Saat kaki menapaki ratusan anak tangga, keringat deras mengucur. Hanya satu yang terucap dari bibir di sela degup jantung dan desah nafas yang mulai eratik.

"La ilaha illallah."

Memohon pertolongan Yang Maha untuk dapat mencapai satu tempat di mana konon Malaikat Jibril untuk pertama kalinya turun ke bumi. Menampakkan sosoknya di hadapan Muhammad muda untuk menyampaikan pesan Tuhan.

Terletak di ketinggian 642 meter, Gua Hira -- lokasi turunnya wahyu pertama dalam Al Quran -- sungguh dekat di mata jauh di kaki. Berada di salah satu lereng Jabal Nur yang terletak kawasan Hezaz, lokasinya sesungguhnya hanya tujuh kilo meter dari pusat Mekkah.

Tak pula setinggi Merapi yang galak di Pulau Jawa apalagi Puncak Jaya Wijaya di ujung timur Indonesia.

Tapi dini hari itu para wisatawan Gua Hira bukanlah sosok-sosok penakluk alam dengan sejuta perlengkapan dan pengalamannya.

Mereka yang berduyun-duyun saat gelap masih mengangkasa adalah para jamaah haji dari berbagai belahan dunia yang ingin menghabiskan waktu di Mekkah sebelum kembali pulang dengan berkunjung ke satu tempat di mana ratusan tahun lalu, Sang Nabi bersimpuh menerima wahyu pertama.

Suatu titik awal kelahiran Islam. Agama yang kini menjadi pegangan dan panduan bagi mereka untuk menjalani hari-hari di dunia seraya menanti surga yang dijanjikan.

Berdiri di kaki Jabal Nur yang artinya bukit cahaya bila merujuk pada wahyu yang kemudian menerangi kehidupan manusia, mungkin sebagian besar wisatawan akan langsung berkecil hati saat menatap bukit yang menjulang itu.

"Guanya ada di balik puncak," kata Khoirun, seorang petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang sudah beberapa kali ke tempat itu.

Dan puncak tersebut terlihat hampir menyentuh langit dari lokasi mobil-mobil diparkirkan. Menciutkan nyali bagi orang-orang kota yang tak pernah naik tangga apalagi naik gunung.

Tapi anehnya bahkan dengan bantuan tongkat di tangan kanan dan kiri puluhan jamaah lanjut usia yang pagi itu kebanyakan dari Turki, tak kemudian berbalik arah.

Selangkah demi selanglah mereka membawa tubuh melawan gravitasi. Lelah, pasti. Tapi semangat tampaknya tak padam dari wajah-wajah keriput itu.

Setidaknya untuk pasangan Salim dan Selina. Jamaah asal Turki yang dengan Bahasa Inggris sepotong-sepotong mengatakan perjalanan ke Jabal Nur adalah kesempatan sekali seumur hidup bagi mereka.

Sambil menenteng kantong plastik berisi enam botol air mineral, Salim yang mengaku berusia 63 tahun berjalan di belakang sang istri. Laiknya orang-orang seusianya ia sangat suka bercerita sayangnya hampir sebagian besar isi ceritanya tak sampai karena kendala bahasa.

Pasangan itu tak nampak bergegas. Mereka berhenti hampir setiap lima anak tangga. Namun siapa sangka, jika akhirnya sampai juga mereka di puncak walau membutuhkan hampir dua jam perjalanan. Bergegas Salim menggelar sajadah untuk shalat subuh sebelum matahari terbit sementara sang istri membagi-bagikan permen kepada mereka-mereka yang telah terlebih dahulu menaklukkan terjal dan curamnya Jabal Nur.

Gua Hira

"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Maha Mulia. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui." (QS Al-Alaq 1-5).

Pada 17 Ramadhan, Malaikat Jibril turun membawa petikan pesan tersebut kepada Muhammad yang telah menyepi beberapa kali dalam Gua Hira. Sebuah pesan yang tidak hanya membuka mata Muhammad yang buta huruf namun juga jutaan pengikutnya di kemudian hari.

Jelang fajar, ratusan tahun setelah turunnya peristiwa itu, seorang wisatawan asal Ciamis, Jawa Barat, menyeletuk. "Di mana guanya?"

Beberapa rekannya juga menyahuti dengan pertanyaan yang sama sampai salah seorang diantaranya mengatakan bahwa mereka sesungguhnya sedang mengantre di depan pintu masuk gua.

Suasana yang gelap dan mulut gua yang tak lebih lebar dari satu meter membuat gua tersebut memang tak nampak. Apalagi bagi jamaah Indonesia yang mungkin akrab dengan gua-gua raksasa bermulut lebar yang banyak betebaran di seantero negeri.

Turun sekitar tiga meter dari puncak Jabal Nur ke arah Kabah, gua tersebut lebih mirip celah diantara bongkahan bebatuan. Sejumlah catatan menyebutkan panjang gua tersebut 3,7 meter dan 1,6 meter. Namun pada faktanya ruangan sesungguhnya di dalam gua mungkin tak lebih dari satu meter panjangnya karena dari mulut gua menuju ruangan yang mungkin menjadi tempat Nabi Muhammad SAW duduk kala itu adalah lorong yang hanya cukup untuk masuk satu orang.

Di dalam gua yang bagian lantainya telah diberi ubin berwarna putih itu terdapat dua batu besar yang salah satunya menghalangi jalan menuju "pelataran" bagian belakang gua.

Pagar besi tampak dipasang di dua sisi "pelataran" karena lokasinya yang sangat curam dan terjal. Sementara penggalan surat Al Alaq tampak terpampang di atas mulut gua.

Konon puncak Jabal Nur adalah tempat paling sepi di Mekkah di zaman Nabi Muhammad SAW dan Gua Hira yang hampir tak terjangkau sinar matahari menjadi istimewa karena dari titik tersebut orang dapat melihat Kabah.

Mengunjungi Jabal Nur bukanlah bagian dari ritual haji namun tak sedikit jamaah yang menyempatkan waktu untuk berkunjung ke sana dengan beragam alasan. Mulai dari ingin tahu hingga betul-betul ingin menyelami apa yang dirasakan Nabi Muhammad SAW saat itu.

"Rindu pada Nabi," jawab singkat Surya. Lelaki yang menilik dari penampilannya berusia tak lebih dari 40 tahun itu sengaja memilih satu batu besar di lereng Jabal Nur untuk duduk dan melantunkan dzikir. Ia tidak sendiri, sekitar lima rekannya dengan kondura dan sorban berwarna putih melakukan hal yang sama. Duduk berdzikir beralaskan Kota Mekkah di kejauhan.

Riwayatnya Kini

Entah apakah Surya berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya yaitu menyelami yang dialami Nabi Muhammad SAW saat itu.

Tapi yang jelas ketika matahari keluar dari peraduannya dan pemandangan indah Kota Mekkah di malam hari yang bermandi cahaya hilang dari pelupuk mata maka kenyataan yang muncul laik sebuah tamparan di wajah.

Hilang syahdu sebuah gunung cahaya. Musnah romantika napak tilas jejak Sang Rasul.

Ketika matahari muncul, sunyi pun lenyap berganti riuh pedagang menawarkan tasbih, minuman, batu akik, hingga foto. Atau pekikan jamaah yang diganggu monyet dan kambing gunung yang unjuk gigi kala gelap hilang. Dan tak ketinggalan para pengemis yang mengharap belas.

Tak hanya itu, sinar mentari yang jatuh di setiap sisi dan celah bebatuan menghadirkan pemandangan sampah botol minuman, plastik dan kantong makanan yang menggunung.

Selama perjalanan pulang pergi ke puncak, hanya tampak satu petugas kebersihan dengan kantong plastik memunguti sampah di sepanjang 1.200 anak tangga dan tempat-tempat pemberhentian dalam batas pagar besi. Sementara sampah yang terlanjur berserakan di tebing-tebing Jabal Nur tak tersentuh.

Selain sampah, bukti aksi vandalisme juga menghiasi hampir seluruh bebatuan yang dekat dengan jalur naik atau turun. Beragam nama dan permohonan dari berbagai bahasa ada di sana.

Jika pemerintah Kota Mekkah tak memelihara Gua Hira secara khusus bukan hal yang aneh karena ada kekhawatiran munculnya penyalahgunaan pada situs-situs yang terkait dengan Nabi Muhammad SAW.

Jauh di kaki bukit juga telah terpasang papan pengumuman dalam lima bahasa, salah satunya Bahasa Indonesia yang menyebutkan mendaki ke Gua Hira bukan syiar haji, bukan sunnah dan bahkan termasuk perbuatan bidah (perbuatan yang dikerjakan tapi tidak sesuai contoh).

Sebuah papan lain yang tampil dalam empat bahasa, tanpa Bahasa Indonesia, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengizinkan umatnya mendaki bukit itu, sholat di tempat itu, memegang batunya, mengikatkan tali di pohonnya, dan membawa pulang batu, tanah atau pepohonan dari tempat itu.

Namun atas nama rasa ingin tahu, jutaan orang melancong ke tempat itu setiap tahunnya. Tempat yang kini mungkin Malaikat Jibril pun enggan untuk singgah karena tak mencerminkan ciri khas Islam yang menyebut kebersihan sebagai bagian dari iman.

Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016