... pemerintah seharusnya selektif memilih program kerja, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat daya guna untuk menyelamatkan keuangan negara...
Pekanbaru, Riau (ANTARA News) - Pemerhati ekonomi dari Universitas Andalas, Benny Leonanda, berpendapat Indonesia kini terperangkap sistem ekonomi neoklasik yakni ekonomi yang menggerus kekayaan negara dari sumber daya alam, dan sumber daya manusia.

"Jika sistem ini masih terus menjerat Indonesia maka itu artinya sama dengan menjual masa depan untuk dikonsumsi hari ini," kata Leonanda, saat dihubungi dari Pekanbaru, Senin.

Menurut dia, indikasi praktik ekonomi neoklasik sudah sampai ke desa-desa ditandai pasar di pedesaan menjadi sepi, perilaku konsumtif sebagian masyarakat pedesaan beralih membeli kendaraan bermotor ketimbang membeli produk lain.

Menurut dia, uang untuk membeli motor mereka peroleh secara kredit ke bank dan perusahaan leasing kendati mereka harus membayar cicilan sepeda motor sebelum membelanjakan untuk keperluan lain.

Dampaknya, katanya, produksi perkebunan dan pertanian mereka pada awalnya meningkat namun kemudian menurun. Seiring penurunan permintaan dunia dan penurunan harga komoditas ekspor terhadap komoditas yang mereka jual.

"Mirisnya pendapatan petani menurun drastis, dampaknya pasar di pedesaan menjadi lesu sesuai laporan BPS beberapa bulan terakhir yakni inflasi di pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan, dan penduduk miskin di pedesaan meningkat," katanya.

Ia menjelaskan, sistem ekonomi neoklasik --meruntuhkan sistem ekonomi dunia dan mengancam Indonesia-- itu lebih dimaknai sebagai sistem ekonomi yang bertumpu pada permintaan, kebutuhan, ketersediaan, distribusi barang produksi tanpa mempedulikan negara atau masyarakat mempunyai uang dan sumber daya untuk bertransaksi di pasar.

Padahal, katanya lagi, setiap kebutuhan uang atau anggaran disediakan dalam bentuk hutang sehingga pada sistem APBN selalu mempertahankan defisit setiap tahun.

Sementara itu merujuk data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Juni 2016 (y-on-y) naik 5,18 persen. Angka ini menunjukkan konsumsi masyarakat pemerintah masih tetap tinggi.

Pada sisi lain, ekspor dan impor turun atau tercatat -2,73 persen dan -3,01 persen. Pendapatan negara pada semester pertama turun dari tahun sebelumnya sebesar Rp33,249 triliun atau hanya mencapai 35,5 persen dari target APBN-P 2016 lebih rendah dari capaian tahun lalu yang mencapai 41,5 persen dari target APBN-P 2015.

Belanja pemerintah di APBN-P 15 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Artinya pemerintah memacu konsumsi ditengah lemahnya permintaan pasar. Pada satu sisi kebijakan ini diharapkan bisa memacu pertumbuhan ekonomi, akan tetapi di sisi lain jsutru beresiko, dan mengakibatkan pemerintah terjaring, terperangkap hutang.

Sementara itu pendapatan mulai berkurang karena pengeluaran pemerintah dan masyarakat melebihi pendapatan. 

Untuk menutupi kekurangan itu, kata dia, terpaksa melalui hutang dalam berbagai instrumen dan mekanisme. 
"Hal ini ditunjukkan pertumbuhan jasa keuangan sesuai data BPS Agustus 2016 yang tercatat sebesar 11,8 persen tertinggi dari kelompok lain dan jauh lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,18 persen itu," katanya.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya selektif memilih program kerja, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat daya guna untuk menyelamatkan keuangan negara. 

Kalaupun terpaksa pemerintah harus memotong anggaran negara, mengurangi defisit anggaran secara bertahap, menunda sebagian program kerja yang telah direncanakan kendati itu program prioritas yang telah dicanangkan. 

Selain itu pemerintah juga harus mempertimbangkan kondisi masyarakat, untuk menahan laju pertumbuhan ekonomi disamping pemerintah juga harus menahan laju penurunan pertumbuhan ekonomi agar tidak turun dratis guna menghindari gejolak.

"Pemerintah perlu mengurangi defisit anggara secara bertahap, dan memikirkan menyusun anggaran agar surplus bisa diperoleh, dan dapat dipakai untuk pemerataan modal kerja masyarakat di dalam negara untuk memperkuat perekonomian negara, selanjutnya menimbukan kepercayaan yang lebih besar pada pemerintah," katanya.

Oleh Frislidia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016