Bangkok (ANTARA News) - Pemerintah terpilih secara demokratik akan mulai memerintah Thailand secepat-cepatnya pada Desember 2017, kata pejabat tinggi Thailand, Senin; setelah negara itu mengesahkan konstitusi dari militer, yang membuka jalan bagi Pemilu.

Warga Thailand memberikan perdana menteri penguasa, Prayuth Chan Ocha, kemenangan referendum pada Minggu, dengan hasil awal menunjukkan lebih dari 61 persen pemilih memilih mendukungnya. Hasil keseluruhan dijadwalkan keluar pada Rabu.

Keinginan untuk melihat kestabilan politik lebih besar menyebabkan mereka mendukung konstitusi itu, kata pengulas. Thailand diguncang kekacauan politik selama lebih dari satu dasawarsa, yang menghambat pertumbuhan, memicu dua perebutan kekuasaan militer dan sejumlah unjuk rasa jalanan, yang biasanya merenggut nyawa.

"Kami memperkirakan akan ada Pemilu paling cepat pada September atau oktober 2017, dan seorang pemerintah baru pada Desember 2017," kata Chatchai Na Chiang Mai, juru bicara Komite Penyusunan Konstitusi kepada wartawan.

Wakil Perdana Menteri Wissanu Krea Ngam pada Senin juga mengatakan bahwa pemilihan umum akan diadakan pada 2017 mendatang, mengkonfirmasi jangka waktu yang diutarakan oleh Prayuth sebelum referendum.

Sebelum pemungutan suara diadakan, partai-partai besar di thailand mengkritik rancangan konstitusi itu, menyebit konstitusi tersebut akan mengekang demokrasi, termasuk adanya tuntutan untuk seorang Senat dengan kursi yang telah disiapkan untuk para komandan militer.

Memilih
Pemungutan suara lain yang akan mengizinkan Senat untuk memilih seorang perdana menteri bersama dengan majelis rendah juga mendapatkan dukungan besar.

"Meskipun banyak yang menduga bahwa konstitusi baru dapat merusak hak-hak demokratis mereka sebelumnya, resiko yang terlihat akan ketidakpastian politik dan ketidakstabilan ekonomi yang lebih besar, jika konstitusi itu tidak didukung, itu lebih buruk," kata john Garrett, pengulas penelitian Asia dari Unit Intelijen Ekonomis.

Sejumlah wawancara dengan para pejabat militer menunjukkan ambisi militer untuk meniadakan kudeta ke depannya dengan cara melemahkan partai-partai politik dan mewajibkan pemerintah berikutnya untuk mengikuti sebuah rencana pengembangan nasional selama 20 tahun yang diatur oleh pihak militer.

Hasil referendum itu akan mengesahkan keputusan junta untuk memperluas cakupannya terhadap kekuasaan melalui konstitusi itu, Sinai Phase, peneliti Thailand dari Human Rights Watch.

"Itu akan membesarkan pemikiran pemimpin junta, Prayuth, untuk berpikir bahwa dia mendapatkan jutaan rakyat Thailand di belakangnya dan itu akan memperluas kendali militer bukan untuk satu atau dua tahun, namun 20 tahun," kata Sinai kepada Reuters.

Pemodal thailand menyambut hasil itu pada Senin dan pasar modal Thailand menyentuh nilai tertingginya dalam 16 bulan belakangan.

Hasil mendukung itu akan berdampak positif terhadap perekonomian dan investasi pada paruh kedua 2016, kata Kepala Bank of Thailand, Veerathai Santiphrabhob, Senin.

Terpisah
Thailand masih terpisahkan selama lebih dari satu dasawarsa antara kubu-kubu pesaing. Salah satunya dipimpin oleh mantan perdana menteri merakyat, thaksin Shinawatra, yang digulingkan dalam kudeta 2006 dan kemudian mengasingkan diri.

Partai Puea Thai, yang mengusung saudarinya, Yingluck, terpilih dalam pemilihan umum 2011, tapi tersingkir dalam kudeta 2014.

Yang melawan Thaksin beserta sekutunya adalah kerajaan dan militer, yang menuduhnya melakukan nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan, yang dia sangkal.

Hasil awal menunjukkan bagian timur laut, yang merupakan sebuah markas kubu Thaksin, dan tiga provinsi selatan dengan penduduk mayoritas Muslim, tempat terjadinya pemberontakan sejak 2004, memilih tidak setuju dengan rancangan konstitusi terkait.

Hasil itu menunjukkan bahwa Thailand masih terbagi, kata Sunai dari Human Rights Watch.

"Di bagian selatan ini merupakan sebuah kendali terhadap negara Buddha Thailand. Di bagian timur laut, itu menunjukkan bagaimana, apa pun usaha penguasa merusak Puea Thai, perasaan masyarakat masih bersama Thaksin," katanya.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016