Bandung (ANTARA News) - Pada setiap konflik yang terjadi di Indonesia, seperti konflik horisontal di Poso dan Ambon maupun konflik vertikal dengan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh, Wakil Presiden Jusuf Kalla selalu memiliki andil mendamaikan. Padahal menurut pengakuannya, keterlibatannya dalam penyelesaian konflik secara damai berawal dari ketidaksengajaan. Namun ternyata hasilnya sungguh sangat luar biasa. Dunia internasionalpun mengakuinya, khususnya dalam penyelesaian damai dengan GAM, yang melahirkan MoU Heshinki. "Keterlibatan saya dalam penyelesaian konflik, semua tidak sengaja, karena tugas saya sebagai Menteri Koordinator bidang Kesejateraan Rakyat (Menko Kesra) untuk mengatasi pengungsi," kata Jusuf Kalla, di depan para mahasiswa program Magister Managemen Studi Pertahanan Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurut Wapres, saat itu sedang terjadi konflik horisontal di Poso. Selaku Menko Kesra, ia harus mengurus sekitar 250 ribu pengungsi dan merupakan 70 persen total jumlah penduduk Poso. "Saya datang ke Poso. Saya melihat ini timbul kesalahpahaman luar biasa baik di kelompok Islam maupun Kristen," kata Wapres mulai membeberkan rahasianya menjadi juru damai konflik. Pada saat itu, tambah Wapres, para pengungsi Kristen di Tentena, merasa teraniaya oleh kelompok Islam. Namun juga sebaliknya kelompok Islam di Poso juga merasa teraniaya. "Saya ambil mikrofon dan katakan siapa yang menganiaya? Yang terjadi adalah anda saling menganiaya," kata Wapres dengan tegas. Dari situlah ia mengambil keputusan dan melapor ke Presiden Megawati Soekarnoputri untuk meminta ijin guna menyelesaikan konflik berdarah di Poso ini. Wapres menjelaskan konflik Poso sebenarnya berawal dari masalah politik, yakni persaingan memperebutkan kursi Bupati. Ada dua kandidat yang kebetulan Islam dan yang lainnya Kristen. Setelah salah satu memenangi pilkada itu, tiba-tiba yang menang mengambil semua kekuasaan. Padahal pada era sebelumnya Muspida selalu mengatur agar ada keseimbangan. Caranya, jika bupatinya dari Islam, maka Wakilnya dari Kristen dan begitu pula sebaliknya, sehingga terjadi harmoni. Namun "tradisi" itu tidak diteruskan, sehingga timbul disharmoni. Kelompok yang kalah kemudian mengaitkan itu dengan agama, yang akhirnya persoalan itu bergulir bagai bola salju. Pemimpin agama pun tiba-tiba membawa solidaritas keagamaan. "Mereka menjual surga dengan murah. (Mereka) mengatakan kalau kau bisa bunuh lawan akan masuk surga. Jadilah perebutan kursi bupati itu, berubah menjadi persaingan antar suku serta agama," kata Wapres. Karena itulah, kiat pertama yang dilakukan Yusuf Kalla adalah membuka dialog dengan kedua belah pihak. "Kalau ingin menyelesaikan konflik ini rumusnya sederhana, harus tahu apa penyebabnya. Dan semua upaya damai hanya satu rumusnya; lakukan dialog dan kompromi. Jadi harus cari titik temunya sehingga damai dapat diterima kedua belah pihak," kata Wapres. Tiga penyebab Dalam pandangan Wapres, semua konflik di Indonesia baik yang vertikal maupun horisontal penyebabnya hanya ada tiga, pertama, masalah idiologi seperti PKI dan DI-TII. Kedua, penyebabnya karena ketidakadilan ekonomi, seperti kasus PRRI Permesta di Sulsel, serta GAM di Aceh. Dan ketiga, karena faktor sejarah ingin merdeka. Contohnya kasus Timor Timur. "Namun untuk menyelesaikan konflik tidak ada cara yang sama, tidak ada platform yang sama karena semua tergantung akar masalahnya, latar belakang serta perkembangannya," kata Wapres. Tetapi yang terpenting, tambahnya untuk menyelesaikan konflik harus tahu siapa orangnya, apa maunya dan siapa pemimpin utamanya. Jika konflik yang terjadi adalah konflik vertikal, tambah Wapres, maka penyelesaiannya melalui rekonsiliasi dan bentuk pemberian amnesti dan rehabilitasi. Jaga Harga Diri Lawan "Dalam perundingan perdamaian yang pertama harus dijaga adalah harga diri lawan. (Dignity) harus dijaga, tak boleh harga dirinya direndahkan. Orang berperang karena dignity," kata Wapres. Harga diri lawan tersebut harus terus dijaga pada semua tahapan perundingan. "Kalau mau damai, cari lawan yang paling keras lebih dahulu, karena kalau sudah bisa tundukan yang keras, nanti gampang tundukan yang lembut," kata Wapres. Namun untuk mencari lawan yang paling keras, tambah Wapres, harus dilakukan pertemuan-pertemuan informal (lobi-lobi) lebih dahulu. Kalau perlu 50 persen persoalan sudah selesai pada pertemuan informal, baru setelah itu masuk ke tahap formal. Pertemuan informal juga harus digunakan untuk mencari siapa pemimpin utamanya, siapa panglima perangnya, siapa lawan yang paling keras. Setelah ditemukan, undang mereka per kelompok untuk diajak dialog, "apa maunya dan apa keinginannya." "Biasanya dalam pertemuan awal mereka berdua selalu bilang kita mau berhenti, tetapi tidak mau damai. Oke ngak masalah. Ini kita bicara soal penghentian konflik. Biasanya dengan begitu mereka terima. Padahal apa bedanya penghentian konflik dengan damai. Tapi okelah itu soal dignity," kata Wapres yang disambut tawa hadirin. Selain itu, agar tahapan damai tak terganggu, pertemuan harus dijadwal dengan tegas, karena jika tidak ada jadwal yang tegas perundingan tidak fokus dan akan lari ke sana-kemari. Dengan memiliki jadwal, maka akan ada arah yang jelas kemana perundingan akan berakhir. Namun, Wapres mengingatkan untuk menyelesaikan konflik yang utama harus benar-benar netral dan adil. "Jika datang ke kelompok Kristen, maka ia harus juga datang ke kelompok Islam. Jika datang ke mesjid satu hari, maka harus datang ke gereja juga satu hari," ujarnya. Selain itu, tambah Wapres, penengah juga tidak boleh takut kepada mereka. "Jadi jangan pernah tampakkan rasa takut pada mereka. Kasih tahu pada mereka bahwa kita tidak takut, kita datangi kedua belah pihak tanpa pengawalan," kata Wapres. Saat menyelesaikan kasus Poso, ia datang ke Tentena (wilayah Kriten), namun dengan mengajak seorang anggota Polisi Simatupang yang beragama Kristen. Alasannya, kata Wapres, supaya kalau ada orang Kristen, maka Simatupang yang diminta berada di depan. Namun jika dikelompok Islam, maka ia sendiri yang akan ada di depan. Dan kiat-kiat seperti itu pula yang ia gunakan untuk menyelesaikan perundingan damai dengan GAM. Namun, tambah Wapres, untuk penyelesaian dengan GAM, ia sengaja mencari tim perunding yang bukan berasal dari suku Jawa. Karena GAM sangat memiliki trauma dengan suku tersebut. "Saat saya ketemu Malik Mahmoud, saya katakan mungkin Indonesia tidak akan kalahkan GAM, tapi Indonesia siap berperang 100 tahun. Tapi juga mungkin GAM tak bisa kalahkan Indonesia, karena kekuatan GAM hanya 5.000, sementara Indonesia satu juta. Kalau Indonesia siap berperang 100 tahun, maka yang menjadi korban orang Aceh karena tempat perang di Aceh," kata Wapres mengungkapkan kiatnya menundukkan Malik Mahmoud agar bersedia berunding. Dari situlah, katanya, selanjutnya dilakukan perundingan-perundingan secara marathon. Dan semua tahapan perundingan ia selalu menerapkan kiat-kiat yang sama yakni cara lawan yang keras, jaga kehormatan dan harga diri lawan (dignity), jaga kepercayaan, serta cari titik temu untuk mencapai perdamaian yang bisa diterima kedua belah pihak. Karena pengalamannya mendamaikan konflik, Wapres seringkali diundang di forum internasional, seperti di Spanyol dan India, untuk menularkan kiatnya. Model penyelesaian damai GAM-RI sekarang menjadi rujukkan internasional untuk menyelesaikan berbagai konflik di belahan dunia. Namun Wapres memiliki pengalaman menarik ketika bertemu dengan Perdana Menteri Somalia. Waktu itu, ia menanyakan kepada pemimpin Somalia, mengapa di Somalia terus terjadi konflik. Atas pertanyaan itu, Wapres justru diundang untuk ikut menyelesaikan konflik Somalia. "Wah kalau itu nanti saja di sini masih banyak kerjaan, nanti kalau pensiun kita bikin kantor konsultan perdamaian," kata Wapres sambil tertawa. (*)

Oleh Oleh Jaka S Suryo
Copyright © ANTARA 2007