 April, 2016 di Bogor. Dua orang mantan Kapolri, yakni Jendral Pol Bimantoro dan Jendral Pol Bambang Hendarso Danuri hadir dalam upacara pemakaman jenazahnya secara militer dengan Kapolda Jabar bertindak sebagai Irup.


*) Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

Oleh Parni Hadi*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016