Pemilih di Jakarta sangat cair dan mudah berpindah. Begitu tidak puas langsung pindah
Jakarta (ANTARA News) - Andai statistik empat dan dua tahun ke belakang menjadi ukuran, maka paling tidak peta dukungan politik awal untuk Pilkada DKI Jakarta 2007 bisa terpetakan.

Merujuk hasil Pemilu 2014, partai-partai yang mengusung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Nasdem, Hanura, Golkar dan PDIP) meraih 47,85 persen atau 2,17 juta suara warga Jakarta, sedangkan empat partai pengusung Agus Harimurti Yudhoyono-Silviana Murni (PAN, PKB, Demokrat dan PPP) mendapatkan 27,47 persen atau 1,246 juta suara di Jakarta.

Sementara Gerindra dan PKS yang mengusung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh 22,41 persen atau 1,016 juta suara.

Maka, di atas kertas, koalisi pendukung Ahok-Djarot ada di atas angin. Namun, sukses Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012, menunjukkan suara pendukung partai tak menjadi ukuran pemenangan Pilkada.

Jokowi-Ahok maju untuk memenangkan Pilkada DKI 2012 dengan hanya berbekal 572 ribu suara atau 14 persen suara pemilih PDIP dan Gerindra pada Pemilu 2009 di provinsi ini.

"Pemilih di Jakarta sangat cair dan mudah berpindah. Begitu tidak puas langsung pindah," kata mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie.

Marzuki benar. Pada Pilkada DKI 2012, suara pemilih juga bergeser, sebagian karena ada kebutuhan memunculkan tokoh alternatif untuk panggung politik nasional.

Demikian pula pada Pilkada 2017, setidaknya ditunjukkan oleh koalisi pimpinan Demokrat dengan menjagokan Agus Harimurti yang disebut Marzuki dipersiapkan untuk Pilpres 2019. Masalahnya urgensi Agus masih di bawah ketika Jokowi ditampilkan pada Pilkada 2012.

Presiden Jokowi sendiri sepertinya berkepentingan dengan Pilkada DKI 2017.

Kendati tak eksplisit mengatakan, namun logika politik paling banal sekalipun sulit membenarkan presiden dari partai penguasa tak mendukung pilihan partainya, apalagi ketua umumnya (Megawati Soekarnoputri) menemani Ahok-Djarot mendaftarkan diri ke KPUD Jakarta. Sudah itu, partai-partai pengusung Jokowi pada Pemilu 2014, kecuali PKB, berada di belakang Ahok-Djarot.

Namun pernyataan Pramono Anung pada 20 September 2016 soal calon Pilkada DKI yang tidak disampaikannya di markas besar PDIP dari mana Pramono berasal, melainkan di Istana Kepresidenan, secara implisit menunjukkan Istana berada di belakang Ahok-Djarot.

Saat itu, dalam kapasitas Sekretaris Kabinet, Pramono berkata, "Karena demokrasi itu bukan persoalan etnisitas, agama atau apa pun, maka siapa pun yang kemudian dipilih oleh rakyat harus diberi kesempatan... Pertarungannya adalah gagasan, ide, program, bukan lagi persoalan suka tidak suka, bukan persoalan terkait SARA."

Belakangan ini atmosfer politik Jakarta memang dibisingkan oleh retorika-retorika berbau SARA demi menolak Ahok mengemban jabatan untuk priode berikutnya.

Maka, pernyataan Pramono itu mengisyaratkan ada lampu hijau Istana untuk Ahok. Lagi pula, Presiden Jokowi akan sangat nyaman bekerja dengan pemimpin DKI yang sudah cocok bekerja bersamanya dalam memuluskan ambisi-ambisi nasionalnya, termasuk membangun jaringan transportasi massal yang modern yang akan menjadi benchmark untuk daerah-daerah lain di Indonesia.

Jika mesin politik efektif


Andai mesin politik parpol bekerja all-out dan efektif untuk memastikan semua pemilih partai pada Pemilu 2014 loyal kepada empat partai pendukung Ahok-Djarot, maka Pilkada DKI bisa berlangsung dalam satu putaran dengan Ahok-Djarot menjadi pemenang.

Melihat komposisi hasil suara Pemilu 2014 di DKI, koalisi empat partai memang baru mendapatkan 47,85 persen atau kurang 3,5 persen untuk bisa memenangkan Pilkada DKI. Tetapi, koalisi itu masih memiliki faktor satu juta KTP yang dikumpulkan Teman Ahok, jika para pemilik satu juta KTP itu konsisten memilih Ahok.

Masalahnya, matematika politik tak sesederhana itu karena ada ruang sangat lapang yang secara dinamis bisa mengubah peta suara pemilih, terutama dari pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voter), yang bisa mementahkan logika bahwa suara parpol pada Pemilu nasional berbanding lurus dengan suara pemilih  Pilkada.

Ruang lapang opini publik yang dinamis itu dibidik koalisi pimpinan Gerindra dan koalisi pimpinan Demokrat.  Tahu pasti pada bagian ini Pilkada bisa dimenangkan, koalisi Gerindra secara mengejutkan menyorongkan Anies Baswedan, sedangkan koalisi Demokrat tak kalah mengagetkan dengan memajukan Agus Harimurti Yudhoyono.

Anies dan Agus jelas dianggap bisa mengisi ruang luas opini publik yang dinamis itu karena keduanya merupakan antitesis murni dari Ahok.

Kecenderungan pemilih hampir selalu berkaitan dengan antitesis dari pemimpin yang tengah berkuasa. SBY naik berkuasa, sebagian besar karena dia berhasil menampilkan diri sebagai antitesis atmosfer politik rezim sebelum dia. Begitu pula, Jokowi saat memenangkan Pemilu 2014 dan Pilkada 2012.

Anies dan Agus juga kebalikan dari Ahok. Mereka santun, tidak konfrontatif, dan tertata saat berkalimat, berbalikkan dengan Ahok yang blak-blakan dan kerap emosional yang oleh sebagian orang dianggap kasar dan arogan.

Dengan keatraktifan penampilan fisik, Agus dan Anies bisa seperti dagangan berkemasan cantik yang menggoda orang untuk membeli.

Sudah pasti Anies dan Agus tidak sekedar bertampang elok, namun ada bagian besar masyarakat negeri ini yang melihat penampilan dan cara bertutur, bahkan paras, ketika menjatuhkan pilihannya.  Itu selaras dengan kesimpulan ilmiah Dr. Caitlin Milazzo dari Universitas Exeter, Inggris, bahwa "keatraktifan bisa menentukan kemenangan kandidat."

Kebanyakan pemilih yang lebih tertarik kepada keatraktifan calon adalah pemilih muda, khususnya pemilih pemula, dan perempuan. Ironisnya segmen ini diyakini bakal menjadi salah satu penentu kemenangan Pilkada DKI 2017.

Ahok-Djarot bisa menjawab tantangan ini dengan menampilkan kompetensi dalam menyelenggarakan birokasi efisien, transparan dan efektif, selain program-program kunci seperti sistem transportasi massal modern dan Kartu Jakarta Sehat, karena ada bagian besar pemilih yang lebih melihat prestasi ketimbang cara pemimpin berpenampilan dan bertutur. Satu juta KTP untuk Ahok adalah buktinya.

Pasangan ini juga harus mempersempit ruang bermanuver Agus dan Anies dalam menampilkan diri sebagai antitesis Ahok. Untuk itu, mengutip kalimat tokoh muda santri Husni Mubarak dalam Kompas.com, Ahok perlu memperbaiki diri bahwa dia bukan lagi orang yang dipersoalkan karena etika dan gayanya.

Cara lainnya adalah mendorong Djarot lebih banyak tampil di depan publik demi mengelola dukungan dari basis parpol, termasuk dari bagian besar etnis dari mana Djarot berasal.

Investasi politik


Dalam soal lain, kesediaan Anies Baswedan menjadi calon gubernur bagi koalisi yang paling keras menentang pemerintah yang justru telah dia ikut arsetiki dengan menjadi tim sukses Jokowi, telah mengukuhkan adagium bahwa tak ada yang abadi dalam politik.

Politik melulu soal kekuasaan, bahkan cendekiawan seperti Anies pun kini ikut mempraktikkannya. Ini bisa mencederai citra Anies. Tapi juga bisa menjadi insentif karena Anies bisa menampilkan diri sebagai "korban" setelah dicopot dari menteri tanpa penjelasan, seperti saat SBY mengkapitalisasi situasi hampir sama menjelang Pemilu 2004.

Lebih dari itu, Anies lebih nyaman digadangkan sebagai tokoh alternatif karena memiliki bekal paling lengkap, dari berpengalaman dalam birokrasi sampai kefamiliarannya dengan dunia pendidikan serta sosial yang juga diakrabi kelas menengah, sekaligus kaum muda. Posisi ini bisa memperkuat magnet kemenarikan Anies-Sandiaga.

Nilai lebih juga banyak dimiliki Agus. Dia anak muda, putera presiden, militer intelektual muda kendati harus berakhir pada pangkat mayor, santun dan berparas bak selibritis. Semua itu menjadi magnet yang bisa membuat kaum muda dan perempuan menjatuhkan pilihan kepadanya.

Namun hati-hati, kebiasaan orang Jakarta yang menomorsatukan fungsi dan kerja, belakangan cenderung mengabaikan politik semata citra yang terbukti dari menangnya Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012.

Yang juga harus menjadi pertimbangan adalah soal latar belakang keyakinan dan etnis. Ini terutama bakal menjadi tantangan serius Ahok-Djarot.

Sekeras apa pun realitis ini ditolak, faktor itu tetap mempengaruhi banyak pemilih saat masuk bilik suara. Apalagi, berkacamata dari Pilkada 2012, isu-isu ini cenderung dikeraskan di tempat-tempat ibadah yang acap mengampanyekan pemihakan publik dalam Pemilu.

Dalam perkara ini, Djarot dan tim sukses seperti Nusron Wahid, tokoh-tokoh agama atau Tri Rismaharini jika menjadi juru kampanye Ahok-Djarot, harus diberi tempat yang lapang untuk menangkal isu ini demi mencegah cedera serius pada citra politik Ahok-Djarot.

Yang juga bakal menarik dari Pilkada DKI adalah pertarungan keras di media sosial untuk memikat pemilih muda dan perempuan yang menjadi segmen teraktif di media sosial.

Dalam lima bulan ke depan, lalu lintas pesan dan percakapan dalam jejaring sosial yang kian efektif meraih dan mengelola dukungan publik seperti terbukti pada Pilkada DKI 2012 itu, mungkin akan sangat sibuk dan amat panas.

Kesimpulannya, Pilkada DKI Jakarta begitu menarik dan istimewa, termasuk karena menjadi pertaruhan dan investasi politik pada matra nasional. Buktinya, Megawati Soekarno Putri, Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono, ramai-ramai turun gunung demi Pilkada DKI 2017.

Ini mengisyaratkan hasil Pilkada DKI bakal mempengaruhi konstelasi politik nasional berikutnya, Pemilu 2019.

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016