Jakarta (ANTARA News) - Renovasi dan perluasan Masjidil Haram di Mekkah oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang dimulai sekitar tahun 2013 mengakibatkan berkurangnya kapasitas daya tampung tempat tawaf (ibadah ritual mengelilingi Kabah), yang sebelumnya mencapai 48 ribu orang per jam menjadi 22 ribu orang per jam.

Dengan demikian, untuk menjamin keselamatan, kenyamanan, dan keamanan para jamaah haji di dunia, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memberlakukan kebijakan pengurangan kuota haji dunia sebesar 20 persen, sehingga kuota jamaah haji Indonesia dikurangi sebanyak 42.200 orang atau menjadi 168.800 orang, dari sebelumnya mencapai 211.000 orang.

Pengurangan kuota haji itu tentu saja menimbulkan persoalan di Tanah Air. Minat umat Islam Indonesia yang tinggi untuk berhaji, membuat daftar tunggu keberangkatan mereka untuk pergi haji menjadi tertunda.

Meski berbeda-beda untuk setiap provinsi, namun rata-rata daftar tunggu haji Indonesia itu mencapai belasan tahun, bahkan ada yang mencapai lebih dari 20 tahun.

Lamanya waktu tunggu itu membuat sebagian umat Islam berpikir mencari jalan pintas agar bisa berangkat haji dalam waktu yang tidak lama. Dari sinilah muncul berbagai kasus jamaah haji ilegal, mulai dari menggunakan paspor umroh, "overstay" di Arab Saudi hingga tibanya musim haji, atau menggunakan kuota haji negara lain.

Musim haji 1437 Hijriah/2016 ini diwarnai dengan kasus penangkapan 177 warga negara Indonesia di Filipina yang hendak berangkat haji menggunakan kuota negara itu. Rombongan tersebut akhirnya batal berangkat setelah petugas otoritas Bandara di Filipina mengetahui bahwa mereka bukan orang Filipina namun menggunakan paspor negara itu.

Belakangan diketahui, sudah ada sekitar 700 orang Indonesia lainnya yang sudah terlanjur berangkat haji menggunakan kuota negara itu.

Pemerintah Indonesia sendiri tidak tinggal diam dan langsung proaktif menangani kasus tersebut. Pihak kepolisian bahkan sudah menetapkan sedikitnya delapan tersangka dalam kasus pemberangkatan calon haji Indonesia secara ilegal dari Filipina tersebut.

Kedelapan tersangka tersebut adalah HR, Haji AS, BDMW, MNA, Haji MT, Haji F alias A, Haji AH dan ZAP.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 64 dan 63 UU No.13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.

Sementara terhadap calon haji yang berencana berangkat melalui Filipina, pemerintah tidak memberikan sanksi karena mereka dianggap sebagai korban tindakan penipuan.

Pemerintah sendiri terus berupaya membantu proses pemulangan mereka ke Tanah Air. Tim imigrasi Kementerian Hukum dan HAM sudah berangkat ke Filipina untuk mengatur pemulangan para WNI usai menunaikan ibadah haji.

Komunikasi dengan otoritas Filipian juga terus dilakukan, bukan hanya antarkepolisian kedua negara tetapi juga government to government, termasuk dalam pertemuan bilateral antara Presiden Jokowi dan Presiden Filipina yang belum lama ini berkunjung ke Indonesia.

Kementerian Luar Negeri juga menugaskan tim khusus untuk menangani kepulangan ratusan jamaah Indonesia yang melakukan ibadah haji menggunakan paspor Filipina yang diperoleh secara ilegal.

Tim yang dipimpin oleh Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal itu, telah berkoordinasi dengan otoritas Filipina untuk menyiapkan kepulangan para WNI yang diperkirakan kembali dari Arab Saudi melalui Manila pada 18-30 September 2016.

Rombongan awal pemulangan jamaah haji Filipina akan tiba di Manila pada 19 September dalam tiga kloter, yang membawa sekitar 1.049 jamaah. Dari jumlah tersebut, terdapat indikasi adanya ratusan warga negara asing yang menggunakan paspor Filipina, termasuk dari Malaysia dan Indonesia.

Tim khusus Kemlu RI telah melakukan pertemuan dengan satuan tugas yang dibentuk pemerintah Filipina untuk menangani persoalan ini. Dalam pertemuan tersebut Kemlu RI menekankan agar penanganan terhadap 177 calon haji sebelumnya bisa dijadikan pelajaran untuk mempercepat proses penanganan dengan tetap mengedepankan perlakuan bermartabat.

Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, jika pada kasus 177 WNI perlu dua minggu lebih untuk memulangkan mereka, maka kali ini diupayakan supaya sebagian besar WNI itu bisa pulang, antara tiga hingga empat hari sejak tiba di Manila.

Pemerintah Indonesia dan Filipina sepakat bahwa para jamaah haji WNI itu adalah korban penipuan, sehingga dapat dipulangkan ke Tanah Air sesegera mungkin setelah mereka tiba di Manila.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga terus berkomunikasi dengan Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay Jr untuk memastikan proses deportasi ratusan WNI dilakukan dalam waktu tidak terlalu lama.

Selain menugaskan tim khusus PWNI-BHI dan Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Kemlu juga mengkoordinasi pengiriman tim perbantuan teknis yang terdiri dari unsur Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, serta Kepolisian RI.



Kuota haji

Sebagian besar kalangan di Tanah Air menilai persoalan haji ilegal tidak lepas dari terbatasnya kuota haji Indonesia di samping tingginya animo masyarakat Indonesia untuk berangkat haji, serta pembatasan terhadap orang yang pergi haji berkali-kali.

Penentuan kuota haji tiap negara dengan cara sama rata oleh Arab Saudi dirasakan tidak adil bagi negara yang jumlah muslimnya besar seperti Indonesia. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) seharusnya melobi dan selanjutnya mengambil alih pengaturan kuota haji tersebut.

Seperti diketahui KTT OKI pada tahun 1987 menyepakati tata cara penentuan kuota haji. Dalam KTT tersebut diputuskan kuota haji 1:1000, yaitu satu dari setiap seribu orang penduduk Muslim suatu negara, berhak mendapatkan kursi jamaah haji.

Dengan keputusan ini, Indonesia mendapatkan kuota haji terbanyak di antara negara berpenduduk Muslim lainnya. Kuota haji terbanyak kedua diperoleh Pakistan, disusul kemudian oleh India dan Bangladesh.

Berdasarkan hasil kesepakatan pada KTT OKI 1987, pemerintah Arab Saudi berkewajiban menentukan kuota haji masing-masing negara. Selanjutnya, setiap negara berhak membagi kuota tersebut sesuai dengan porsi wilayah masing-masing.

Namun kenyataannya, pembagian kuota dengan cara itu tidak relevan lagi karena ada sejumlah negara yang tidak maksimal menyerap kuota yang dimilikinya, sementara ada negara lain yang antreannya begitu panjang karena kuota yang ada tidak sebanding dengan animo masyarakat yang ingin berhaji, seperti Indonesia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah menyampaikan permintaan kepada pemerintah Arab Saudi untuk menambah kuota haji bagi Indonesia, termasuk mengusulkan penggunaan kuota dari beberapa negara yang tidak menggunakan kapasitas kuota hajinya.

"Saya juga sampaikan tambahan itu juga bisa ditambah lagi dengan kuota yang diberikan Filipina, Singapura, Jepang, yang tidak terpakai, akan kita pakai semuanya," kata Presiden Joko Widodo terkait diskusinya dengan Pangeran Mohammad bin Salman dari Kerajaan Arab Saudi.

Presiden bertemu dengan Pangeran Mohammad di sela-sela KTT G20 di Hangzhou, Tiongkok pada awal September 2016.

Jokowi mengatakan pemerintah Arab Saudi telah menyepakati akan ada tambahan kuota haji bagi Indonesia, namun jumlahnya masih dipertimbangkan.

Penambahan kuota haji Indonesia tersebut diharapkan dapat mencegah terulangnya jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci melalui cara-cara ilegal.

Sejalan dengan itu, pemerintah juga diharapkan untuk terus berkomitmen meningkatkan pelayanan haji, terutama saat puncak haji di Arafah dan Mina, agar jamaah haji Indonesia semakin nyaman dalam menjalani ibadah.

Oleh Arief Mujayatno
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016