Tegal, Jateng (ANTARA News) - Bagi pemudik yang akan pulang melintasi jalur Tegal-Margasari menuju Semarang atau Purwokerto dan ingin merasakan sensasi mudik serasa piknik, maka cobalah jalur alternatif Kuningan-Bandarharjo.

Jalur ini, pernah dilintasi pada 20 tahun yang lalu sampai di Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan yang berbatasan dengan Jateng dan kesannya "menyeramkan" serta banyak tanjakan dan turunan dengan kelokan yang tajam.

Kesan menyeramkan akhirnya sirna karena sudah banyak toserba dan toko kecil sepanjang jalan, juga banyak pemandangan mengagumkan yang mampu menghilangkan kesan bahwa sedang mudik.

Ini bertolak belakang dengan mudik melalui Tol Kanci sampai Brebes Timur yang ditandai dengan kemacetan panjang sampai 55 kilometer. Kemacetan juga berlanjut di sejumlah ruas alternatif selepas Pejagan dan Brebes.

Saat bermacet ria di Pintu Gerbang Merpada, Senin atau H-2, siang, sejumlah pemudik akhirnya sepakat untuk mencoba jalur itu daripada menunggu tanpa kepastian kapan kemacetan di Tol mulai mencair.

Tiga kendaraan rombongan pemudik kemudian minta izin berputar arah kembali ke Tol Ciperna, walaupun dikenai denda 45 ribu.

Untuk meyakinkan kesiapan jalur, salah satu anggota rombongan meminta penjelasan petugas di Pos Ciperna, Kota Cirebon.

Petugas berpangkat Aiptu menjelaskan bahwa jalur Kuningan-Banjarharjo layak untuk dilintasi karena sudah ramai, jalan mulus dan banyak relawan pemandu.

Untuk mencari opini pembanding, akhirnya kembali mendatangi Pos Polisi di Kota Kuningan di dekat Terminal Kuningan. Jawaban petugas juga sama bahwa jalur itu tidak lagi rawan kriminal, jalan sebagian dibeton dan nyaris tanpa kemacetan.

"Saya cek jalur itu masih belum banyak digunakan pemudik. Tetapi sebenarnya sangat layak, hanya belum bisa untuk truk, bus, dan bus 3/4 karena ada perbaikan jembatan," katanya.

Tiga kendaraan minibus kemudian bergerak beriringan yang nyaris lurus dan terus menurun dari Kota Kuningan sampal Luragung. Nyaris tidak ada kemacetan berarti kecuali saat melintasi kota kecamatan karena banyak warga menyerbu sejumlah toserba.

Ketika dua rombongan kendaraan memutuskan beristirahat sambil berbuka puasa di daerah Luragung, penulis memilih melanjutkan perjalanan sambil berbuka dalam perjalanan karena mendapat informasi untuk mencapai perbatasan situasi minim penerangan.

Setengah jam lagi sebelum matahari tenggelam segera memacu kendaraan melintasi jalan raya Cibeurem yang mulai menanjak, dan benar saja 15 kilometer kemudian mulailah jalan berkelok dengan tanjakan dan turunan tajam.

Sekitar 30 menit dihabiskan menembus hutan dengan kelokan-kelokan tajam, barulah sampai di Kota Kecamatan Cibingbin yang cukup ramai.

Selepas kota kecil itu masih ditemui hamparan kebun dan hutan dengan jalan yang masih berkelok-kelok, terus sampai melintasi perbatasan dua provinsi yang ditandai dengan Gerbang Tugu Kujang.

Memasuki wilayah Jawa Tengah, tepatnya saat akan masuk di Desa Cipajang ditemui satu jembatan yang baru sebagian dibangun ulang dengan lebar hanya 2 meter sehingga kendaraan besar tidak bisa melintas.

Ada juga sebagian jalan raya yang lebarnya hanya 3,5 meter dengan kondisi naik turun dan berbelok. Disinilah pemudik harus ekstra hati-hati jika berpapasan dengan kendaraan lain karena harus saling mengalah.

Secara umum jalan di Kecamatan Banjarharjo sekitar 75 persen sudah berkonstruksi beton dengan lebar tujuh meter.

Biasanya kendaraan akan dipacu kencang karena situasi jalan lengang walaupun musim mudik lebaran.

Selepas Banjarharjo dan memasuki Kabupaten Ketanggungan, mulai ditemui jalan yang berlubang dan beberapa persimpangan, namun saat musim mudik ini banyak relawan yang berjaga sambil mengatur lalu lintas di persimpangan.

Saat akan menuju Pasar Kersana, para relawan menyarankan untuk menghindari terjadi kemacetan parah yang sudah terjadai dengan diminta melintasi Desa Kedungsari sekitar enam kilometer dari Jalan Tugu.

Di desa itu ada jembatan sepanjang 50 meter yang hanya cukup satu kendaraan, namun dijaga para relawan untuk bergantian melintas.

Selepas jembatan itu barulah masuk jalan desa yang belum diaspal dan pada ujung desa ditemui jalan yang berbatu bekas jalan proyek pengambilan tanan untuk urugan Tol Pejagan Brebes. Jalan rusak sepanjang tiga kilometer lebarnya hanya empat meter dan selepas itu pemudik diberi dua pilihan belok kiri masuk jalur Ketanggungan-Prupuk yang sudah lebar dan mulus atau terus melintasi jalan desa sampai kembali bergabung dengan jalur Ketanggungan-Prupuk dekat perempatan Larangan.

Pada H-3 sampai H-1 Lebaran jalur pintas dari Ketanggungan menyusuri Desa Kubangsari itu walaupun kondisinya rusak tetap diminati sejumlah kecil pemudik yang sudah paham seluk beluk daerah itu. Bahkan sempat terlihat tiga pemudik menggunakan Bajaj roda tiga nekad melintasi jalur itu hanya untuk memperpendek antrian di jalur Ketanggungan-Prupuk.

Warso, pengemudi Bajaj mengaku sangat paham wilayah itu karena berasal dari Desa Karangdawa, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal.

"Saya ambil jalur ini karena sudah paham dan bisa menghemat antrian kendaraan sampe lima jam dari Ketanggungan sampai Larangan," katanya.

Seperti diketahui pada H-2 yang merupakan saat puncak kemacetan di jalur itu sehingga kendaraan hanya melaju 100 meter setiap setengah jam sekali karena petugas di persimpangan Klonengan memberlakukan sistem buka tutup setiap setengah jam sekali.

Tanpa jalur pintas di Desa Kubangsari maka pemudik selepas Tol Pejagan perlu waktu 12 jam lebih untuk lolos dari jalur alternatif itu, padahal sejak H-3 sudah diberlakukan satu arah. Artinya kendaraan dari jalur utama Bumiayu-Slawi-Tegal tidak bisa menggunakan jalur itu.

Secara keseluruhan jalur alternatif Kuningan-Banjarharjo yang diteruskan melalui jalur alternatif Desa Kubangsari bisa menghemat waktu tempuh sepuluh jam dibanding pemudik terjebak macet di Tol Kanci-Pejagan dan Ketanggungan-Prupuk.

Tahun depan, jika kondisi macet berkepanjangan masih terjadi, jalur itu bisa menjadi alternatif terbaik, apalagi jika melintas pada siang hari karena pemandangan pegunungan serta hamparah sawah dan kebun akan membuat mudik secara piknik.

Pewarta: Budi Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016