Aku lebih suka kuliah, tidak ada MOS, walaupun bad side-nya jadi enggak begitu kenal dan solid sama teman-teman seangkatan
Jakarta (ANTARA News) - Seorang ketua masa orientasi sekolah (MOS) biasanya paling disegani dan berakhir dengan julukan kakak tergalak, namun itu tidak berlaku pada Chikita Fawzi.

Putri pasangan musisi Ikang Fawzi dan Marissa Haque ini didapuk menjadi ketua MOS karena ia membawahi bidang politik dan organisasi. Saat itu yang lebih bersemangat merencanakan ini-itu adalah teman-temannya. Sebagai ketua, ia berusaha mengakomodasi saran teman-temannya dalam rapat panitia.

"Pas poling aku jadi kakak terbaik, kakak tersayang, kakak terfavorit karena aku enggak bisa galak," tutur Kiki saat dihubungi Antara News, Minggu (17/7) malam.

Sesuai tradisi saat itu, panitia masa orientasi sekolah memberikan tugas nyentrik untuk murid baru. Para junior diwajibkan membawa makanan seperti "nasi goreng gembira" (nasi goreng dengan hiasan seperti wajah tersenyum) dan "nasi goreng Edi Brokoli". Ada suatu waktu ketika siswa baru diharuskan membawa sarapan berupa roti hijau berisi taburan meises berwarna senada. Terdengar tak masuk akal, tapi ia mengutarakan alasannya.

"Waktu itu aku lihat di Mayestik, ada yang jual meises hijau saja. Kalau di supermarket biasanya warna-warni," ujar alumni SMAN 6 Jakarta ini.

Alhasil banyak anak yang memutar otak untuk menyelesaikan tugas tersebut. Ada yang mewarnai meises, mengganti meises dengan confetti hingga menyemprot roti putih dengan cat hijau.

"Enggak mungkin aku suruh mereka makan itu (roti dicat)," katanya.

Sebagai ketua, Kiki kerap menjadi sasaran protes orangtua murid yang keberatan dengan pelaksanaan masa orientasi sekolah.

"Tapi I can't do anything karena sudah jadi tradisi, ketentuannya begitu," kata dia, menambahkan yang dialaminya saat jadi junior jauh lebih berat.

Ia mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang tidak mengagungkan senioritas. Larangan pemerintah mengenai pelaksanaan masa orientasi sekolah oleh siswa disambut baik olehnya. Sedikit banyak hal itu juga didasari pengalamannya kuliah di Negeri Jiran.

Ketika belajar menjadi animator di Multimedia University, Malaysia, sama sekali tidak ada ospek. Bagi anak rantau, tak ada ospek sama dengan penghematan karena tak perlu membeli bahan untuk membuat atribut-atribut nyentrik.

"Waktu untuk orientasi bisa diisi hal berguna, seperti belajar," kata animator yang ikut menggarap kartun "Upin & Ipin" itu.

Tetapi, ia ingat ada rasa solid yang mengakar di hati para siswa baru karena senasib sepenanggungan. Rasa kekompakan itu tidak sebanding dengan yang dirasakannya di kampus.

"Aku lebih suka kuliah, tidak ada MOS, walaupun bad side-nya jadi enggak begitu kenal dan solid sama teman-teman seangkatan," katanya.

"Zaman SMA, sama-sama ditindas jadi saling kenal."

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016