Jakarta (ANTARA News) - Aliansi pegiat dari Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBali) simpul Jakarta, KoalisiRakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Wahana Lingkungan Hidup, Greenpeace Indonesia, dan Debtwatch Indonesia, Minggu melakukan pawai menyambut Hari Maritim.

Mereka melakukan aksi menyambut Hari Maritim yang diperingati setiap tanggal 29 September itu bersama mahasiswa beberapa universitas di Jakarta dan masyarakat peduli teluk.

Selain ditujukan untuk menyambut Hari Maritim, pawai itu juga merupakan solidaritas terhadap penolakan masyarakat Bali atas rencana reklamasi Teluk Benoa yang dituangkan dalam kirab bendera mengenang 110 tahun puputan Badung di Bali, Minggu.

Dalam kesempatan tersebut mereka menyuarakan agar pemeritah mencabut Peraturan Presiden (Perpres) No.51/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan.

Intinya Pepres tersebut mengubah pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi.

Pasal 101A dalam Pepres tersebut memungkinkan Kawasan Teluk Benoa direklamasi hingga paling luas 700 hektare.

Saras Dewi, humas ForBali Jakarta pada saat berorasi mengatakan kedaulatan maritim di Indonesia harus dimulai dari upaya pelestarian alam di teluk serta nelayan yang sejahtera.

"Kedaulatan sektor maritim harus dimulai dari penghormatan dan penghargaan terhadap teluk dan laut. Pembangunan yang tak mengindahkan kelestarian alam serta tidak berkelanjutan merupakan upaya pelemahan kedaulatan negara pada sektor maritim. Laut yang kuat dan berdaulat dimulai dari lingkungan yang lestari sehingga masyarakat pesisirnya sejahtera," kata Saras yang juga pengajar Filsafat Lingkungan Hidup Universitas Indonesia.

Pihak pengembang sebelumnya mengklaim proyek reklamasi Teluk Benoa adalah upaya pemulihan atau revitalisasi.

Komisaris PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) Leemarvin Lieano sebagai pengembang, di Jakarta beberapa waktu lalu mengatakan reklamasi tersebut adalah proyek revitalisasi yang intinya ingin memperbaiki hal yang rusak, dan memperdalam yang dangkal.

"Reklamasi merupakan bagian kecil dari revitalisasi. Jadi bukan semata-mata reklamasi dalam arti menguruk laut," kata dia.

PT TWBI merancanakan reklamasi seluasi 700 hektare dari 838 hektare luas yang dimiliki oleh Teluk Benoa dengan izin pengelolaan selama 30 tahun.

Namun masyarakat Bali beserta pegiat lingkungan punya pandangan lain. Mereka menilai, slogan revitalisasi Teluk Benoa merupakan ungkapan yang relatif menyesatkan.

"Dalam berbagai kesempatan audiensi mereka beralasan, sedimentasi relatif tinggi di Teluk Benoa, sehingga air laut pun surut dan tanah tinggi. Namun, jika sedimentasi dianggap seabgai masalah dan kita setia terhadap makna revitalisasi, maka tindakan semestinya adalah pengerukan bukan reklamasi," ujar Saras.

Laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2015 menyatakan, Teluk Benoa adalah kawasan sensitif sehingga patut dijaga karena ia menampung berbagai ragam flora dan fauna.

"Artinya, jika pemerintah konsisten terhadap penguatan sektor maritim, teluk adalah wilayah perairan pertama yang harus dijaga keberlangsungan dan ketahanannya. Harapan tersebut dapat terwujud jika pemerintah memiliki keberpihakan terhadap kelestarian alam di teluk dengan tidak mengubahnya menjadi daratan, apalagi hanya untuk dijejali gedung, bangunan tinggi, pusat hiburan, bahkan sirkuit karena justru akan menambah banyak masalah, tidak hanya untuk lingkungan tetapi juga masyarakat setempat," kata Saras.

Diana Gultom dari Debtwatch Indonesia, pegiat yang aktif mengawasi kebijakan pembangunan mengatakan pawai tersebut merupakan kepedulian terhadap banyaknya rencana reklamasi yang mengancam kelestarian teluk di tanah air, tidak hanya di Bali, tetapi juga Jakarta, Balikpapan, Makassar, dan daerah lain di Indonesia.


Puputan Jangan Sampai Terjadi

Penolakan terhadap rekalamsi Teluk Benoa sudah terjadi sejak 2012, waktu isu reklamasi berembus ke masyarakat, hingga saat ini.

Bagi masyarakat Bali, Teluk Benoa adalah kawasan suci yang patut dijaga dan dilestarikan mengingat amanah tersebut juga tertuang pada Peraturan Daerah Bali tentang Tata Ruang Provinsi Bali.

Ketua Pasubayan Desa Adat Bali Tolak Reklamasi Wayan Swarsa mengatakan, teluk, sungai, gunung, hutan, danau bagi masyarakat Bali adalah tempat suci. Adanya reklamasi telah menodai tempat suci tersebut.

"Pemerintah pusat tidak paham akan nilai-nilai spiritual yang kami junjung. Mestinya suara kami didengar," kata dia.

Menurut dia, reklamasi itu tidak untuk membangun ekonomi rakyat melainkan hanya untuk kepentingan pemodal.

Oleh sebab itu masyarakat Bali telah melakukan aksi ke jalan demi menyuarakan penolakan terhadap reklamasi.

"Perlawanan masyarakat semakin besar, jika Presiden (Joko Widodo) tidak menghentikan reklamasi, nanti pasti akan ada perlawanan massa yang lebih besar. Ini bukan ancaman," kata dia.

Menurut dia puluhan desa adat dengan puluhan ribu keluarga di dalamnya siap puputan untuk menolak relamasi tersebut.

Direktur Walhi Bali Suriadi Darmoko mengatakan selama ini pemerintah hanya menggunakan alasan-alasan teknis bahwa reklamasi Teluk Benoa perlu dilakukan. Walhi menganggap pemerintah telah mengabaikan aspek sosial budaya masyarakat Bali.

"Reklamasi Teluk Benoa memang legal karena ada payung hukumnya yaitu Perpres nomor 51 tahun 2014, namun reklamasi itu tidak terlegitimasi karena rakyat Bali menolak. Mereka berbicara reklamasi ini demi kepentingan rakyat. Rakyat yang mana? Jelas-jelas rakyat Bali menolak," kata dia.

Saat pemerintahaan berganti, warga Bali berharap reklamasi yang diawali pada pemerintahan SBY dapat dihentikan.

Pada 14 Juli 2016, izin proyek reklamasi Teluk Benoa jatuh tempo, mulai Februari 2016 hingga menjelang hari habisnya izin proyek reklamasi masyarakat adat mendatangi Menteri Kelatuan dan Perikananan Susi Pudjiastuti agar menghentikan izin tersebut.

Sayangnya Susi menyatakan izin tersebut diperpanjang secara otomatis dan hal tersebut membuat masyarakat kecewa dan terus melangsungkan aksinya hingga saat ini. Meski demikian, Susi menampik kalau dirinya diintervensi untuk memperpanjang proyek tersebut.

"Izin lokasi kepada PT Tirta Wahana Bali Internasional dalam proyek reklamasi Teluk Benoa diperpanjang, bukan berarti reklamasi di Teluk Benoa akan segera dilakukan. Dasar dari izin lokasi kita untuk daerah Sarbagita di wilayah Denpasar itu adalah Perpres 51 Tahun 2014. Di mana atas dasar Perpres itu, pengubahan wilayah tata hijau di Sarbagita itu diubah menjadi wilayah komersial," kata Susi dalam sebuah jumpa pers di kantornya 26 Juli 2016 silam.

(A074/T007)

Oleh Aubrey Fanani dan Genta Tenri Mawang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016