Jakarta (ANTARA News) - Kasus kebakaran hutan selalu menghantui wilayah-wilayah rawan kebakaran setiap tahunnya. Polri dan semua pihak yang berkepentingan telah berusaha untuk mengatasi terjadinya kebakaran hutan dan menghukum para pelakunya. Namun hingga saat ini kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terus terjadi.

Dalam penanganan kasus karhutla di Provinsi Riau, Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Riau telah menetapkan dua korporasi yang bergerak di bidang perkebunan sawit sebagai tersangka pembakar hutan dan lahan.

Direktur Kriminal Khusus Polda Riau, Kombes Pol Rivai Sinambela menjelaskan kedua perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka itu adalah PT Wahana Sawit Subur Indah (WSSI) dan PT Sontang Sawit Permai (SSP).

"PT WSSI, pekan ini telah kita tetapkan sebagai tersangka, yakni direktur utamanya berinisial OA. Dalam waktu dekat berkasnya akan kita limpahkan ke Kejaksaan," kata Rivai.

Sementara PT SSP secara korporasi telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun untuk pihak yang bertanggung jawab di perusahaan tersebut, ia mengatakan, akan segera melakukan pemeriksaan termasuk susunan struktur perusahaan.

PT WSSI, kata Rivai, merupakan perusahaan perkebunan sawit yang berada di Kabupaten Siak, Riau. Luas lahan yang terbakar di perusahaan itu mencapai 80 hektar.

Sementara itu, luas lahan terbakar milik PT SSP yang juga bergerak di perkebunan sawit dan berlokasi di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, mencapai 40 hektar.

"Jadi total luas lahan yang terbakar di kedua perusahaan itu mencapai 120 hektar," tegasnya.

Lebih lanjut Kepala Subdit IV Ditkrimsus Polda Riau, AKBP Hariwiyawan Harun menjelaskan, lahan PT WSSI sebenarnya terbakar pada 2015. Namun, penyidik baru dapat meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan pada tahun ini setelah menemukan sejumlah bukti dan memeriksa saksi-saksi.

PT WSSI yang mengantongi izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan pada 2005 dengan luas lahan mencapai 5.720 hektar itu dipastikan sengaja membakar lahan di area semak belukar.

Sementara lahan PT SSP terbakar pada Agustus 2016. Hasil penyelidikan disimpulkan bahwa perusahaan yang memiliki luas lahan 1.500 hektar itu sengaja membakar lahan di area tertentu.

"Modusnya adalah dengan membuat sekat kanal pada area tertentu sehingga lahan yang dibakar tidak meluas ke lahan yang telah ditanami sawit," kata AKBP Hariwiyawan.

Setidaknya ada dua area yang terbakar di perusahaan itu, masing-masing adalah Blok A18 dan A19. Kedua blok itu berada di antara dua lahan yang telah ditanami sawit. Hariwiyawan mengatakan perusahaan telah begitu rapi merangkai kanal sehingga api tidak menyebar ke lahan yang ditanami sawit.

Sementara Polda Kalbar, hingga kini, telah menangani 150 kasus karhutla. Dari jumlah itu, delapan kasus sudah proses hukum, 142 kasus masih penyelidikan, dan satu kasus di SP3 karena lahan yang terbakar tidak sampai satu hektar.

Kabid Humas Polda Kalbar Kombes Pol Suhadi SW mengimbau masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara membakar. "Kalau melihat ada kebakaran lahan agar secepatnya melapor pada kepolisian terdekat, agar bisa dilakukan tindakan lanjutan, berupa pemadaman dan lainnya," katanya.

Sedikitnya 85 orang tersangka kasus karhutla di Riau tahun ini.

"Ada 85 tersangka perorangan yang ditangkap," kata Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto.

Selain itu, Bareskrim juga menyelidiki sembilan korporasi yang diduga menjadi pelaku pembakaran lahan.

Para tersangka terancam pasal berlapis yakni Pasal 78 UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.

Kemudian Pasal 4 UU RI Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan dengan ancaman pidana penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar serta Pasal 108 UU RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan diancam pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.


15 Korporasi di-SP3

Dalam proses hukum terhadap kasus karhutla, tercatat 15 korporasi telah dihentikan penyidikannya atau di-SP3. Ke 15 perusahaan tersebut yakni PT. Parawira Group (ditangani Polres Pelalawan), KUD Bina Jaya Langgam (ditangani Polres Pelalawan), PT. Bukit Raya Pelalawan (ditangani Polres Pelalawan), PT. Bina Duta Laksana (Ditreskrimsus), PT. Perawang Sukses Perkasa Indah (Ditreskrimsus), dan PT. Pan United (Ditreskrimsus).

Selain itu PT. Alam Sari Lestari (Ditreskrimsus), PT. Riau Jaya Utama (Ditreskrimsus), PT. Suntara Gaja Pati (Polres Dumai), PT. Siak Timber Raya (Ditreskrimsus), PT. Hutani Sola Lestari (Ditreskrimsus), PT. Dexter Rimba Perkasa (Polres Rohil), PT. Ruas Utama Jaya (Polres Rohil), PT. Sumatera Riang Lestari (Ditreskrimsus) dan PT. Rimba Lazuardi (Ditreskrimsus).

Belasan perusahaan tersebut dihentikan proses penyidikannya karena tidak cukup bukti.

"Tidak cukup bukti. Data awal (kebakaran) ada di kawasan perusahaan, setelah disidik, ternyata izin perusahaan sudah habis. Ada juga yang kawasan (yang terbakar) sengketa jadi bukan milik perusahaan," kata jenderal bintang tiga itu.

Menanggapi terbitnya SP3 tersebut, anggota Komisi IV DPR RI Rofi Munawar menginginkan agar pemerintah bertindak tegas dalam menyelesaikannya agar tidak dinilai relatif mudah terjadi lagi penerbitan SP3 terkait kasus karhuta.

"Jika kasus ini dimonitoring dengan baik dan dikumpulkan bukti-bukti yang memadai dalam prosesnya, maka tidak perlu ada keterkejutan dari pihak Pemerintah," kata Rofi Munawar.

Menurut dia, terbitnya SP3 terhadap 15 perusahaan yang sempat menjadi tersangka pembakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 menunjukkan penanganan karhutla tidak fokus pada pencegahan dan penindakan namun lebih pada reaktif situasional.

Rofi berpendapat pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum optimal dalam mengumpulkan bukti-bukti penyebab kebakaran hutan dan memantau perkembangan proses hukum terhadap pelaku kebakaran hutan tersebut.

Politisi PKS itu menegaskan dengan SP3 tersebut, publik seakan menafsirkan bahwa peristiwa karhutla yang berdampak hebat pada 2015 hanyalah kejadian alam biasa dan bukan tindakan pelanggaran korporasi.

Padahal, lanjutnya, kejadian kebakaran hutan dan lahan terjadi di area hutan produksi dan terjadi sangat masif yang berdampak pada polusi udara, gangguan penyakit, hingga meluasnya asap ke negara lain.

Kebakaran hutan dan lahan hingga saat ini masih belum dapat diselesaikan dan masih terus terjadi. Padahal peristiwa tersebut sangat merugikan masyarakat, merusak alam dan mengganggu hubungan Indonesia dengan negara tetangga.

Pemerintah dan aparat diharapkan mampu menindak tegas para pembakar hutan tanpa kompromi sehingga kebakaran hutan bisa dicegah dan keberadaan ekosistem hutan dapat terjaga kelestariannya demi generasi mendatang.

Keadaan karhutla kemungkinan dapat terus berulang setiap tahun atau pelakunya tidak jera berbuat lagi jika sanksi hukumnya terbukti kurang efektif sebagai alat preventif sekaligus represif.

Oleh Anita Permata Dewi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016