Saipul Jamil rasanya pantas disebut sebagai salah satu orang yang berhasil atau sukses membongkar "borok-borok" di kalangan pengadian mulai dari hakim hingga panitera.

Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK menangkap sedikitnya empat orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) kasus dugaan penyuapan atau pemberian gratifikasi dalam kasus pencabulan yang dilakukan Saipul Jamil terhadap seorang pemuda di bawah umur 16 tahun. Kasus itu diduga melibatkan seorang panitera yang akhirnya ikut melibatkan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Ketika persidangan berlangsung, jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan agar Saipul dihukum tujuh tahun penjara. Namun ternyata majelis hakim yang dipimpin Hakim Ifa Sudewi "hanya mengganjar" tiga tahun sehingga jauh di bawah apa yang telah diminta jaksa.

Amar putusan yang mengecewakan itu kemudian mengundang pertanyaan sehingga akhirnya lembaga antirasuah pun turun tangan yang mengakibatkan OTT termasuk kakak Saipul Jamil yang bernama Samsul Hidayatullah serta seorang panitera di PN Jakarta Utara yang bernama Rohadi.

Yang menarik dari kasus ini adalah peranan Rohadi, karena dia bukanlah seorang panitera yang terlibat membantu majelis hakim dalam kasus ini. Akibatnya, petugas Hubungan Masyarakat PN Jakut, Hasoloan mengungkapkan bahwa Rohadi secara administratif tidak terlibat secara langsung dalam kasus Bang Ipul.

Rendahnya hukuman yang dijatuhkan kepada sang penyanyi itu akhirnya menimbulkan syakwasangka bahwa ada yang tidak beres dalam proses hukum tersebut. Disebut-sebut kemudian bahwa ada uang berjumlah ratusan juta rupiah yang digelontorkan Saipul dan keluarga agar hukuman yang bakal dijatuhkan tidak seberat yang dminta jaksa penuntut umum.

"Komisi Yudisial bersyakwasangka ada ketidakberesan dalam kasus ini," kata Juru bicara KY Farid Wajdi di Jakarta, Kamis (16/6).

Dalam kasus Saipul Jamil, tentu masyarakat harus memegang teguh prinsip azas praduga tak bersalah bahwa seseorang belum boleh dinyatakan bersalah sampai jatuh keputusan hukum yang bersifat tetap atau inkracht. Namun, pantas dipertanyakan semua orang Indonesia adalah kenapa sih para hakim dan staf-stafnya itu mau bertindak curang "hanya" demi uang yang ratusan juta hingga miliaran rupiah itu.

Kebablasan
Para hakim di mana pun juga telah mendapat gaji dan berbagai tunjangan agar mereka tidak "kekurangan" uang demi kehidupan sehari-harinya, karena masih ada pernyataan bahwa para "wakil Tuhan" tersebut tidak memiliki pendapatan yang cukup padahal mereka harus berpikir keras dan jujur ketika memeriksa berkas perkara yang dilimpahkan kepada mereka.

Akan tetapi, pada kenyataannya ternyata mereka adalah cuma manusia-manusia biasa yang merasa kalau tidak mengeluh maka mereka itu adalah "superman" atau sudah betul-betul kaya bagaikan pengusaha besar kelas wahid.

Dalih yang acapkali dilontarkan adalah biaya kehidupan sehari- hari yang makin tinggi, uang sekolah ataupun uang kuliah yang melonjak-lonjak, serta semakin dipertontonkannya barang-barang mewah mulai dari telepon genggam, rumah besar hingga mobil- mobil berkelas dunia.

Petugas-petugas di peradilan itu ada baiknya berkaca pada kasus di Kepolisian Daerah Jawa Timur ketika masyarakat terbuka matanya karena seorang polisi yang setelah sehari-harinya bertugas antara lain menangani surat izin mengemudi (SIM) harus menjadi pemulung demi rupiah bagi keluarganya.

Bahkan sang polisi tidak malu mengendarai hanya sebuah sepeda dalam kehidupan sehari-harinya. Dia tidak mau atau menolak jika ada pihak lainnya yang ingin memberi uang sebagai imbalan setelah urusan SIM-nya beres.

Para hakim atau panitera juga bisa berkaca kepada para prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang harus menenteng senjata mulai dari pistol hingga senapan otomatis saat bertugas misalnya pada operasi Tinombala di Poso, Provinsi Sulawesi Tengah untuk memburu kelompok teroris Santoso.

Sang panitera Rohadi, Hakim Ifa Sudewi dan rekan- rekannya hampir bisa dikatakan tidak pernah memeras keringat seperti para prajurit TNI dan Polri untuk menghidupi dirinya sendiri dan anggota- anggota keluarganya.

Rohadi ,misalnya, bahkan dikabarkan memiliki aset- aset yang berlimpah mulai dari rumah mewah hingga tanah berhekare-hektare..

Kalau panitera ini menguasai aset- aset yang sangat amat aduhai maka pertanyaan yang yang sangat mendasar adalah berapa sih gaji dia sebagai seorang pegawai negeri sipil atau sekarang aparatur sipil negara? Pertanyaan lain adalah apakah mungkin dia baru pertama kali terlibat dalam kasus semacam Saipul Jamil ini atau malahan sudah "melanglang buana kemana- mana" ?

Kini tugas KPK, Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial adalah menangani kasus Rohadi, Saipul Jamil dan keluarganya yakni apakah betul sangat rendahnya amar putusan kasus ini semata-mata karena pertimbangan aspek formal hukum ataukah karena ada unsur lain terutama pemberian uang ratusan juga rupiah terhadap pihak- pihak yang menangani kasus ini khususnya di Pengadilan Jakarta utara tersebut? (*)

Oleh Arnaz Firman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016