Kaohsiun (ANTARA News) - Jika kebetulan sedang berkunjung ke Kota Kaohsiung, Taiwan, dan kangen dengan makanan serta minuman khas Indonesia, jangan khawatir karena di situ ada sebuah restoran yang menjual selera lidah Nusantara.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, Kota Kaohsiung, Taiwan, memang tak terlalu populer dan jarang terdengar dibanding Taipei.

Kaohsiung adalah sebuah munisipalitas setingkat provinsi di Taiwan, yang sekarang adalah hasil penggabungan daripada Kota Kaohsiung dan Kabupaten Kaohsiung sejak tanggal 25 Desember 2010.

Kota ini mempunyai bandara terbesar kedua di Taiwan, yaitu Bandara Internasional Kaohsiung dan pelabuhan laut terbesar di Taiwan yaitu Pelabuhan Kaohsiung.

Justru karena memiliki pelabuhan laut terbesar di Taiwan itulah, banyak anak buah kapal (ABK) Indonesia yang berminggu-minggu hingga berbulan-bulan berada di kota itu untuk tinggal sementara saat kapalnya berlabuh.

Restoran yang menyediakan makanan dan minuman khas Indonesia itu adalah "Restoran Indonesia Food" yang terletak di Nomor 13 JianJiun Road, Distrik Ling Ya, atau persis disamping kiri Masjid Raya Kaohsiung.

Warga negara Indonesia yang akan makan dan minum di situ pun tak perlu khawatir menikmati di restoran itu, karena semuanya disajikan dengan halal, mengingat pemiliknya adalah seorang muslimah warga Negara Indonesia yang bernama Aling.

Menu yang ditawarkan pun sangat bervariasi dengan harga yang tak terlalu mahal dan semuanya adalah khas Indonesia. Untuk makanan ada kare sapi dijual New Taiwan Dollar (NT$) 150 per porsi (1 NT$ setara Rp410,82), rendang sapi NT$ 150, ayam goreng plus lalapan dan sambal NT$ 120, gulai kambing NT$ 120, nasi goreng NT$ 70.

Berikutnya, empek-empek ikan NT$ 100, mi kuah sapi NT$ 90, bakso sapi plus bihun NT$ 80, mi ayam NT$ 80, kuetiau goreng NT$ 80, soto ayam NT$ 70, mi goreng dan bihun goreng masing-masing NT$ 70.

Ada juga sate kambing NT$ 130 untuk sepuluh tusuk, sate ayam NT$ 120, kangkung terasi dan tumis kol masing-masing NT$ 100.

Untuk minuman segar, restoran itu juga menyediakan es cendol NT$ 60, es buah dan es kelapa muda masing-masing NT$ 200. Ada juga jajanan khas Indoensia seperti dadar gulung dan klepon yang dijual masing-masing NT$ 60.

Warga Indonesia yang kebetulan berada di Kaohsiung dan ingin mengunjungi restoran itu tampaknya cukup mudah, karena lokasinya berada di pusat kota.

Untuk mengunjungi lokasi itu bisa menanyakan kepada supir taksi. Tapi satu hal yang harus diperhatikan jika minta diantar supir taksi harus menggunakan aksara Mandarin karena kebanyakan supir taksi setempat tak bisa membaca huruf latin.

Restoran itu buka setiap harinya tak peduli hari kerja, Minggu, atau hari raya seperti Lebaran dan Imlek, yaitu mulai jam 10.30-21.00. "Saat Ramadhan dan Lebaran pun kita tetap buka seperti biasa," kata pemilik restoran itu, Aling.

Untuk mendatangkan bahan baku makanan tersebut, ada yang diperoleh impor dari Indonesia, tapi ada juga yang berasal dari Taiwan.

Bahan baku untuk mengolah makanan dan minuman sangat mudah diperoleh sehingga konsumen yang akan menikmati menu apapun praktis selalu tersedia dan tak pernah kosong.

Latar belakang Aling membuka restoran Indonesia di Kaohsiung adalah dirinya melihat di kota itu cukup banyak WNI yang bermukim sekalipun tidak untuk jangka lama.

Selain itu, masakan Indonesia sebenarnya rasanya tak jauh-jauh amat dengan selera warga Taiwan sehingga dirinya memberanikan diri berusaha di situ.

Apalagi di Kaohsiung banyak warga asli setempat yang pernah berkunjung dan menetap di Indonesia sehingga mereka kadang ada yang kangen dengan selera lidah Indonesia.

Alasan lain adalah secara tidak langsung dirinya ingin mempromosikan kuliner Indonesia di Kaohsiung, tidak saja kepada warga Taiwan tapi juga kepada warga asing yang ada di kota itu.

Pada kenyataannya masakan Indonesia tersebut ternyata cukup banyak peminatnya, mengingat restoran tersebut nyaris tak pernah sepi dan pengunjung sehingga dirinya seringkali kewalahan saat memasak.

Dirinya pun terpaksa mengajak sejumlah temannya WNI untuk ikut membantu memasok, dan bahkan memiliki tiga orang juru masak warga Taiwan yang ikut membantu.

Kebanyakan konsumen yang datang ke restoran itu memang warga negara Indonesia yang bekerja atau sekadar singgah di Kaohsiung. Tapi banyak juga warga asli Taiwan atau warga negara asing yang datang untuk menikmati masakan khas Indonesia.

Slamet Rahardjo, salah seorang WNI yang bekerja di sebuah pabrik tekstil di Kaohsiung, mengatakan dirinya sudah tiga tahun berada di kota itu dan sesekali mengaku menikmati masakan di restoran itu.

Rasa kangen terhadap selera Nusantara menjadi salah satu alasan mengapai dirinya bersama teman-teman warga Indonesia lainnya sering berkunjung ke situ, terutama usai melaksanakan salat Jumat.

Menurutnya, rasa masakan dan minumannya hampir sama dengan yang dijual di Tanah Air dan harganya pun tak terlalu mahal, sehingga tak harus merogoh kantong lebih dalam.

Dirinya bahkan seringkali mengajak beberapa temannya dari negara lain untuk ikut menjajal masakan dan minuman khas Indonesia. "Beberapa di antaranya ada yang suka, tapi ada juga yang kurang pas seleranya," tuturnya.

Alasan lain mengapa dirinya sering berkunjung ke restoran itu adalah semuanya disajikan halal sehingga dirinya tak ragu untuk menyantap.

Bagi umat Muslim memang bukan perkara mudah mencari makanan halal di kota yang mayoritas penduduknya non-Muslim sehingga degan adanya restoran itu bisa membantu dan memudahkan untuk menyantap makanan.

Keberadaan restoran Indonesia di Kaohsiung tersebut sebenarnya secara tak langsung ikut mempromosikan wisata kuliner Nusantara yang kaya akan keanekaragaman makanan dan minuman kepada warga setempat maupun warga asing lainnya.

Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016