Cartagena (ANTARA News) - Pemerintah Kolombia dan pasukan pemberontak sayap kiri FARC menandatangani perjanjian damai bersejarah pada Senin (26/9) untuk mengakhiri konflik setengah abad yang telah menewaskan ratusan ribu orang.

Presiden Kolombia Juan Manuel Santos dan pemimpin Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) Timoleon "Timochenko" Jimenez menandatangani kesepakatan itu dalam sebuah upacara di Kota Cartagena, Karibia, disambut sorak sorai keras dari banyak orang termasuk sejumlah pejabat internasional.

Penandatanganan kesepakatan tersebut dilakukan setelah proses empat tahun untuk mengakhiri konflik bersenjata besar terakhir di Amerika Latin. Perjanjian itu masih harus disahkan dalam referendum pekan depan.

"Hari ini kita merasakan kebahagiaan fajar baru untuk Kolombia," tulis Presiden Juan Manuel Santos di Twitter menjelang penandatanganan.

Dia menyebutnya sebagai "tahap baru dalam sejarah kita -- salah satu negara yang damai!"

Kedua pemimpin menandatangani perjanjian menggunakan pena yang terbuat dari peluru asli dalam acara yang antara lain dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, Sekretaris Negara Vatican Pietro Parolin, dan sejumlah pemimpin Amerika Latin termasuk Presiden Kuba Raul Castro.

Sekitar 2.500 undangan yang hadir mengenakan pakaian putih untuk upacara yang berlangsung selama 70 menit tersebut.


Lepas dari daftar hitam

Setelah penandatanganan kesepakatan itu Uni Eropa memutuskan mencabut FARC dari daftar kelompok teroris menurut kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Federica Mogherini, Senin.

Penangguhan akan memungkinkan pencabutan sementara sanksi-sanksi terkait keberadaan FARC dalam daftar itu, termasuk pembekuan aset-aset.

Pasukan pemberontak terbesar negara itu, Tentara Pembebasan Nasional (ELN), setuju menahan tembakan menjelang referendum.

Pemerintah belum mulai merencanakan perundingan damai dengan ELN, menyatakan kelompok itu pertama-tama harus terlebih dahulu menghentikan penculikan.


Konflik mematikan

Tentara gerilya umum di seluruh Amerika Latin pada paruh terakhir Abad XX. Namun sekarang, 25 tahun setelah Perang Dingin, Kolombia adalah tempat konflik bersenjata terbesar di Amerika.

FARC, kelompok gerilya Marxis, melancarkan perang terhadap pemerintah Kolombia tahun 1964 sebagai buntut dari pemberontakan petani yang ditumpas tentara.

Otoritas Kolombia memperkirakan konflik telah menewaskan 260.000 orang, dan menyebabkan 45.000 orang hilang.

Di bawah kesepakatan dengan pemerintah, FARC sekarang membentuk partai politik dan Timochenko (57) diperkirakan tetap menjadi pemimpinnya.

Nama aslinya Rodrigo Londono tapi dia lebih dikenal dengan nama aliasnya, Timoleon Jimenez dan "Timochenko."

"Perang sudah berakhir," tulis dia di Twitter. "Kita semua akan membangun perdamaian."

Di kamp yang ada di pedalaman hutan El Diamante, bagian barat Kolombia, petempur FARC David Preciado merayakan kesepakatan itu dengan main bola bersama kawan-kawannya.

"Pemerintah tidak mengalahkan kami, dan kami tidak mengalahkan mereka. Perang 52 tahun kami tidak sia-sia," katanya kepada kantor berita AFP.

"Kami menyadari bahwa kami maju bersama, bersatu... untu akhirnya mencapai kemenangan, memberi kekuatan kepada rakyat dengan alat-alat politik."


Referendum


Para pemberontak mau berunding dengan pemerintah setelah dilemahkan oleh serangan tentara pimpinan Santos ketika dia menjadi menteri pertahanan.

Setelah Santos menjadi presiden, pembicaraan empat tahun yang dituanrumahi oleh Kuba mencapai hasil final berupa perjanjian sepanjang 297 halaman bulan lalu.

Perjanjian itu memberikan amnesti bagi "kejahatan-kejahatan politik" yang terjadi selama konflik, namun tidak untuk kejahatan terburuk seperti pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan.

Para petempur FARC akan meninggalkan tempat-tempat persembunyian di hutan dan pegunungan dan dilucuti senjatanya dalam proses yang diawasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Otoritas Kolombia memperkirakan jumlah mereka 7.000 lebih.

Jajak pendapat terkini menunjukkan pemilih "Ya" memimpin untuk meratifikasi perjanjian itu dalam referendum 2 Oktober.

Namun sebagian warga Kolombia membenci konsesi yang dibuat dengan FARC. Mantan presiden Alvaro Uribe memimpin demosntrasi untuk memrotes penandatanganan kesepakatan itu pada Senin. (hs)


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016