Ramallah (ANTARA News) - Para pemimpin Palestina pada Senin (26/9) mengatakan Donald Trump merusak harapan solusi dua negara setelah kandidat dari Partai Republik itu mengatakan dia akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel "seutuhnya" bila memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat.
 
Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Minggu, Trump mengatakan dia akan mengakui klaim Israel atas Yerusalem timur, yang akan melanggar preseden puluhan tahun dan menempatkan Washington di posisi yang berbeda dengan sebagian besar anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

"Pernyataan Trump menunjukkan pengabaian terhadap hukum internasional (dan) kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang sudah lama dijalankan mengenai status Yerusalem," kata Saeb Erekat, sekretaris jenderal Organisasi Pembebasan Palestina, dalam sebuah pernyataan.

Israel merebut paruh timur Yerusalem selama Perang Enam Hari 1967 dan mencaploknya tahun 1980, menyatakan seluruh Yerusalem sebagai ibu kota Israel terpadu.

Palestina menganggap Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka.

Kementerian Luar Negeri Palestina mengeluarkan pernyataan mengkritik Trump dan rivalnya dari Partai Demokrat Hillary Clinton, menuduh Clinton terlalu mendukung Israel dan mengorbankan warga Palestina.

Pernyataan sebelumnya yang disampaikan oleh penasehat Trump tentang Israel menunjukkan pengabaian total terhadap solusi dua negara, hukum internasional dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa menurut Kementerian Luar Negeri Palestina.

"Negara Palestina tidak akan menjadi bahan tawar menawar untuk mendapat suara Yahudi di Amerika Serikat," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Palestina yang dikutip kantor berita AFP.

Setelah pertemuan dengan Netanyahu di New York, tim kampanye Trump mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa sang kandidat "mengakui bahwa Yerusalem telah menjadi ibu kota abadi orang Yahudi selama 3.000 tahun lebih."

"Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Trump, akhirnya akan menerima mandat kongres sejak lama untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota tak terbagi negara Israel."

Amerika Serikat dan kebanyakan negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak mengakui pendudukan Israel dan menganggap status akhir Yerusalem akan menjadi masalah kunci dalam perundingan damai untuk penyelesaian dua negara.

Kongres Amerika Serikat meloloskan satu undang-undang pada Oktober 1995 yang menyeru Yerusalem utuh diakui sebagai ibu kota Israel dan mengesahkan pendanaan untuk memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Namun tidak ada satu pun presiden Amerika Serikat, dari Partai Demokrat maupun Republik, yang menerapkan undang-undang itu, menganggapnya sebagai pelanggaran otoritas cabang eksekutif dari kebijakan luar negeri. (hs)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016