Jakarta (ANTARA News) - Dalam bulan puasa Ramadhan banyak muslimin dan muslimat mendambakan dapat menjalani shalat khusyuk. Ada yang mengaitkan shslat khusyuk sebagai bagian dari karunia "lailatul qadar".

Pemeluk Islam lintas gender dan usia, terutama para lanjut usia atau lansia, yang secara alami akan lebih dulu meninggal dunia dibanding orang muda, mendambakan keduanya.

Bagaimana rasanya shalat khusyuk? Itu bersifat personal. Karena itu, judul tulisan ini menggunakan ungkapan "indah dan nikmatnya". Subjektif dan relatif. Masing-masing orang bisa berbeda dalam menghayatinya. Paling gampang, disebutkan sebagai "tak bisa dilukiskan dengan kata-kata". Ada yang mencoba melukiskan khusyuk dengan ungkapan perasaan "asyik-masyuk" dan transendental.

Tentang shalat khusyuk, Al Quran menyebutnya dalam lima surat, yakni Al-Baqarah, ayat-45 (QS 2:45): "Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali orang-orang yang khusyuk". Bagaimana orang melakukan shalat khusyuk? Ini dijelaskan dalam Surat Al-Israa, ayat 109 (QS 17:109): "Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu".

Lebih lanjut dijelaskan: "Mereka adalah orang yang khusyuk kepada Kami" (Surat Al Ambiyaa, ayat 90/QS 21:90). "Yaitu, orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka (Surat Al Muminun, ayat 21/QS 23:21). Bagaimana perilaku mereka? "Laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk" (Surat Al Ahzaab, ayat 35/QS 33:35).


Asyik-masyuk

Apakah ada cara lain untuk mendekati Tuhan, selain shalat? Atas pertanyaan itu, Jalaluddin Rumi menjawab: "Shalat lagi". Tapi, mistikus besar Islam itu mengingatkan, shalat tidak hanya atau jangan berhenti pada cangkang atau kulitnya saja. Sesuatu yang dimulai (dengan takbir Allahu Akbar) dan diakhiri (dengan salam) masih berupa bentuk luar atau cangkang, kata Rumi.

"Apa yang masih diucapkan dengan lidah dan memiliki permulaan dan akhir barulah bentuk, cangkang. Isi atau jiwanya, tidak bisa dikuantifisir dan tidak terhingga, tanpa awal dan tanpa akhir," katanya seperti diungkap dalam buku "Fihi ma Fihi".

Rumi melukiskan kondisi itu dengan merujuk kata-kata Rasulullah Muhammad SAW yang memformalisasikan shalat: "Saya sedang sendirian bersama Allah". Maksudnya, dalam keadaan terserap total, tidak sadar eksistensi diri, karena tenggelam dalam penghayatan menyatu-padu (batin) dengan Allah. Ini yang mungkin disebut "asyik-masyuk" atau dalam ungkapan Jawa "curigo manjing warongko" (keris masuk dalam sarungnya).

Begitu intens dan syahdu (khusyuk) perasaan itu, hingga ada yang menyebut keadaan tersebut juga sebagai "warongko manjing curigo" (sarung yang masuk dalam kerisnya) karena keduanya ingin menyatu. Kata sejumlah kiai sepuh, ungkapan itu merujuk pada peristiwa Isra Miraj, ketika Muhammad Rasulullah SAW dipanggil untuk menghadap Allah SWT atas perkenan-Nya untuk menerima perintah shalat. Mula-mula shalat 50 kali per hari, lalu menjadi lima kali per hari.

Kitab piwulang (ajar) Wedhatama karya Mangku Negara IV, Raja Surakarta, melukiskan keadaan itu sebagai "layap liyeping ngaluyup" atau keadaan antara bangun dan tidur (transendental). Saat itu disebut sebagai "tinarbuka" atau terbukanya hijab (warana atau penghalang pandangan gaib).

Bait (Pupuh) 13 Wedhatama menggambarkan keadaan itu dalam tembang berikut: Tan samar pamoring suksma, sinuksmaya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, pambukaning warana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping raja jati. Terjemahan bebasnya: Tidak ragu akan cahaya Sukma, yang tersimpam di relung terdalam kalbu, yang memancar di kala sepi, saat terbukanya hijab, yakni saat sekejap antara bangun dan tidur (setengah sadar atau transendental), seperti melesatnya mimpi menyusup ke dalam rasa sejati.

Sehubungan dengan itu, sejumlah kiai mengajarkan kepada muridnya yang ingin mencapai khusyuk agar melakukan shalat pada saat sepi, utamanya pada sepertiga malam terakhir di tempat yang nyaman dan bersih. Harus berwudhu dengan benar, berpakaian bersih (ada yang menfasirkan putih-putih), rapi dan memakai wewangian. Memulai shalat dengan niat kuat hanya untuk menghadap Allah, melakukan gerakan shalat dengan tertib, tidak terburu-buru, mengerti arti, menghayati makna bacaan shalat dan doa-doa yang menyertainya.

Pengikut ajaran spiritual Jawa, termasuk yang mengaku beragama Islam, menyebut "keadaaan" transendental itu sama dengan "samadi" dengan ungkapan: "Ono rupa tan dinulu, ona swara tan den rungu, ono gondo tan den ambu" (Ada rupa tidak dilihat, ada suara tidak didengar, ada bau tidak dicium). Perhatian betul-betul hanya fokus kepada Tuhan. Pikiran dan perasaan terhadap hal-hal lain, apalagi yang bersifat duniawi dihilangkan. Benar-benar menyerah total. Pasrah kepada kehendak Allah.

Keadaan seperti itu sulit untuk dicapai oleh orang awam. Bukan rahasia lagi, sewaktu sedang shalat, banyak pelakunya masih mendengar, mencium dan berpikir bermacam-macam. Bahkan, ada yang langsung menyambung pembicaraan orang lain begitu selesai shalat.

Rumi menyebut keadaan pasrah total itu sebagai telah berada di luar kesadaran ego dan hilang lenyap, terserap dalam Cahaya Allah. Ia merujuk sabda Rasulullah Saw: "muutuu qabla an tamuutuu". Artinya, "Matilah sebelum kamu mati" atau "Mati sajroning urip", kata orang Jawa.

Karena bersifat gaib, keindahan dan kenikmatan shalat khusyuk memang tidak bisa atau sulit dilukiskan dengan kata-kata. Tapi, justru karena itu, banyak muslim dan muslimat yang tertarik untuk mengetahui, mengalami dan mencicipinya semasa masih hidup.

Oleh karena yang gaib-gaib itu berada dalam genggaman dan milik Allah, maka hanya orang-orang yang dipilih Allah seperti para nabi, waliyullah dan "mukmin khas" atau orang terpilih yang bisa mencapainya. Tentu saja, mencoba, berusaha, dan mendamba adalah hak setiap orang. Siapa tahu Allah berkenan mengabulkannya. Wallahu alam bishshawab.

*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000 dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

(T.A015/T007)

Oleh Parni Hadi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016