Jakarta (ANTARA News) - Cukup lama tidak terdengar lagi, tiba-tiba tim manajemen puncak Airbus Group hadir di Indonesia, ke tengah-tengah jurnalis dan blogger kemiliteran nasional. 




Tema pertemuan di satu restoran papan menengah Jakarta, dua hari lalu, adalah pernyataan tentang penawaran pesawat transpor militer berat andalan mereka, Airbus A400M, untuk Indonesia. 




Laiknya tawaran benda-benda militer yang harganya tidak murah dan dengan kandungan teknologi state-of-the-art, manajemen puncak Airbus Group (dipimpin Head of Military Aircraft, Airbus Defence and Space, Fernando Alonso) juga membuka skema kerja sama dan alih teknologi tingkat tinggi digital kepada Indonesia. 




Mereka juga “memikirkan” skema lain pemenuhan keperluan dan pembelian arsenal militer itu kepada konsumen, yaitu Indonesia. 




Intinya, konsumen alias operator akan mudah dan bisa cepat mengoperasikan A400M ini. Hal pokok yang menjadi “persyaratan” adalah investasi dari negara operator di bidang SDM pengawak dan pendukung, hal yang wajar-wajar saja karena biar bagaimanapun, SDM dari negara operator itulah yang menjadi pemakai nyata dalam keseharian nanti. 




Hal yang juga lazim terjadi dalam pernyataan diri kepada pers atas penawaran produknya, Airbus Group melalui Alonso, tidak membuka diri atas harga per unit A400M itu atau pun dalam keseluruhan skema kerja sama dan alih teknologi. 




Yang terakhir ini penting dan menjadi persyataran utama jika ingin berbisnis pertahanan dengan Indonesia karena UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan mengharuskan hal-hal itu. 




Juga mengajak mitra Indonesia-nya, yaitu PT Dirgantara Indonesia, walau mereka menyatakan, harus terlebih dahulu mempelajari kapasitas BUMN di bidang kedirgantaraan ini. 




Maklum, dari sisi fisik saja A400M akan jadi pesawat terbang terbesar yang akan diproduksi di Indonesia; belum lagi kandungan teknologinya, dan lain sebagainya. 




“Kami tidak bicara masalah harga,” kata Alonso, dalam berbagai pemberitaan tentang penawaran A400M itu. Walau begitu, banyak sumber tidak resmi menyatakan, harga A400M per unit kosong di kisaran 150-an juta dolar Amerika Serikat. 




Airbus Military —divisi besar yang mengurusi perancangan, pembuatan, dan penjualan perangkat-perangkat perang Airbus Group— menyatakan empat unit A400M telah dipesan pasti untuk Tentera Udara Diraja Malaysia, operator perdana A400M di ASEAN dan proses pembangunan-pengiriman sedang berlangsung. 




Dia menyatakan, kecenderungan peningkatan jumlah A400M yang bisa dijual terus terjadi, dari delapan unit pada 2014, lalu 11 unit pada 2015, dan sembilan unit hingga Juli 2016 ini, dengan total pesanan 174 unit, dan operator perdananya Angkatan Udara Prancis pada Agustus 2013. 




Secara teknis, A400M (sering diberi nickname/nama julukan Grizzly atau Atlas) adalah pesawat transport berat bermesin empat turboprop dengan delapan bilah baling-baling berbentuk sabit di tiap mesin Eurotrop TP400-D6 dia. 




Secara dimensi, panjangnya 45,1 meter, tinggi di sayap tegak 14,7 meter, panjang sayap utama 42,4 meter, dan bisa lepas-landas pada bobot maksimal 141.000 kilogram. 




Kecepatan jelajah pada beban maksimalnya 422 knot/jam (781 kilometer/jam) pada ketinggian jelajah 9.450 meter dari permukaan laut hingga jarak 3.300 kilometer. 




Untuk Indonesia, dia bisa terbang tanpa henti dari Sabang di Aceh sampai Surabaya di Jawa Timur. Jika beban yang dibawa cuma 20 ton saja maka jaraknya bertambah sangat signifikan, yaitu 6.400 kilometer. 




Yang menjadi andalan dalam program pembuatan A400M ini adalah kemudahan dan kesederhanaan operasionalisasinya, yaitu hanya memerlukan dua pilot, satu loadmaster, dan beberapa asisten loadmaster. Hal ini disumbang besar dari kandungan teknologi, instrumen penerbangan, dan teknologi glass cockpit. 




Dia diklaim bisa lepas landas di landasan tak beraspal alias landasan darurat pada jarak 980 meter (bobot total 100 ton) atau malah 770 meter jika memang betul-betul darurat. 




Terlepas dari keterlambatan rancang-bangun, pembuatan, uji terbang, kecelakaan sebelum 2016 ini, A400M sudah operasional di negara-negara NATO. Pada sisi lain, negara-negara itu juga sudah sangat akrab dengan pesawat transport berat yang telanjur legendaris, C-130 Hercules dari Lockheed Martin, Amerika Serikat. 




Indonesia, negara nun jauh dari Amerika Serikat, pada waktu itu juga tercatat sebagai negara pertama Asia dan Australia di luar sekutu Amerika Serikat yang menjadi operator perdana C-130 Hercules. 

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016