Jakarta (ANTARA News) - Baru-baru ini Polri mengungkap sebuah praktik bisnis jasa pemuas seks untuk kalangan homoseksual yang ternyata melibatkan puluhan bocah laki-laki di bawah umur sebagai korbannya.

Kasus praktik prostitusi online untuk para homoseksual yang melibatkan anak-anak di bawah umur terkuak setelah polisi menjebak pelaku dengan cara menyamar.

"Kami coba pancing, pesan enam anak, dia (tersangka AR) minta separuh harga dari harga Rp1,2 juta per anak," kata Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto.

Menurutnya pada awal Agustus 2016, penyidik Subdirektorat Cyber Patrol Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim mencium adanya bisnis prostitusi online yang memperdagangkan anak-anak lelaki kepada pria homoseksual melalui jejaring sosial Facebook.

Selanjutnya, penyidik memantau akun Facebook milik pelaku berinisial AR selama beberapa pekan. Kemudian penyidik menyamar sebagai pembeli dengan mencoba berkomunikasi dengan AR dan sepakat untuk melakukan transaksi.

Kemudian polisi membayar uang muka melalui transfer bank. Selanjutnya AR mengajak bertemu di sebuah hotel di Cipayung, Puncak, Jawa Barat.

"Anggota (polisi) menyamar dan memesan enam anak, AR minta dibayar separuh dulu melalui tranfer rekening. Lalu AR menentukan tempat bertemu di Hotel CA di Puncak, Bogor yang dianggapnya aman," katanya.

Selanjutnya pada Selasa (30/8), polisi menangkap AR di hotel yang beralamat di Jalan Raya Puncak KM 75 Cipayung, Bogor, Jawa Barat itu.

Selain menangkap AR, di hotel tersebut, polisi juga mengamankan tujuh korban, yakni enam anak laki-laki di bawah umur dan seorang pria berusia 18 tahun.

Selanjutnya pada Rabu (31/8), polisi kembali menangkap dua tersangka lainnya berinisial U dan E di Pasar Ciawi, Bogor, Jawa Barat.

"Keduanya (tersangka U dan E) terkait dengan tersangka AR," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya.

Menurut Brigjen Agung, U memiliki peran yang sama dengan tersangka AR yakni sebagai muncikari. U diketahui merupakan muncikari yang memiliki empat orang anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks. Jaringan prostitusi U berbeda dengan jaringan AR.

"Jaringannya berbeda tapi saling berhubungan," katanya.

Sementara E diketahui merupakan pedagang sayur di Pasar Ciawi, Bogor, Jawa Barat. E merekrut anak-anak untuk dipekerjakan kepada AR. Mulanya ia mengajak anak-anak untuk berdagang sayuran, kemudian menawari mereka penghasilan tambahan bila bersedia menjadi pekerja seks.

Dalam jaringan AR, E juga berperan sebagai penyedia rekening untuk menampung uang hasil dari bisnis prostitusi online milik AR.

Selain membantu AR, E juga diketahui memiliki orientasi seks yang menyimpang.

"E melakukan hubungan badan dengan anak-anak lelaki," ujarnya.

Atas perbuatannya, tersangka AR, U dan E dikenakan pasal berlapis terkait UU ITE, UU Pornografi, UU Perlindungan Anak, UU Pencucian Uang, dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Agung menyebut anak-anak korban eksploitasi seksual jaringan tersangka AR menggunakan jejaring sosial Facebook untuk berkomunikasi dengan tersangka AR.

Menurutnya, dalam kesehariannya, para korban tetap beraktivitas normal seperti bersekolah lalu pulang ke rumah masing-masing. Bila ada pihak yang akan memakai jasa korban, baru anak-anak ini akan pergi menemui pelanggan tersebut.

Para orang tua dari anak-anak ini umumnya tidak mengetahui anak-anak mereka bekerja sebagai pekerja seks.

Dalam pengembangan kasus ini, diketahui sebanyak 27 orang dari 99 orang yang disinyalir menjadi korban kasus prostitusi online jaringan tersangka AR merupakan anak-anak di bawah umur.

"Dari 99 orang yang jadi korban, kami sudah identifikasi 27 di antaranya anak-anak dengan kisaran usia 13 tahun hingga 17 tahun," kata Brigjen Agung.

Sedangkan 72 orang lainnya merupakan pria dewasa dengan rentang usia 18 tahun hingga 23 tahun.

Sementara dari tarif yang ditawarkan AR kepada para pelanggannya yaitu sebesar Rp1,2 juta per orang, diketahui bahwa uang yang diterima korban berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp150 ribu.

Polisi juga mensinyalir bahwa lokasi prostitusi anak ini tidak hanya terjadi di kawasan Bogor, Jawa Barat saja.

"Kita mengidentifikasi korban itu tidak hanya di Bogor, tapi juga ada di tempat lain, Jakarta, Bandung juga ada," katanya.



AR Residivis Kasus Serupa



AR merupakan residivis kasus serupa yang baru selesai menjalani hukuman di Lapas Paledang, Bogor, Jawa Barat pada Maret 2016. Ia dipenjara selama dua tahun enam bulan atas kasus prostitusi yang melibatkan korban PSK perempuan.

Usai bebas dari penjara, AR kemudian aktif dalam sebuah LSM. Di LSM tersebut, AR banyak memberi penyuluhan mengenai bahaya penyakit HIV-AIDS kepada kaum LGBT (lesbian, gay, biseks dan transgender).

Dari pekerjaannya sebagai penyuluh di LSM, AR pun berkenalan dengan sekelompok kaum gay dan membentuk komunitas yang bernama Reo Ceper Management (RCM).

"Rumah kos AR dijadikan tempat kumpul-kumpul grup RCM ini," tutur Agung.

Dalam menjalankan aksinya, AR membuat akun Facebook untuk menjajakan anak-anak di bawah umur kepada kaum homoseks. Akun Facebook milik AR ini bernama Berondong Bogor.

Tak hanya melalui Facebook, AR juga menggunakan aplikasi kencan Grindr dalam berinteraksi dengan pelanggan.

"Nama aplikasinya Grindr," kata Kasubdit Cyber Crime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Pol Himawan Bayu Aji.

Menurutnya, para member yang mendaftarkan diri di aplikasi ini akan mengunggah fotonya dan identitasnya agar bisa diketahui para member lainnya.

Dengan memanfaatkan aplikasi ini, AR menarik perhatian kaum homoseksual untuk menggunakan jasa prostitusi yang ia pasarkan.

Dalam menawarkan jasanya di Grindr, AR tidak menuliskan harga penawarannya dalam profil korbannya.

"Harga tidak dicantumkan. Cuma ada foto profil, nama dan umur. Pengguna aplikasi bisa berkomunikasi dengan korban melalui aplikasi ini," kata Kombes Himawan.



Penanganan Bagi Korban


Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan pihaknya memberikan perhatian penuh pada kasus ini.

"Kami sangat prihatin atas kasus ini. Tugas Kemensos pada proses rehabilitasinya," kata Mensos Khofifah.

Menurutnya, anak-anak lelaki yang menjadi korban dalam kasus ini tengah dipulihkan kondisi mentalnya melalui terapi psikososial. Terapi psikososial kepada tujuh orang korban dilakukan di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) dan Safe House milik Kementerian Sosial.

"Setelah cek medis, seluruh korban akan kami rehabilitasi di RSPA dan Safe House. Tergantung dari hasil komunikasi dengan korban," kata Menteri Khofifah.

Selain terapi kejiwaan, pihaknya juga melakukan pemeriksaan medis terhadap para korban.

Pemeriksaan medis ini untuk mengetahui adanya kemungkinan korban yang terinfeksi penyakit.

"Sekarang kami masih menunggu hasil tes kesehatan, semoga enggak ada (korban) yang terinfeksi HIV atau PMS (penyakit menular seksual) lainnya," katanya.

Sementara terkait waktu yang dibutuhkan untuk menjalani terapi, Mensos mengatakan hal tersebut sangat tergantung dari analisa dampak dan trauma dalam diri para korban. Semakin berat trauma yang dirasakan korban, maka semakin lama pula terapi yang dilakukan.

"Selain untuk memulihkan kondisi psikologis korban, terapi ini untuk mencegah agar korban tidak berubah menjadi pelaku di kemudian hari," katanya.



Orang Tua Harus Berhati-hati


Mensos mengatakan kasus ini menjadi peringatan bagi semua orang tua untuk lebih berhati-hati dalam menjaga, mengasuh, dan mendidik buah hatinya.

Pelaku kekerasan seksual, kata dia, menggunakan berbagai cara dalam membujuk para korbannya. Terlebih saat ini teknologi dan arus informasi dapat diakses dengan cepat.

Menurut Mensos, realitas saat ini, anak-anak cenderung berperilaku hedonis dan konsumtif. Selain itu, anak juga mudah meniru apa yang dilakukan oleh orang lain. Celah inilah yang digunakan pelaku kejahatan seksual melancarkan aksinya.

"Mereka dibujuk dan diiming-imingi sesuatu sehingga tertarik. Motif ini yang paling banyak digunakan. Adapun media yang digunakan kebanyakan melalui media virtual," jelas Khofifah.

Banyaknya anak-anak yang menjadi korban dalam kasus prostitusi homoseksual merupakan sebuah fenomena yang memprihatinkan.

Fakta ini menunjukkan bahwa ada anak-anak yang mudah tergiur dengan tawaran sejumlah uang dan rela melakukan tindakan prostitusi tanpa memikirkan resiko hukum dan kesehatan yang akan mereka hadapi.

Disinilah pentingnya peranan orang tua agar selalu mengawasi dan menjaga kedekatan dengan anak sehingga orang tua dapat menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak dan tidak ikut terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum.

Oleh Anita Permata Dewi
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016