Paris (ANTARA News) - Larangan terhadap "burkini" --pakaian renang Muslimah, yang menutup seluruh tubuh-- di pantai Prancis telah menyulut perdebatan di negeri itu di kalangan yang menentang dan mendukung langkah yang baru disahkan tersebut.

Perdebatan politik dalam beberapa pekan belakangan telah memicu gelombang komentar yang bahkan memperlihatkan pertikaian di kubu Partai Sosialis, yang berkuasa, beberapa bulan sebelum pemilihan presiden 2017.

Pada pertengahan Agustus, wali-kota kota pantai termasuk Cannes, Villeneuve-Loubet dan Sisco di Pulau Corsica, dan Le Touquet memberlakukan parangan perempuan Muslimah mengenakan burkini --yang hanya memperlihatkan muka, kedua tangan dan kaki. Larangan tersebut diberlakukan setelah perkelahian antara keluarga Muslim dan sekelompok pemuda Corsican di Sisco.

Kontroversi itu mencuat setelah gambar yang disiarkan di media sosial memperlihatkan polisi bersenjata sedang memerintahkan seorang Muslimah di satu pantai di Kota Nice, Riviera, untuk membuka pakaiannya.

Polisi juga telah mendenda seorang perempuan di satu pantai di Cannes karena menutup seluruh tubuhnya dan memakai jilbab.

Dalam satu pertemuan para pemimpin Partai Sosialis Eropa di bagian utara-tengah Prancis, Presiden Prancis Francois Hollande menyeru "setiap orang agar menghormati peraturan tanpa provokasi, tanpa stigmatisasi".

Ketika berbicara kepada lembaga penyiaran lokal Europe1, Menteri Pendidikan Najat Vallaud-Belkacem, sebagaiman dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat malam, mengatakan, "Penyebaran anti-burkini tidak diterima." Ia menekankan kondisi semacam itu "menyulut prasangka dan diskriminasi terhadap satu masyarakat".

"Tak ada kaitan antara serangan teror Daesh dan pakaian yang dikenakan seorang perempuan di pantai," kata wanita menteri tersebut.

Buat Menteri Kesehatan Marisol Touraine, "sekularisme tidak menolak agama". "Itu adalah jaminan kebebasan individu dan kolektif. Itu tak bisa dan tak boleh menjadi ujung tombak stigma berbahaya bagi kerekatan negara kita", tulis Touraine.

Saat membantah pengeritik mengenai tersisihnya masyarakat Muslim, Perdana Menteri Prancis Manuel Valls membela larangan Muslimah mengenakan burkini dan memandangnya bermanfaat "untuk memerangi Islam radikal, melawan lambang agama yang meresap ke dalam ruang publik".

"Buat saya, burkini adalah lamgban perbudakan perempuan," kata Manuel Valls kepada saluran berita BFMTV.

Di kubu sayap-kanan, mantan presiden Prancis Nicolas Sarkozy mengatakan kepada Majalah Le Figaro "burkini adalah tindakan politik, perbuatan kaum fanatik, provokasi. Perempuan yang mengenakannya menguji-coba republik ini".

Dalam satu pertemuan darurat dengan Menteri Dalam Negeri Bernard Cazeneuve, Anouar Kbibech --Kepala Dewan Agama Islam Prancis (CFCM) pada Rabu (24/8) menyampaikan keprihatinan dan perasaannya yang mendalam mengenai arah perdebatan publik".

"Dalam konteks pasca-serangan ini, kami memerlukan toleransi dan tindakan untuk menenangkan lebih dari sebelumnya dan jauh dari stigmatisasi apa pun," kata Kbibech.

Liga Hak Asasi Manusia Prancis mengajukan banding atas keputusan Kota Kecil Villeneuve-Loubet di Prancis Selatan untuk melarang burkini. Pada Jumat, Pengadilan Tinggi Adiministrasi di negeri tersebut dijadwalkan memutuskan apakah akan mempertahankan atau mencabuk dekrit itu.

(Uu.C003)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016