Banda Aceh (ANTARA News) - Tim Panitia Khusus (Pansus) IX Komisi I DPR RI meminta, agar masyarakat luas jangan memposisikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai daerah rawan, sehingga pembangunan Aceh lebih optimal. "Aceh jangan diposisikan sebagai daerah rawan pasca penandatanganan nota kesepahaman (MoU) Helsinki, perdamaian yang dirasakan masyarakat menjadi modal utama dalam membangun Aceh," kata anggota Tim Pansus, Happy Bone Zulkarnain, di Banda Aceh, Senin. Tim Pansus IX Komisi I DPR RI yang diketuai Theo L. Sambuaga melakukan kunjungan kerja ke Aceh untuk melihat langsung pelaksanaan tugas pemerintahan Pemda NAD. Kunjungan kerja yang dilakukan dalam reses masa persidangan III DPR RI Tahun sidang 2006-2007 itu mengadakan pertemuan dengan Gubernur Irwandi Yusuf dan muspida setempat. Anggota Tim Pansus lainnya, Ali Mochtar Ngabalin mengharapkan tidak ada lagi dikotomi antara RI dan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena masalah telah selesai pasca MoU Helsinki. "Orang harus melihat Aceh dengan bersih, pikiran yang jernih dan memprioritaskan bagaimana masyarakat Aceh memperoleh hak-haknya," katanya. Ia menekankan, sudah saatnya sekarang tidak lagi membicarakan tentang operasi intelejen tempur tetapi operasi intelijen untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan dengan baik. "Saya kira ini penting, agar kita tidak lagi menemukan masalah, orang Aceh sudah harus merasakan kenikmatan dan kedamaian," katanya. Sementara itu, Kapolda NAD, Irjen Pol. Bahrumsyah, mengatakan bahwa situasi Aceh pasca-MoU Helsinki harus ditangani secara baik, karena apabila tidak mampu ditangani, maka dapat menimbulkan kerawanan. "Masalah apa pun di Aceh ini bisa rawan, wajar kalau kita waspada terutama aparat kepolisian memang tugas utamanya menjaga keamanan tetapi kita kembalikan kepada siapa yang melihatnya," katanya. Dia mengatakan, aparat kepolisian di jajaran Polda NAD memiliki tugas yang lebih besar dibandingkan daerah lain karena terdapat sejumlah sumber ancaman yang dapat menimbulkan kerawanan. "Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias merupakan sumber ancaman yang tidak ada di daerah lain. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BRR dan isu korupsi menimbulkan unjuk rasa," katanya. Selain itu, pelaksanaan syariat Islam selama ini dinilai belum sesuai dan peran polisi mendukung petugas Wilayatul Hisbah (WH) mempunyai tantangan yang cukup berat. Proses reintegrasi yang sedang berjalan juga harus menemukan masalah terkait penyaluran dana dari Badan Reintergrasi Damai Aceh (BRDA) dan meningkatnya kriminalitas di Aceh menambah tugas polisi. "Yang jelas Polda NAD tetap waspada namun kami akan mendukung pemerintahan Gubernur Irwandi Yusuf dan wakilnya Muhammad Nazar dalam menjalankan pemerintahan," demikian Kapolda NAD. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007